32. Comeback

3.4K 405 106
                                    

Sudah dua hari semenjak menginjakkan kaki di rumah sakit untuk menemui Biru, Julian masih betah menunggu. Persis seperti yang dilakukan Setya sebelumnya, Julian duduk di depan ruang ICU dengan pandangan kosong tanpa ada keinginan untuk beranjak sedikit pun.

Bayang-bayang para dokter yang berusaha mengembalikan detak jantung Biru mulai meninggalkan trauma baginya. Meskipun sejak kecil sudah berulang kali melihat Biru kehilangan detak dan napas, Julian tidak pernah terbiasa. Ia juga tidak mau hal itu menjadi hal yang biasa.

Mengingat hal itu, Julian menggigit bibir bawahnya guna menahan air mata yang kini jadi lebih sering berlomba-lomba untuk keluar. Kondisi Biru benar-benar membuatnya takut. Julian mengalihkan pandangan ke sekitarnya, berharap ada seseorang yang datang untuk menenangkan. Sayangnya, tidak ada siapa pun di sana. Setya yang biasanya menemani pergi entah ke mana.

Julian kemudian menatap ponsel Biru yang Wiraharsa berikan padanya. Ia tidak bisa menahan tangisnya kala menemukan sesuatu yang menyesakkan. "Maaf, Ma. Aku gagal penuhi janji buat jaga Biru."

Sementara itu, di ruang ICU, Wiraharsa yang tengah memantau bedside monitor juga melihat laporan medis yang digenggamnya menghela napas berat. Pria itu kemudian beralih menatap Biru yang masih betah menutup mata. Tidak ada perkembangan yang signifikan. Sebaliknya, kondisi Biru malah semakin menurun.

"Biru, Om nggak pernah suka lihat kamu dalam kondisi seperti ini." Wiraharsa menatap selang yang kini masuk ke salah satu lubang hidung Biru, guna mengantar nutrisi menuju lambungnya. "Sejak kecil, sewaktu bangun dari tidur panjang, kamu suka marah tahu hidung kamu Om pasang selang makan. Om harap kamu juga bangun sekarang dan marahin Om."

Wiraharsa mengusap rambut Biru dengan lembut lalu melanjutkan bicaranya, berharap Biru mendengar ucapannya. "Om tahu kamu lelah, tapi Om harap kamu punya keinginan untuk bangun meskipun cuma sebentar. Kamu harus lihat Julian juga Setya yang udah pulang buat kamu."

Suara gemuruh terdengar dari luar, disusul rintik hujan yang lagi-lagi turun mengguyur bumi. Setelah meninggalkan Biru, Wiraharsa keluar hanya untuk mendapati Julian yang menunduk dengan bahu bergetar. Hujan yang turun seolah menggambarkan kesedihan yang tengah dialami olehnya.

Ketika mendekat, pria itu baru sadar kalau Julian tengah menggenggam ponsel milik Biru. Layarnya yang menyala menampilkan banyaknya pesan dari Biru yang meminta Julian dan yang lain untuk pulang yang sayangnya tidak ada balasan sama sekali.

Wiraharsa mengambil tempat duduk di samping Julian, tanpa ragu menariknya pelan agar jatuh ke dalam dekapan. Pada akhirnya, Julian menumpahkan tangisnya dan menyembunyikan wajahnya di dada Wiraharsa. "Om, Biru bilang dia ketakutan." Julian melanjutkan bicaranya yang diselingi isakan. "D-dia bilang dia takut sendiri, dia takut sepi. Biru minta aku pulang, tapi aku nggak datang."

"Bukan salah kamu. Kamu sendiri yang bilang Jonathan tahan kamu, kan? Kamu nggak salah."

Bukannya tenang, Julian malah semakin terisak. "Biru bakal bangun, kan, Om?" Julian mengharapkan jawaban yang dapat menenangkan, tetapi Wiraharsa hanya diam, menandakan bahwa dia tidak bisa menjawab pertanyaannya.

Wiraharsa mengedarkan pandangannya, mendapati seseorang yang berdiri di balik dinding yang tak jauh dari posisinya. Dilihat dari tinggi badannya, jelas sekali itu Setya. Pergerakan tangannya yang terus-menerus mengusap bagian bawah mata memperjelas kalau anak itu tengah menangis juga. Baik Setya dan Julian, dua-duanya tengah hancur.

Sekarang Wiraharsa penasaran, bagaimana jadinya jika Athalla dan Haidar tahu kalau kakak tersayangnya tengah sekarat?

***

Awan mendung yang semula hadir sudah mulai memudar. Hanya saja, intensitas turunnya hujan tidak mengecil, cenderung stabil dalam volume yang besar. Karenanya, Mansion Florenz yang sudah lama tidak dihuni menjadi semakin dingin. Jericho yang baru saja menginjakkan kakinya di Mansion Florenz mengedarkan pandangannya ke sekitar. Kalau diingat-ingat, kedatangannya ke rumah besar ini bahkan bisa dihitung oleh jari, pun bukan untuk sesuatu yang penting dan hanya bertahan selama beberapa menit, sebab dulu Florenz benar-benar membencinya.

A Little Thing Called : QUERENCIA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang