30. Restlessness

3.9K 403 149
                                    

"Grandpa, apa mungkin Papa, Mama, Kak Julian, Kak Setya, Athalla juga Haidar, bisa berubah jadi jahat?"

"Menurut kamu?"

"Enggak. Mereka baik. Aku tahu mereka tulus dan enggak akan berubah. Apa yang dibilang Grandpa enggak berlaku buat semua orang. Mungkin ... keluargaku bukan termasuk mereka."

Dalam posisi berbaring menyamping, Biru memandang ponselnya yang tergeletak di samping bantal dengan benak yang dipenuhi oleh berbagai ingatan, termasuk percakapan antara dirinya dengan Theodore.

Kala itu, Biru terlalu naif dan percaya diri akan jawaban yang ia berikan soal keluarganya. Biru ingin menyangkal kalau mereka tidaklah jahat sama sekali, setidaknya selama ia hidup sebelum kekacauan ini terjadi, mereka selalu ada untuknya.

Akan tetapi, mengingat soal Julian yang tidak menyangkal tuduhan Jonathan membuat Biru menenggelamkan kembali sangkalannya. Setya yang sudah Biru ketahui keberadaannya lewat Caroline pun tidak mengabari apa pun, sama halnya dengan kedua adiknya dan Silvanya. Sementara Jonathan, Biru rasanya hampir menyerah. Bahkan setelah memohon demi nyawanya, Biru tidak mendapat balasan apa pun.

"Biru, ayo sarapan."

Pandangan Biru beralih pada Jericho yang menatapnya kasihan. Biru tidak tersinggung sebab ia memang terlihat menyedihkan sekarang.

Jericho sendiri sudah tahu keadaan Biru yang mengkhawatirkan. Setelah melakukan check up, Biru tidak diperbolehkan pulang oleh dokter. Kondisinya yang mengkhawatirkan menjadi penyebabnya. Alhasil, mau tidak mau, Biru harus diam di rumah sakit agar Caroline dan rekannya yang lain bisa memantau. Jericho dan Kendra tidak masalah dengan hal itu. Mereka bahkan ikut menemani dan menginap di rumah sakit karena tidak bisa membiarkan Biru sendiri.

"Biru?" Lagi, Jericho memanggil. Tidak adanya respons membuat Jericho menghela napas. Lelaki itu meletakkan kembali mangkuk yang sempat dipegangnya, tidak ingin memaksa Biru sarapan karena terlihat tidak nafsu makan.

"Dokter Caroline bilang dia masih tunggu keputusan kamu buat operasi. Hari ini batas waktunya. Kondisi kamu termasuk darurat dan nggak bisa ditunda lagi. Selama kamu masih sadar, operasi bisa dilakukan cuma dengan persetujuan kamu."

Biru tahu. Secara tidak langsung, Jericho memintanya untuk berhenti mengharapkan keluarganya. Tanpa persetujuan mereka pun, Biru bisa operasi hanya dengan keputusannya sendiri sebagai pasien. Apa yang Biru sampaikan pada Jonathan semata-mata hanyalah sebagai pancingan agar Jonathan pulang. Biru berpikir mungkin saja papanya akan datang karena khawatir putranya terlambat ditangani dan sekarat. Namun, sekarang Biru tahu jawabannya. Jonathan tidak peduli.

"Mau operasi, ya?"

Biru masih tidak menjawab. Bukan ragu, tetapi mulai berpikir untuk tidak melakukannya, merasa enggan sembuh karena alasannya untuk bertahan hidup pun sudah tidak ada.

Perhatian Jericho teralih pada Kendra yang baru keluar dari kamar mandi, lengkap dengan seragamnya. Remaja itu menghampiri sang kakak dengan tatapan terarah pada mangkuk yang masih penuh. "Masih nggak mau makan, Kak?"

Jericho mengangguk lalu beranjak dari kursinya, memberikan kesempatan pada Kendra untuk mencoba membujuk Biru. Melihat kakak sepupunya terus fokus pada ponsel, Kendra terpaksa mengambil benda pipih tersebut untuk dijauhkan. Biru seketika bangun dan ingin mengambilnya, tetapi Kendra langsung menyimpannya di tempat yang tidak bisa Biru jangkau. Sebenarnya Kendra tidak tega, tetapi membiarkan Biru seperti itu juga tidak baik.

"Jangan dilihat lagi, Kak. Om Jonathan ataupun yang lain nggak akan muncul dari handphone ini. Kasihan mata Kakak, kecapean. Badan kakak juga drop." Kendra sengaja mengangkat tangan Biru yang terpasang infus. "Lihat, gara-gara semalam nggak tidur dan berakhir kambuh, Kak Biru harus diinfus."

A Little Thing Called : QUERENCIA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang