part 1

169 16 0
                                    

Kirana pulang dengan perasaan sedih, Arya meninggalkannya sehingga ia pulang dengan menggunakan angkutan umum lain. Berjalan gontai, kata kata dokter masih selalu ada didalam benaknya.

"Maaf, kemungkinan terburuknya mbanya tidak bisa menjadi seorang ibu."

Dari arah rumah itu, sang nenek berjalan menggunakan tongkatnya, menatap sang cucu dengan sendu, dia seperti sudah dapat tau bagaimana hasil yang Kirana dapat detik itu.

"Ndok." Panggilan itu membuat Kirana menatap sang nenek, air mata yang ia tahan sedari tadi sekarang telah tumpah membasahi pipinya yang halus.

"Embah." Segera saja sang nenek merentangkan satu tangannya, dimana yang satunya lagi menahan tubunya dengan tongkat.

"Hiks." Tubuh Kirana memeluk tubuh neneknya dengan erat, dengan tangisan dia seakan mengadu seperti diwaktu kecil.

"Embah, hiks, Arya, hiks hiks Arya ninggalin Kirana sendirian mbah, hiks hiks, Arya ninggalin Kirana sendirian hiks."

Begitulah kata kata Kirana terus terulang ulang, ia bahkan menangis sangat lama dalam pelukan neneknya dengan pilu, disaat ia tenang dan telah sedikit berusaha menerima, sang nenek berkata.

"Ndak papa, hasil apapun yang kamu dapat, semua itu tak luput dari kehendak tuhan ndok." Kata sang nenek.

"Bagaimana embah uti bisa tau hasilnya?" Tanya Kirana, dengan lirih ia bahkan tidak mengatakan apapun kepada neneknya ini.

"Tanpa kamu bilang embah juga udah bisa membaca dari raut mukamu."

"Tapi mbah, semua perempuan ingin memiliki seorang anak, dan itu adalah pekerjaan yang paling mulia, ujung dari sebuah perjuangan seorang perempuan, bagaimana ada orang yang mau menerima Kirana jika Kirana seperti ini."

"Anak adalah anugerah, menjadi seorang ibu juga impian wanita ndok, tapi sebuah hubungan itu ndak berdasarkan itu, akan ada seorang yang menerima kamu apa adanya."

"Embah hiks." Kembali Kirana menangis, dan malam itu neneknya menemani dirinya tidur dalam kesedihan tanpa ujung.

Pagi sebelum ini terjadi Kirana akan memyiapkan sarapan untuk dirinya dan neneknya. Matahari telah terbit setinggi galah sekarang, jika diperhatikan Kirana sekarang bangun dengan mata yang begitu bengkak.

Ia terbangun dikarenakan suara orang memasak didapur yang tidak terlalu jauh dari kamarnya.

"Embah." Panggilan itu membuat sang nenek menoleh kearah cucunya yang bangun dengan keadaan berantakan.

"Dah bangun ndok?" Sembari meletakan beberapa makanan ke meja makan khas orang zaman dulu.

"Ya, udah, Embah masak sendiri?"

"Hm, embah udah masak buat kamu ndok, ayok makan, ini enak, mbah sendiri loh yang masak."

"Kirana cuci muka dulu ya mbah, nanti kita makan bareng."

Walau matanya sembab, dan kesedihannya masih terasa dengan nyata Kirana meyakinkan dirinya sendiri kalau pasti Arya akan kembali kepadanya.

Entah kenapa harapan itu masih muncul, kemarin mereka hanya diliputi amarah yang tidak jelas sehingga mau tidak mau bukankah berbicara empat mata adalah solusi terbaik pemecahan masalah ini.

"Oseng kangkung, sama endog Ceplok buatan embah, pasti kamu suka." Perkataan sang nenek tiba tiba membuat Kirana yang sedang wajahnya di wastafel kembali terbuyar dari lamunannya ketika menatap cermin. "Masakan embah uti kan selalu enak." Balas Kirana keluar dari kamar mandi dengan wajah mulusnya yang segar.

"Oooh mesti, makanan embah iku yang paling top, ndak ada yang bisa ngalahin." Senyuman itu terukir dibibir Kirana karna ia tahu sang nenek berusaha keras membuat dirinya bangkit.

RADEN JAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang