Bab 2 Hari Pernikahan

14 5 5
                                    


"Tenang, Kak, ada aku di sini," hibur Lana dengan senyuman manis tersungging untukku.

Di saat terpuruk seperti ini, ada saudara yang mendukung memberikan kekuatan walau hanya dengan senyuman dan kata-kata sederhana.

"Anak Pak Hadi sudah punya calon istri. Dia baru pulang dari luar negeri hari ini dengan membawa calonnya," ucap Ayah lemah setelah masuk lagi ke dalam kamar. Ayah hampir terjatuh jika Lana tidak sigap memapah.

"Bagaimana bisa, Yah!" sanggah Ibu.

Ada rasa lega. Alasan aku menolak rencana perjodohan itu dulu sebab ada kabar yang menyebut jika anaknya Pak Hadi itu suka main perempuan. Namun, perih. Artinya keluargaku benar-benar ketiban malu.

"Dengar, Nad! Sekali menolak itu sama saja kamu menghilangkan rejeki. Kamu tidak ada rejeki berjodoh. Memalukan jadi perawan tua. Siapa yang mau menikahi kamu!" hina Kak Esa.

Lana hampir saja melayangkan tangannya jika tidak kucegah. Di tengah peliknya suasana, Bi Narti masuk dengan tergopoh-gopoh.

"Pak, Bu. Ada tamu," ucap Bi Narti.

Ayah, Mama dan Kak Esa turun ke lantai bawah sementara Lana masih menemaniku. Dada berdegup kencang menerka-nerka ada hal buruk apalagi yang akan mendatangi keluarga ini karena aku.

Tidak berselang lama, Mama kembali dengan senyum mengembang. Ayah berjalan tegak di belakang Mama dan wajahnya tidak lagi murka.

"Nadia! Kamu tetap akan menikah, Sayang. Kamu akan menikah," seru Mama seraya memelukku penuh haru.

"Kamu sekarang harus buktikan jika kamu memang anak yang bisa mempertahankan kehormatan keluarga," ucap Ayah seraya menepuk bahuku.

Kak Esa tampak kesal, berdiri di ambang pintu. Wajahnya sangat jelas mengejekku.

"Kamu tetap di kamar sampai nanti akad tiba. Ponsel kamu juga harus Ayah sita," ucap Ayah tanpa mengatakan siapa yang akan menikahku.

"Jaga kakakmu," titah Mama pada Lana.

Ayah benar-benar melakukan ucapannya. Dua hari aku hanya bisa menatap dekorasi kamar yang terus saja mengingatkan pada setiap serpihan duka. Diputus tali menuju pernikahan.

"Bangun, Nad!"

Aku merasakan tubuhku diguncang seseorang. Lana masih terlelap di sampingku. Rupanya Kak Esa yang datang. Aku melirik jam menunjukkan pukul tiga pagi.

"Ada apa, Kak?" tanyaku. Mataku terasa pedih sebab baru saja bisa terlelap sudah harus bangun lagi.

"Cepat mandi! Habis subuh kamu sudah harus di-make up," titahnya.

Jadi aku benar-benar akan menikah dengan orang yang sama sekali tidak kuketahui. Demi kehormatan keluarga aku berusaha ikhlas. Seperti Kak Esa yang juga bisa bertahan dengan rumah tangganya.

Setelah berjam-jam wajahku dipoles dan baju pengantin telah melekat pas. Dibantu Lana aku keluar dari kamar dan turun ke lantai bawah. Setelah dua hari tidak menghirup udara luar hidungku disambut aroma wangi bunga yang menghiasi setiap pegangan tangga.

Aku disambut bak tuan putri menuju pelaminan. Semua mata menatapku membuat langkahku bergetar. Jika Lana tidak erat memegang tanganku, bisa saja aku tergelincir.

Di tempat akad sudah duduk Ayah, Mama, penghulu, keluarga inti serta laki-laki yang akan menjadi imamku. Namun, sayangnya aku sama sekali tidak bisa melihat wajahnya karena dia duduk membelakangi tangga yang sedang kuturuni.

Saat mata mengamati semua dengan lebih jelas lagi, aku menangkap ada sosok yang tidak asing. Pak Hadi duduk di samping mempelai pria. Bahkan tangan Pak Hadi sempat beberapa kali mengusap punggung calon suamiku. Apakah laki-laki yang akan menikahiku masih kerabat Pak Hadi.

Sedikit ragu menaiki tangga kecil berhias bunga-bunga menuju tempat akad yang letaknya di sebelah pelaminan. Ayah datang menyambut dengan menggandengku di sebelah kanan sebab Lana masih menggenggam pergelangan tanganku sebelah kiri.

Aku duduk dengan rasa gugup tanpa berani menoleh. Jantungku berdetak semakin kencang saat acara hampir dimulai. Kepala kian menunduk dengan perasaan campur aduk. Antara senang tidak jadi ketiban malu dan sedih sebab calon suamiku saja sama sekali tidak kukenal.

Suara ijab kabul berlangsung lancar dan khidmat. Namun, saat laki-laki di sampingku mulai melafalkan kalimat sakral itu. Aku merasa sudah pernah mendengar suaranya. Bahkan sering.

Sorak sorai dan tepuk tangan membuat suasana yang tadinya tegang menjadi ramai dan penuh kegembiraan. Aku menerima uluran tangan laki-laki yang sekarang telah sah menjadi suamiku dengan gemetar.

Saling memakaikan cincin di jari manis, tetapi masih tanpa melihat wajahnya. Aku sempat tersentak beberapa saat ketika ia tiba-tiba menggenggam tanganku menggandeng menuju pelaminan. Aku berusaha mengimbangi langkahnya tetap tanpa berani melihatnya.

Tamu silih berganti menyalami kami, memberi ucapan selamat. Pesta berlangsung meriah dan lancar. Namun, aku tetap tidak berani melihat ke arahnya. Sepanjang acara leherku kaku tidak bisa menoleh ke samping kanan di mana suamiku berada.

Sebelum pesta usai ada sesi foto yang sempat tertunda karena banyaknya tamu yang datang. Saat itulah aku diharuskan berhadapan dengannya. Apa yang ada di depanku seperti mimpi.

"Bayu!"

Laki-laki yang menjadi suamiku ternyata Bayu. Seorang pemuda yang pernah aku interviu beberapa tahun lalu di tempat kerjaku. Bagaimana bisa ia yang menjadi suamiku. Sementara kami hanya beberapa kali kebetulan bertemu setelah interviu itu.

Bayu tersenyum manis padaku. Sebuah senyuman yang menyiratkan kemenangan.


Bersambung

Jangan lupa baca karya peserta Olimpus Match Battle lainnya, ya!

1. Viloise--@Chimmyolala
2. The Lucky Hunter--@Dhsers
3. Tersesat di Dunia Sihir--@Halorynsryn
4. Aku Bisa--@okaarokah6
5. Kurir On The Case --@AmiyaMiya01
6. Is It Our Fate?--@ovianra
7. Crush--@dhalsand
8. Keping Harapan--@UmaIkhFfa
9. Cinta Alam Untuk Disa--@DenMa025
10. Memutar Waktu--@dewinofitarifai

Keping HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang