Biru pernah mengira, hidupnya akan terus stagnan sampai ia benar-benar mencapai batas waktunya. Harapan soal Jonathan yang akan berbalik dan melihatnya mungkin hanya akan menjadi angan-angan semata, memutuskan untuk hanya berharap pada keempat saudaranya yang menjadi alasan ia bertahan dari berbagai rasa sakit yang menghujam.
Semua menjadi runyam saat ucapan Theodore menjadi kenyataan, tentang bagaimana akhirnya ia berhasil dijatuhkan oleh ekspektasi akan keluarganya sendiri. Biru sudah hampir menyerah, tetapi Tuhan tidak pernah mengizinkannya pergi lebih awal.
Sebagai manusia biasa, sejak dulu sebenarnya Biru sering mengeluh akan penderitaan fisik yang dialami, hanya saja ia memendamnya seorang diri. Hingga ketika usianya terus bertambah, Biru akhirnya menemukan maksud dari mengapa Tuhan masih membiarkannya hidup sampai sekarang.
Siapa sangka, waktu akan mengantarkannya pada hal-hal yang tak pernah ia duga. Harapan terbesarnya yang mustahil dicapai nyatanya bisa ia genggam. Rupanya Tuhan memintanya untuk bersabar karena tahu ia mampu menjalaninya, membuat Biru bersyukur karena tidak pernah benar-benar membenci mereka yang menyakitinya, termasuk Jonathan yang berulang kali membuatnya jatuh, pun saudaranya yang pernah ikut berbalik meninggalkannya.
Sebanyak apa pun rasa sakit yang ia terima, ia hanya perlu yakin bahwa skenario yang Tuhan beri merupakan yang terbaik untuknya. Bahagia sesungguhnya yang ia dapat mungkin terlambat, tetapi hal itu lebih baik dibanding pergi tanpa pernah merasakannya.
"Biru, udah sampai." Ucapan Setya berhasil menyadarkan Biru dari lamunan. Mobil yang ia tumpangi bersama kakak keduanya sudah berhenti tepat di depan pengadilan.
Wiraharsa yang berada di kursi kemudi keluar lebih dulu, kemudian membuka pintu mobil untuk Biru. Tak membiarkan anak itu menapakkan kaki, Wiraharsa segera menggendong Biru ala bridal.
"Hati-hati bawanya," ujar Wiraharsa, melirik Setya yang keluar dari mobil dengan membawa kantung infus juga tabung oksigen portabel yang tersambung pada Biru. Setelah memastikan tidak ada yang salah dengan keduanya, Wiraharsa berjalan menyusuri tangga.
Biru bisa melihat Julian tengah menunggunya, lengkap dengan sebuah kursi roda yang akan ia gunakan. Mendapati semua orang berpakaian rapi, Biru perlahan melihat dirinya sendiri yang terlihat menyedihkan.
Bukan hanya pakaian pasien yang melekat di tubuhnya, tetapi juga alat bantu napas yang melintang di bawah hidungnya. Punggung tangannya juga belum bisa lepas dari infus. Biru yakin wajahnya juga pucat tanpa rona. Mendadak Biru menyesal memaksa untuk menyusul dan menghadiri sidang kedua orang tuanya, padahal ia bisa menunggu di rumah sakit.
Wiraharsa selesai mendudukkan Biru di kursi roda, sementara Setya lekas mengaitkan kantung infusnya pada tiang yang terpasang langsung di kursi rodanya, termasuk tabung oksigen yang kini diletakkan di belakangnya.
Biru sedikit menunduk, menghindari tatapan orang-orang di sekitarnya. Melihat ada yang salah dengan Biru, Julian sontak berlutut di depannya. "Kenapa, hmm?"
Biru menggeleng pelan. "Malu, Kak. Biru kira nggak akan ada banyak orang di sini."
Julian tersenyum lalu meraih tangan Biru yang bebas infus. "Enggak apa-apa. Mereka yang diam di luar nggak akan masuk. Di dalam cuma ada keluarga kita, jadi, nggak usah malu." Julian kembali berdiri setelah menenangkan Biru. "Ayo masuk, sebentar lagi sidangnya selesai."
Ketika masuk ke dalam ruangan, sidang masih berlangsung. Tak ingin mengganggu, Biru memutuskan untuk menunggu di belakang. Haidar dan Athalla yang melihat kedatangannya melambai dari depan dan memberi senyuman.
Sembari menunggu, Biru menoleh pada Wiraharsa yang memilih berdiri di sampingnya. "Sejak kapan Om berubah profesi jadi bodyguard?"
KAMU SEDANG MEMBACA
A Little Thing Called : QUERENCIA [END]
Genç Kurgu[ Family, Brothership, Sicklit ] Biru tidak pernah akan berhenti menyebut keluarganya sebagai sumber bahagia, tempat paling nyaman untuk bersandar di kala lelah dengan segalanya. Baginya, bisa hidup di keluarga yang saling menyayangi adalah anugerah...