Keriuhan terdengar hampir di seluruh penjuru rumah. Kamarku didekorasi dengan cantik.
“Kak Nad! Aku seneng banget akhirnya Kakak akan menikah.” Lana—adik laki-lakiku—memelukku erat. Ia memang sangat dekat denganku meski usia kami terpaut jauh.
Aku bersyukur setelah kepahitan masa lalu akhirnya sekarang kebahagiaan menghampiri. Semua sebab keyakinan, usaha dan doa tanpa lelah.
“Mas Wira telpon!” seruku dengan senyum mengembang. Bahagia sekali calon suamiku menghubungi setelah hampir dua pekan tidak bertemu.
“Kak! Bukannya kata Ayah sama Mama kalau Kakak sama sekali tidak boleh ketemu sama Mas Wira. Termasuk juga tidak boleh telponan sampai nanti hari H.” Ucapan Lana membuatku sedikit bimbang untuk menerima panggilan telepon Mas Wira. Namun, rasa rindu membuat jari tanpa sadar sudah menekan tombol hijau.
“Iya, Mas,” sambutku setelah mengucap salam. Dari seberang sana hanya terdengar suara helaan napas berat Mas Wira tanpa membalas salamku.
“Ada apa, Mas?” desakku mulai panik.
“Maafkan aku, Nad. Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan kita.” Sambungan telepon terputus sepihak.
“Kak Nad! Kak Nad kenapa!” Lana menangkap tubuhku yang luruh ke lantai.
Mendadak gelap seluruh pandanganku meski mata masih terbuka. Hatiku kaku tidak mampu lagi merasakan apa-apa. Dalam telinga berdengung riuh seluruh suara-suara masa lalu.
“Nadia!”
Itu suara bariton Ayah terdengar menuju kamarku. Suara pintu dibuka dengan kasar pun tidak lagi mampu membuatku terkejut.
“Nadia sayang,” ucap Ibu seraya tergopoh-gopoh menghampiri dan memelukku.
“Keluarga kita dipermalukan. Sangat dipermalukan!” Ayah bicara dengan nada suara penuh murka. Sementara Mama semakin erat mendekapku dengan deraian air mata.
“Kamu memang seret jodoh. Sudah umur dua puluh sembilan masih saja gagal menikah!” kakak perempuanku—Esa—ikut menimpali dengan kata-kata yang menyakitkan.
“Kak Esa!” bentak Lana. Ia memang adik yang selalu membelaku saat Kak Esa atau siapa pun membuatku terluka.
“Kalau kamu nurut dengan permintaan Ayah. Tidak akan semua ini menimpa keluarga kita!” Ayah masih bicara dengan suara menggelegar.
“Kamu harus menerima pinangan dari anak sahabat Ayah. Harus, Nad,” ucap Ibu menambahi kata-kata Ayah.
“Ini ada apa, Yah, Ma?” tanya Lana, kebingungan.
“Kakak kesayangan kamu batal nikah!” ketus Kak Esa dengan kedua tangan menyilang di dada. Ia tampak sangat puas mengejekku.
“Batal?” tanya Lana tidak percaya, “tapi kenapa? Barusan ….” Lana urung melanjutkan kalimatnya.
“Keluarga Wira mengirim utusan untuk membatalkan pernikahan dengan Nadia. Kita ketiban bencana. Bencana!”
Air mata Mama bercampur dengan air mataku di pipi. Rupanya Mas Wira benar-benar menghancurkan impianku. Aku tidak pernah menyangka. Masih dengan jelas kuingat bagaimana dua bulan lalu Mas Wira meyakinkan jika ingin menikah tanpa pacaran.
Lamarannya kuterima setelah yakin sebab dia adalah rekan kerjaku dan sudah lama saling kenal. Ia juga mengetahui bagaimana kisah cinta pertamaku yang kandas. Bahkan dia juga yang sering menghiburku saat kondisi pikiran terpuruk karena patah hati.
Dia melakukan semua seperti sahabat dan kakak. Saat dirinya tiba-tiba melamar tentu saja aku tidak percaya awalnya. Namun, ia meyakinkan jika sebenarnya sudah lama jatuh hati padaku. Hanya saja menunggu sampai aku pulih dari patah hati.
Lalu apa ini. Mas Wira yang berjanji akan menjadikan aku sebagai wanita paling bahagia nyatanya malah menenggelamkan aku dalam kubangan duka. Bahkan bukan hanya aku yang merasakan, tetapi juga keluargaku. Duka dan malu adalah dua hal yang sama-sama menyakitkan.
“Jaga Nadia tetap di kamar. Ayah akan menghubungi sahabat Ayah. Hanya dia satu-satunya yang bisa menyelamatkan kehormatan keluarga kita,” putus Ayah seraya pergi meninggalkan kamarku.
“Memalukan! Ayah sampai harus ngemis sama orang lain gara-gara kamu!” Kak Esa sangat benci padaku.
Sebenarnya kebencian itu bukan tanpa alasan. Dia terpaksa menikah muda karena Ayah memaksanya menerima perjodohan demi keberlangsungan bisnis. Sementara Ayah membebaskan aku memilih pasangan sendiri. Namun, kenyataan membawaku harus menjadi anak yang membuat malu keluarga. Aku tidak ingin keluarga ini dipermalukan.
“Siapa yang ngemis, Sa. Keluarga Pak Hadi sendiri yang sudah sejak lama ingin menjadikan Nadia sebagai menantu mereka,” sanggah Mama.
“Tapi Nadia si keras kepala menolak dan lihat. Tiga hari lagi akad dan semua sudah siap. Tapi dibatalin begitu saja oleh Wira. Senang ‘kan kamu bikin keluarga kita malu seumur hidup!” cerocos Kak Esa tanpa henti menyalahkan aku.
“Cukup, Kak!” Lana kembali membelaku.
“Sudah Lana. Jangan pernah bicara dengan suara tinggi pada Kak Esa. Aku tidak apa-apa kok.” Aku mencoba tegar. Usiaku bukan lagi remaja labil apalagi anak-anak yang hanya bisa menangis.
“Aku terima apa pun keinginan Ayah sama Mama. Jika memang bisa menyelamatkan kehormatan keluarga kita,” putusku.
Lana menatapku tidak percaya. Ia tahu betul alasan apa yang membuatku menolak sebuah rencana pinangan itu dulu. Meski ayahku bersahabat dengan keluarga Pak Hadi, tetapi aku sama sekali tidak pernah bertemu dengan anak-anak mereka.
“Bagus!” seru Kak Esa tampak puas dengan keadaanku. “Aku akan mengawasi kamu supaya tidak kabur.”
Sakit hati sekali rasanya, kakakku sendiri memperlakukan aku seperti tahanan. Padahal selama ini aku tidak pernah membantah apapun selain menolak rencana perjodohan itu dengan sikap santun.
Bersambung
Semoga suka dan berkenan. Kritik dan saran sangat diperbolehkan tulis di komentar.
Terima kasih
Jangan lupa baca karya peserta Olimpus Match Battle lainnya, ya!
1. Viloise--@Chimmyolala
2. The Lucky Hunter--@Dhsers
3. Tersesat di Dunia Sihir--@Halorynsryn
4. Aku Bisa--@okaarokah6
5. Kurir On The Case --@AmiyaMiya01
6. Is It Our Fate?--@ovianra
7. Crush--@dhalsand
8. Keping Harapan--@UmaIkhFfa
9. Cinta Alam Untuk Disa--@DenMa025
10. Memutar Waktu--@dewinofitarifai
KAMU SEDANG MEMBACA
Keping Harapan
Romance"Siapa yang ngemis, Sa. Keluarga Pak Hadi sendiri yang sudah sejak lama ingin menjadikan Nadia sebagai menantu mereka," sanggah Mama. "Tapi Nadia si keras kepala menolak dan lihat. Tiga hari lagi akad dan semua sudah siap. Tapi dibatalin begitu saja...