02. Sneak Away and Meet Someone

4.5K 424 56
                                    

Monoton.

Bagi Biru, kata itu paling cocok untuk menggambarkan kehidupannya. Tidak pernah ada perubahan dan tidak menutup kemungkinan akan begitu-begitu saja sampai Tuhan memanggilnya untuk pulang nanti.

Selama 18 tahun hidup, Biru masih saja banyak menghabiskan waktu di rumah seorang diri, ditemani alat lukis juga kamera yang selalu ia bawa ke luar kalau sedang bosan. Ms. Anna--guru privat Biru--tidak datang. Barangkali Julian memberitahu kalau Biru sempat collapse dan harus beristirahat.

Sebenarnya Biru sama sekali tidak dilarang untuk bersekolah biasa. Biru sendiri yang memutuskan untuk tidak bersosialisasi dengan banyak orang, berhenti bersekolah umum dikarenakan beberapa alasan. Kelas tiga sekolah dasar adalah pijakan terakhir di mana ia mengenal banyak guru juga teman-teman.

Biru berterima kasih pada keluarganya karena membiarkan ia bebas melakukan apa pun yang ia mau, tidak masalah selama itu tidak membahayakan dirinya sendiri. Keluarganya mungkin protektif, tetapi tidak over.

Mereka tahu Biru rapuh, rentan terhadap sakit, juga bisa masuk dalam kondisi bahaya kapan saja. Akan tetapi, dengan membiarkan Biru terkekang seperti dilarang keluar rumah dan dibiarkan terkurung di kamar sepanjang hari bukanlah jalan efektif. Yang ada malah mendatangkan hal negatif pada kondisi psikologisnya.

Prak!

Biru menunduk, menatap kuas yang semula digenggamnya terjatuh. Tidak berniat untuk mengambilnya, Biru lebih memilih kembali fokus pada lukisan setengah jadi yang ia buat. Tengah malam tadi, Biru terbangun usai bermimpi bertemu Fransiska. Maka dari itu, pagi ini ia melukisnya dengan foto lama yang dijadikan objek guna mengisi ruang rindu pada wanita yang belum pernah ditemuinya.

"Ma, gimana rasanya ada di atas sana?" gumamnya. "Pasti tenang, kan? Di sini ... ada banyak orang yang doain Mama." Biru mengusap kanvasnya pelan.

Menurut cerita orang-orang, Fransiska adalah seseorang yang akan terus diingat karena kebaikannya. Para pekerja yang sudah mengabdi bertahun-tahun di keluarga Florenz masih juga mengenang kematian Fransiska.

Biru seringkali berpikir, jika para pekerja saja sulit melupakannya, bagaimana dengan ayah juga kedua kakaknya. Biru jadi penasaran, apa pernah tebersit rasa benci dalam diri mereka saat sang ibu berakhir meninggal karena berjuang membawanya ke dunia.

Biru menoleh pada arah pintu saat mendengar langkah kaki dari luar. Sedikit panik, Biru segera menuju kasur untuk berpura-pura tidur. Biru tahu keluarganya tidak pernah memasang CCTV di kamarnya karena itu melanggar privasi. Akan tetapi terkadang ia parno sendiri, takut jika mereka memasangnya diam-diam. Biru menebak-nebak siapa yang datang sepagi ini. Bukan tidak mungkin ia akan ketahuan kalau semalaman mengalami insomnia.

Mendapat larangan mengunci pintu membuat seseorang bisa masuk ke kamarnya kapan saja. Seperti sekarang ini, Biru memejamkan mata saat seseorang membuka pintu.

Orang itu--Setya--kini berpijak di kamar sang adik yang didominasi oleh lukisan. Sebelum membangunkan Biru, Setya sempat terpaku pada lukisan yang baru saja Biru buat. Pemuda jangkung itu mendekat dan mengusap kanvasnya pelan. Ia mengernyit saat tangannya menyentuh cat air yang masih basah.

Ia menoleh ke belakang, menilik sang adik yang terbaring. Ia menghela napas, tahu adiknya berpura-pura tidur. "Biru, kamu udah bangun sejak kapan?"

Setya menghampiri Biru yang perlahan membuka matanya. Sepertinya Tuhan tidak membiarkan Biru untuk berbohong kali ini. Alhasil, Biru pun terpaksa bangun kembali dan menunduk, tak berani menatap Setya yang sudah duduk di pinggir ranjangnya.

"Jam setengah satu, Kak," jawab Biru, memilin ujung selimutnya. Biru kira Setya akan mengomel, tetapi ia salah. Seperti biasanya, Setya berbicara tanpa nada ketus apalagi dingin.

A Little Thing Called : QUERENCIA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang