Julian menghela napas kala yang ia dapat lagi-lagi suara operator. Entah sudah yang ke berapa kali, Jonathan tidak juga mengangkat teleponnya. Padahal sesibuk apa pun, biasanya Jonathan bisa meluangkan waktu sejenak untuk menghubungi kembali. Sejauh ini, Julian hanya bisa memastikan sang ayah terlanjur menganggap teleponnya tidak begitu penting karena mengira akan membahas Biru. Akan tetapi, ketika Silvanya yang biasa mengangkat--bahkan dalam keadaan sibuk pun-- kali ini tidak terdengar suaranya.
Julian bisa memaklumi kalau mereka tidak menjawab untuk seharian penuh. Namun, jika lebih dari itu, Julian tidak biasa. Satu hari lalu ia mendapat informasi dari Rayn yang mengatakan kalau Jonathan sama sekali tidak sedang sibuk, bahkan sejak kemarin berada di mansion mendiang kakeknya. Julian sempat bertanya akan keberadaan Silvanya, tetapi pria itu tidak menjawab, berakhir mematikan telepon tanpa alasan jelas. Karena hal itu, perasaan Julian menjadi tidak enak.
Tak lagi fokus pada ponsel, Julian yang berdiri di lorong yang menjadi penyambung antara gedung satu dengan gedung yang lain mulai beralih menatap kendaraan yang berlalu lalang di jalanan kota. Tak sengaja netra kembarnya menangkap ambulans yang memasuki area rumah sakit, membuatnya langsung teringat pada kejadian di mana Biru datang dalam keadaan tak sadarkan diri.
Julian akhirnya mulai meninggalkan lorong yang semula ia pijak, memutuskan untuk kembali ke ruang rawat sang adik. Dibukanya pintu dengan perlahan, berusaha tidak membuat suara agar Biru yang masih belum siuman tidak terganggu.
Terhitung, sudah dua hari ini Julian tidak pergi ke mana pun. Melihat adiknya yang belum juga membuka mata membuat khawatir Julian bertambah, padahal sebelumnya dokter bilang kondisi adiknya sudah baik-baik saja. Lelaki itu mendekat seraya meraih tangan Biru yang terbebas infus. "Biru, bangun. Jangan buat rasa khawatir Kakak tambah banyak."
Tidak adanya sahutan membuat Julian menunduk dengan perasaan campur aduk. Entah kenapa, tiba-tiba Julian merasa sedih tanpa alasan. Julian tidak tahu perasaan itu datang karena Biru atau karena orang tuanya yang tidak ada kabar.
Di kala fokus dengan rasa khawatirnya, Julian dikejutkan oleh gerakan jemari adiknya yang ia genggam. Sontak ia yang semula menunduk mulai mengangkat wajah, menangkap bagaimana mata Biru terbuka secara perlahan. Julian tersenyum senang kala bola mata yang semula memandang lurus itu beralih menatapnya meskipun lambat. "Biru?"
Biru belum merespons, tetapi sadarnya tidak memperlihatkan bahwa dia sudah baik-baik saja. Julian bisa menangkap dengan jelas kerutan di keningnya yang menggambarkan bahwa adiknya tengah menahan sesuatu. Anak itu menunjukkan kelemahannya, membuat senyum Julian kembali pudar.
"Kenapa? Ada yang sakit?"
Biru mengangguk pelan. Mulutnya bergerak dan mengeluarkan suara dengan lirih. "K-kak, bantu aku duduk." Diam-diam Biru meringis kala Julian membantunya untuk mengubah posisi, menahan erangan sakitnya agar tak keluar dan membuat kakaknya khawatir.
"Yang mana yang sakit?" tanya Julian dengan kedua tangan mendarat di bahu Biru. "Kakak panggil Om Wira, ya?"
Julian hendak pergi, tetapi dengan cepat Biru menahannya. "Jangan, Kak. Ini bukan apa-apa. Nanti sakitnya pasti hilang." Biru berucap dengan ragu yang mengiringi, tidak yakin dengan ucapannya sendiri. Meskipun begitu, ia tetap memasang raut wajah meyakinkan untuk kakaknya.
Julian menatap adiknya yang masih tampak pucat. "Jangan bikin khawatir terus, Biru. Kakak kaget lihat kamu keluar dari ambulans sewaktu jemput Setya. Kamu bahkan baru sadar setelah dua setengah hari dari kejadian."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Little Thing Called : QUERENCIA [END]
Novela Juvenil[ Family, Brothership, Sicklit ] Biru tidak pernah akan berhenti menyebut keluarganya sebagai sumber bahagia, tempat paling nyaman untuk bersandar di kala lelah dengan segalanya. Baginya, bisa hidup di keluarga yang saling menyayangi adalah anugerah...