Bab 13 : Cerita Nathan

21 10 0
                                    

Angin sore berhembus dingin.

Lampu-lampu jalanan mulai menyala menerangi suasana petang yang semakin menggelap.

Sedangkan kedua remaja itu mesih bergeming di tempatnya. Di sebuah pos satpam di temani pak Cipto di dalam yang bertugas berjaga malam, keduanya duduk lesehan di depan pos.

Duduk berdampingan.
Saling diam dalam pikiran masing-masing.

Bunga menekuk lututnya dan memeluknya sembari melihat burung-burung dilangit yang pulang kesarangnya.
Sedangkan Nathan, cowok itu sibuk melihat kendaraan yang berlalu lalang.

Pak Cipto dan Pak Handoko sedang menonton televisi di dalam sana.

Meski para satpam itu telah menyuruh mereka untuk pulang, namun Nathan beralasan jika mereka sedang ada pembahasan penting yang harus segera diselesaikan.
Mau tak mau, Pak Cipto dan Pak Handoko harus memakluminya dan memberikan ruang pada kedua orang itu.

Tak ada pembicaraan diantara kedua insan berlawanan jenis itu. Hanya keheningan serta suara angin sore yang membawa hawa dingin.

Tak ingin ini terus berlanjut, Nathan memberanikan diri untuk bertanya.
Cowok itu memutar posisi duduknya, menghadap Bunga di belakangnya yang masih memeluk lutut.

Nathan menatap lekat manik mata yang enggan untuk membalas itu.

"Cepat katakan. Apa yang membuatmu bersikeras untuk menahanku", ujar Bunga tiba-tiba yang tentu saja membuat Nathan terkejut.

Pasalnya sedari tadi cewek itu terlihat memasang wajah dinginnya. Tak disangka, ternyata Bunga lah yang bersuara terlebih dahulu.

Nathan meneguk ludahnya kasar.
Mencoba menguatkan tekadnya dengan alasan yang sebenarnya.

"Apakah bila aku memberikan alasannya, membuat mu mau memaafkanku?"

Bunga menatap cowok itu dengan tatapan yang sulit diartikan, membuat Nathan semakin ragu.

"Tergantung seberapa kuat alasanmu untuk dimaafkan"

Mendengarnya, membuat hati cowok berjaket biru itu lega.

"Baiklah. Beberapa hari sebelum hal itu terjadi.... "

🌷🌷🌷

Seorang pria paruh baya dengan kemeja putih bersih, membelakangi sebuah pintu yang terbuka.

Tangan kirinya di simpan di belakang badan, serta tangan kanan yang memegang rokok yang menyala.
Pandangannya mendongak, mengikuti tiap dentingan jam kayunya.

"Untuk apa Daddy menyuruhku kesini?", tanya seorang pemuda yang baru saja masuk.

Hans melirik, tepat di ekor matanya. Menangkap bayangan Natch, putra sulungnya yang menyiratkan keragu-raguan.

Pria itu tersenyum sinis.

"Apakah salah jika seorang ayah ingin bertemu dengan anaknya"

Hans meletakan rokoknya di tempatnya semula.

Natch yang mendapatkan jawaban demikian tersentak, namun sebisa mungkin dirinya kembali menenangkan diri. Keringat dingin mengalir perlahan dari wajah indahnya.
Helaan napas berhembus.

"Tak masalah jika Daddy ingin bertemu denganku", jawab pemuda itu setelah helaan napasnya.

"Langsung keintinya saja, atas dasar apa Daddy memanggil Natch kemari?"

Tulip Dua Warna [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang