Biru menekan ikon telepon setelah mendapat pesan dari Haidar. Sepulang berkunjung pada makam sang ibu, Biru tidak langsung pulang. Ia masih bersama Pak Diego sekarang, baru saja selesai dari acara mencari objek foto untuk inspirasi melukis. Notif di ponselnya sudah dipenuhi oleh si bungsu, maka dari itu ia memutuskan untuk menghubunginya.
"Halo, Kak?" Suara Haidar menyapa gendang telinganya. "Kakak di mana? Bibi Mae bilang Kakak belum pulang."
"Kakak masih di jalan pulang." Biru menjawab sembari mengamati jalanan, baru sadar kalau jalan yang dilalui melewati sekolah kedua adiknya. "Kamu sama Athalla seharusnya udah pulang, kan? Kalau kalian nggak punya kegiatan yang lain kakak jemput sekarang. Biarin Pak Gilbert sendiri."
Terdengar suara grasak-grusuk di seberang sana. Biru tidak tahu apa yang kedua adiknya lakukan, tetapi sepertinya mereka tengah membuat kesepakatan. Biasanya, mereka pulang telat karena mempunyai kegiatan masing-masing. Athalla dengan karatenya dan Haidar dengan klub musiknya.
Suara Haidar terdengar kembali. "Kak, sebenernya kami masih ada kegiatan. T-tapi, aku sama Lala mau bolos aja, deh. Boleh, kan? Kami lebih milih ninggalin kegiatan kami demi dijemput Kakak. Kapan lagi pulang bareng sama Kak Biru! Jangan bilang-bilang sama Kak Julian, ya! Kami tunggu, Kak."
Antusias tinggi Haidar membuat Biru menghangat. Di seberang sana, Haidar berteriak dan mengadu karena Athalla memukul bahunya. Bisa ditebak Athalla tengah marah karena Haidar memanggilnya dengan sebutan 'Lala'.
Seusai sambungan telepon terputus, Biru kembali bias dalam lamunan. Usahanya untuk melupakan soal Jericho yang mengenal ibunya gagal. Sedari tadi, ia terus memikirkan soal hubungan mereka dengan Florenz.
Keluarganya memang tidak pernah marah jika ia melakukan kesalahan apa pun, tidak lebih dari menasehati. Akan tetapi, Biru tidak yakin untuk yang satu ini, karena menghindari Meizie adalah larangan yang selalu berulang kali ia dengar. Bukan hanya dari kedua kakaknya, melainkan sang ayah juga turun tangan.
"Biru, sudah sampai."
Yang dipanggil tersadar. Biru mengedarkan pandangnya ke sekitar, mendapati mobil yang ditumpangi sudah memasuki area sekolah. Entah berapa lama ia melamun, yang pasti ia cukup terkejut karena jarak dari pemakaman menuju sekolah kedua adiknya tidak begitu jauh. Hanya perlu lurus lalu setelahnya belok kanan dan putar balik untuk melewati gerbang utama hingga berhenti di area parkir.
Biru sibuk memperhatikan banyaknya mobil jemputan yang masuk dan keluar. Biru tentu tahu siswa-siswi yang bersekolah di sini merupakan orang berada semua. Kalau dihitung lewat persentase, kemungkinan 77% dari mereka merupakan penerus bisnis orang tuanya, sementara sisanya adalah anak-anak ambisius yang mengejar universitas luar negeri, tak menyia-nyiakan peluang besar yang dimiliki sekolah karena sudah masuk taraf internasional.
Jadi, tidak heran ketika wajah blasteran mendominasi dibanding warga lokal, ditambah pengumuman-pengumuman yang terdengar memakai bahasa asing. Biru menatap nama sekolah yang tersemat di gedung utama--sudah terpampang jelas semenjak masih di jalanan depan menuju kemari.
MEIZIE INTERCULTURAL SCHOOL
Biru terpaku mendapati nama tersebut, baru menyadari jika sekolah kedua adiknya merupakan pimpinan Jericho. Hal itu membuat kebingungannya bertambah. Jika keluarganya membenci Meizie, lalu mengapa Athalla dan Haidar dibiarkan masuk ke sini?
"Pak, boleh aku tanya sesuatu?" Biru mencoba mencari tahu lewat Pak Diego, dengan harapan pria tua itu dapat memberi jawaban.
"Soal apa, Biru?"
"Yang masukin Athalla sama Haidar ke sekolah ini ... siapa? Papa?" Biru masih berharap-harap. Yang ia tahu, sebelum menjadi sopirnya, Pak Diego merupakan sopir sang ayah atau pun sang kakek ketika pulang dari luar negeri.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Little Thing Called : QUERENCIA [END]
Novela Juvenil[ Family, Brothership, Sicklit ] Biru tidak pernah akan berhenti menyebut keluarganya sebagai sumber bahagia, tempat paling nyaman untuk bersandar di kala lelah dengan segalanya. Baginya, bisa hidup di keluarga yang saling menyayangi adalah anugerah...