Kirana berjalan menuju kearah para emban dengan tergesa gesa, dia kemudian berkata pada Sumarni.
"Sumarni, bukankah kita harus jalan jalan, tunjukan jalannya." Balas Kirana membuat Sumarni pun menunduk dan berkata.
"Baik ayu, mari saya tunjukan tempat selanjutnya."
Kirana akui, keindahan zaman dulu memang berbeda, ketika ia masuk ke taman ini nyatanya bunga bunga khas Indonesia tertanam dengan baik. Dapat Kirana lihat ada pohon kamboja dan ada juga bunga melati serta buga bunga lain.
Dan, kupu kupu kecil juga sering berada disekitar bunga, sebanyak inikah? Padahal di dunianya jarang sekali kupu kupu kecil kuning dan putih itu berterbangan.
"Yah cuaca kali ini bagus juga." Gumam Kirana, jalanan setapak itu masih penuh dengan tanah dan bebatuan, tetapi Kirana pikir ini semua jarang terjadi di dunianya yang sudah penuh dengan polusi dan pencemaran lingkungan.
Akan lebih baik jika dunia modern juga mengindahkan keadaan alam yang luar biasa ini.
"Ayu, apa anda tidak ingin memakan apapun? Ini sudah menunjukan siang hari."
"Aku belum lapar." Balas Kirana, seperkian detik ketika dia mengatakan itu, suara tawa anak kecil terdengar begitu senang.
Penasaran dengan hal itu, Kirana berjalan kearah gapura dekat dengan taman, benar saja disana beberapa anak anak sedang bermain bersama.
Mereka tampak riang memainkan permainan tradisional yang begitu sangat Kirana kenali. Karna rasa penasaran yang begitu besar Kirana kemudian mendekat kearah salah seorang gadis kecil yang sedang berjaga dekat dengan pohon.
Tidak ada tahu, bagaimana asal permainan indonesia itu berasal, ternyata dizaman ini pun anak anak memainkan permainan seperti petak umpat, permainan tradisional yang tidak diketahui asal usulnya mumgkin saja memang benar dari nenek moyang.
"Aku akan mencari kaliaan yaaa." Begitu anak kecil itu membalikan badannya, melihat sosok Kirana beserta para emban yang berdiri tak jauh dari dirinya gadis kecil itu membeku terkejut.
Kirana tentu saja tidak bisa tak tersenyum karna tingkah ketakutan anak itu mirip sekali dengan anak anak Tk yang malu bertemu dengan orang baru.
"Permainan apa yang sedang kamu mainkan Nak?" Tanya Kirana membuka percakapan, mendekat kearah gadis kecil itu, diikuti oleh para emban.
"Hmm." Gadis itu tampak malu menjawab, Sumarni bahkan yang lain terkekeh ketika melihat gadis imut itu malu.
"Apa kamu tidak ingin menjawabnya?"
"Salam untuk yang terhormat ayu." Bukannya menjawab gadis itu memberi salam dengan canggung kepada Kirana, Kirana bisa menebak bahwa gadis kecil itu pasti anak dari salah satu emban yang ada disana.
"Kau tidak perlu canggung seperti itu." Jawab Kirana, kini dia mensejajarkan dirinya dengan tinggi gadis itu.
"Kau bisa menjawabnya dengan santai, anggap saja aku seperti temanmu." Kata Kirana.
"Ampun ayu, tetapi, ibu saya berkata, kalau kami tidak bisa sembarangan berbicara dengan keluarga Senopati." Katanya dengan lancar.
"Kalau aku memerintahkannya apa kau mau berteman denganku?" Tanya Kirana, sepertinya gadis itu nampak menatap Kirana dengan mata yang bersinar.
"Apa saya boleh melakukan itu?"
"Tentu saja, aku mengizinkannya, aku juga ingin bermain bersama kalian."
"Benarkah?" Kembali gadis kecil itu nampak bersemangat, para emban bahkan merasa kalau Kirana begitu dermawan, yaah tak bisa dipungkiri sistem kasta memang membedakan manusia yang derajatnya sebenarnya sama.
"Ya, bagaimana kalau kita panggil teman temanmu kemari dan mulai permainan baru."
"Baiklah ayu."
Mulailah gadis kecil itu memanggil teman temannya, anak anak kecil yang bersembunyi karna takut mulai berani mendekat kearah Kirana.
Merka bermain berbagai hal, Kirana cukup menikmati permainan itu, senyumnya tampak merekah indah dibawah pantulan sinar matahari yang menerobos masuk diantara daun daun rindang.
Penampilan itu, disaksikan oleh seseorang yang merasa salah dengan apa yang dia lihat.
"Salam yang terhormat senopati sarwajala." Pria yang kita kenali sebagai Dimas itu kini menatap tuannya dengan kebingungan, bahkan ketika Dimas memberi hormat sepertinya sang tuan tidak sadar akan kehadirannya.
Benar, sedari tadi Jaka berdiri tak jauh dari taman Pakuwon, menatap lurus tanpa berkedip kearah seseorang, ketika Dimas melihat apa yang ditatap Jaka, nampaklah Kirana yang sedang tertawa memangku seorang gadis kecil.
"Jaka." Barulah ketika Dimas memanggil Jaka dengan namanya, maka lamunan Jaka terbuyar dan ia kembali tersadar.
Jaka dan Dimas memang sudah bersahabat sedari kecil, maka tak heran jika Dimas terkadang memanggil Jaka dengan namanya tanpa panggilan hormat ketika keduanya sedang berdua.
"Ada apa Dim?"
"Hei, seharusnya aku yang bertanya, aku tau kau tengah dimabuk asmara karna masih pengantin baru, tapi tak sewajarnya kau melupakan aku Jak."
Mendengar perkataan Dimas, tatapan menusuk kini Dimas rasakan sebagai jawaban atas apa yang ia lakukan, Dimas memang sudah salah mengusik seekor singa.
"Iyaa maafkan aku, mau bagaimana lagi, aku memberi salampun kau tidak menjawabku." Balas Dimas dengan alasan.
"Apa kau yang meminta Kirana mengobati lukaku?" Pertanyaan yang Jaka lontarkan tentu membuat Dimas mengangguk dengan senang, akhirnya setelah sekian purnama Dimas menunggu, Jaka kembali lagi mau membuka suaranya.
Betapa malangnya seorang Jaka ketika Ratna meninggalkannya, memilih pria lain, jika boleh dikata Jaka memang seorang pria yang setia sehingga wajar proses ia melupakan sesuatu itu lama.
"Ya, aku yang meminta ayu memberikan obat kepadamu, dia terlihat sangat cantik, dipikir lagi ini pertama kalinya ayu keluar dari kamarnya."
Kembali tatapan menusuk Dimas rasakan ketika kata cantik keluar dari mulutnya, tentu saja Dimas tau kalau sulut api kini telah menyala walau sedikit di diri Jaka, Dimas memang sudah mengenal Jaka sedari kecil.
"Dia terlihat sangat aneh, tidak mungkin seseorang berubah secepat itu." Kata Jaka.
"Hanya sang hyang yang tau mengapa istrimu itu terlihat berbeda Jak, aku pikir itu bagus, itu tandanya istrimu sudah mau menerima pernikahan yang kalian jalani."
"Dia?" Jaka meragukan apa yang ia dengar, awalnya ia ingin memarahi Dimas karna sembarangan meminta Kirana melakukan itu, tetapi sepertinya Dimas memiliki pandangan lain sehingga membuat Jaka berpikir.
"Siapa yang tidak tau kalau istrimu itu adalah seorang pembuat onar? Tetapi coba lihatlah, ketika ia jauh dari kedua orang tuanya, betapa dewasanya auranya."
"Beraninya kau memuji istri orang lain apalagi didepan suaminya sendiri Dim?" Dimas semakin tidak mengerti, pikiran Jaka yang susah ditebak semakin membuat Dimas pusing.
"Kenapa aku terlihat seakan akan sangat salah dimata mu Jak? Ah sudahlah, para ksatria menunggumu ditempat latihan, lebih baik kita kesana."
Tanpa menjawab kata kata Dimas, Jaka benar benar pergi meninggalkan Dimas dibelakangnya dengan perasaan kesal.
"Huuh, kalau kau cemburu seharusnya katakan dengan jelas." Gerutu Dimas sembari mengikuti Jaka.
KAMU SEDANG MEMBACA
RADEN JAKA
Historical FictionPertemuan itu? Akankah kehidupanku baik baik saja disini. Terdampar pada cerita tanpa ujung yang dibuat dengan latar belakang tanpa nama. Hanya aku yang ingin keluar, tetapi ternyata tidak semudah itu menghilangkan semuanya. Aku hanya diberi waktu...