26. Tears of Solitude

2.3K 348 110
                                    

Malam itu, gerimis datang beriring hawa dingin. Ruangan dengan cat tembok putih juga wangi khas obat-obatan itu tampak sepi. Selain karena hari sudah malam, dua orang yang berada di sana sama-sama bungkam, terlampau bingung soal apa yang harus dilakukan ke depannya.

Salah satu dari keduanya bergerak meraih tangan seorang remaja yang terbaring di atas ranjang pesakitan. "Biru."

Orang itu--Mae--berbisik tepat di telinga majikan mudanya yang sudah ia anggap sebagai putranya sendiri. Mae tahu, Biru sama sekali tidak tidur, hanya menghindar dari orang-orang dan ingin menyendiri. Biru hanya akan bangun ketika ruangan rawatnya sepi. Biru belum ingin bicara pada siapa pun dan yang biasa dilakukannya akhir-akhir ini hanya melamun.

Mae pasrah, lalu mengembalikan tangan Biru pada posisi semula. Wanita itu menyusul Diego yang sebelumnya keluar ruangan. "Masih nggak bisa dihubungi?" tanyanya, menghampiri Diego yang sejak awal berusaha menghubungi keluarga Florenz.

Lewat sorotan mata, Diego menyampaikan kalau apa yang dilakukannya sama sekali tidak membuahkan hasil. Sudah beberapa hari semenjak perceraian terjadi, baik Mae dan Diego kehilangan arah karena tidak ada satu pun dari mereka yang balik menghubungi hanya untuk sekadar memberi kabar atau memberi tahu apa yang harus mereka lakukan pada Biru.

Sementara itu, Biru yang sejak awal tidak tidur perlahan membuka mata, memandang langit-langit dengan tatapan kosong. Diamnya memungkinkan orang berpikir bahwa ia baik-baik saja, padahal nyatanya tidak. Suasana hatinya riuh bukan main--campur aduk antara sedih, takut, dan marah--tertahan semenjak hari di mana keluarganya hancur dalam sekejap. Semuanya tertutup oleh raut wajah yang masih dikontrol untuk tetap tenang.

Dingin yang menghampiri seolah menyatu dengan sepi yang ia rasa sejak kembali dari pengadilan, tempat di mana orang-orang meruntuhkan perasaannya.

Suara pintu terbuka mengalihkan pandangan Biru. Di ambang pintu, Mae terkejut mendapati Biru yang sudah bangun. Wanita itu langsung menghampiri dengan Diego yang menyusul di belakangnya. Jika biasanya Biru akan berbalik memunggungi, kali ini Biru mulai memberi respons yang baik. Biru merasa bersalah saat menangkap raut lelah dari kedua orang yang menemaninya selama kembali ke rumah sakit.

Melihat Biru yang berusaha bangun, Diego sontak membantunya untuk bersandar pada headboard. Hening menyelimuti sebab masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Bapak hubungi siapa lagi?" Biru memulai percakapan dengan tenang.

Diego perlahan tersenyum karena Biru mulai berani bersuara. Sayangnya hal itu tidak bertahan lama sebab jawaban yang hendak Diego berikan mungkin akan membuat Biru tidak senang. "I-itu, masih sama. Kalau bukan tuan, nyonya, juga tuan muda yang lain, siapa lagi yang Bapak hubungi?" jawabnya, merasa tak enak hati.

Mendengarnya Biru hanya bisa terdiam. Tanpa bertanya kembali pun Biru sudah tahu jika usaha Diego sia-sia. Padahal sebelumnya Biru masih berharap ada salah satu keluarganya yang datang meskipun hanya sebentar, tetapi untuk sekadar mengangkat telepon saja mereka abai.

"Ada yang hilang," gumam Biru, hampir tidak terdengar.

Mae dan Diego saling bertukar pandang, tidak begitu mengerti apa yang Biru maksud. Keduanya tidak berani menyahut, hanya bisa mendengar apa yang hendak Biru sampaikan.

"Mimpi buruknya nggak datang lagi." Biru bercerita seraya menunduk. "Kemarin-kemarin, Biru frustrasi sama mimpi buruk yang terus datang sampai rasanya takut mau tidur. Waktu Biru bangun, rasanya selalu lega bukan main karena tahu yang Biru takuti cuma mimpi. Sekarang mimpi buruk itu hilang, tapi bukannya tenang, kenapa Biru malah ngerasa sakit?"

A Little Thing Called : QUERENCIA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang