《20》

305 47 8
                                    

"Sejak itu, kami udah gak saling membenci lagi dan keluarga mereka juga minta maaf kepada keluarga gue yang sebesar-besarnya."

Mendengar cerita Jay yang sangat bagus, keenam insan itu lantas berdecak kagum. Tepuk tangan dari beberapa temannya pun turut menyertai. Mereka sangat terkesima, bahkan Jake dan Sunghoon sampai menganga.

"Gila! Lo keren banget bisa bikin mereka kapok, Hyung!" Puji Ni-ki sembari terus bertepuk tangan heboh.

Sang teman hanya terkekeh pelan seraya melambaikan tangannya kecil karena sedikit malu. "Itu bukan apa-apa. Lagi pula, gue juga sebenernya gak nyangka bisa damai kayak gitu setelah sekian lamanya," tuturnya kemudian.

"Oh? Berarti, lo musuhan sama mereka itu udah lama?" Tanya Heeseung.

Si pemilik rahang tajam itu memasang gestur berpikir. "Enggak sampe musuhan juga, sih. Cuma, gue gak suka aja sama mereka." Keenamnya pun mengangguk paham.

Tak lama kemudian, Jungwon menepuk tangannya sekali. "Oke, berikutnya siapa lagi?"

Kali ini, tidak ada yang mengangkat tangan. Mereka hanya saling bertukar pandang, masih ragu-ragu untuk bercerita. Keheningan menyelimuti ruangan itu cukup lama hingga suara helaan napas terdengar di telinganya masing-masing.

"Ya udah, gue aja yang cerita. Dan, mau gak mau gue juga harus kembali membuka luka lama." Meski nada bicaranya terdengar biasa saja, namun sebenarnya ada rasa sesak yang harus ia tahan agar teman-temannya tidak khawatir.

Mendengar itu, keenam laki-laki muda tersebut perlahan menunduk. Tak sanggup melihat wajah sang pemimpin yang sebenarnya terlihat tenang, namun mereka tahu suasana hati Jungwon sedang tidak baik-baik saja sekarang.

"Kalian udah pasti tau kalo gue itu dahulunya atlet Taekwondo. Tetapi, kalian mungkin gak tau kalo gue itu sebenernya bukan asli orang Seoul. Jadi, gue itu tinggalnya di perdesaan yang gak terlalu jauh dari kota. Gue tinggal sama nenek gue karena ortu gue kerja lembur. Sesungguhnya, gue juga pernah tinggal di Seoul selama beberapa minggu waktu umur enam tahun. Jadi, gue juga lumayan tau kehidupan di kota itu kayak gimana."

Selama mulutnya berbicara, hati kecil itu kembali merasakan sakit yang teramat perih. Membuka luka lama itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Namun, ia harus bisa menahan pahitnya kenyataan yang telah terjadi padanya.

"Gue sayang banget sama nenek. Bahkan, saat itu gue pernah janji sama dia kalo gue udah berhasil meraih impian itu, gue akan pulang ke rumah nenek. Akan tetapi...."

Ia menghentikan ucapannya sebentar, matanya mulai berkaca-kaca. Kepalanya sedikit tertunduk, lalu mengembuskan napas berat dan mengulum bibirnya. Ia tidak boleh menangis di hadapan teman-temannya. Jungwon tidak mau membuat keenam temannya khawatir.

Sedangkan, yang lainnya tidak berani mengangkat kepala masing-masing. Namun, mereka masih setia mendengarkan cerita Jungwon dengan raut wajah muram.

"Won ... kalo udah gak sanggup, jangan dilanjutin lagi...." Sunoo berucap dengan nada lembut dan tanpa mengangkat kepala sedikit pun.

"Akan tetapi, nenek udah dipanggil sama Tuhan sejak dua minggu yang lalu pas gue udah berusia enam belas tahun. Lebih pahitnya lagi, gue gak ada di sampingnya untuk yang terakhir kali. Jadi, pas denger kabar itu, hati gue serasa ditusuk ribuan pisau."

"Won, udah...."

"Saat itulah gue jadi tau rasanya kehilangan seseorang yang sangat disayangi dan gue gak mau ngerasain hal yang sama untuk kedua kalinya karena itu sakit banget."

Si pemilik lesung pipi itu memejamkan mata, kepalanya menunduk makin dalam. Rasa sesak kembali menyiksa batinnya, tidak ada yang lebih sakit daripada rasanya kehilangan. Menggali memori buruk yang telah lama terkubur dan kembali membukanya.

[✓] THE ZOMBIE PLAGUE 2 : REVENGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang