Bab 6 Kenapa Harus Marah

9 1 0
                                    

Hari ini acaranya pagi-pagi sudah dimulai. Bayu bahkan memasang alarm sebelum subuh. Entah apa maksudnya. Padahal aku memang terbiasa bangun pagi.

Kemarin Bayu mengajak aku ke salon untuk melakukan perawatan. Aku dapat menangkap jika dia sayang padaku, tetapi sikapnya yang lain membuatku ragu akan hal itu.

Bayu sudah bersiap di lantai bawah. Ia lagi-lagi menuliskan di secarik kertas jika aku harus gegas bersiap. Heran, apa susahnya bicara langsung. Tidur kami bersebelahan meski tidak bersentuhan.

Selesai mandi aku bersiap dengan gamis yang aku sukai. Dandan seperlunya, aku tidak suka make-up berlebih. Aku gegas turun menemui suamiku yang sudah menunggu.

Tatapan tajam yang kuterima saat berjalan menuruni tangga. Bayu menyorot dari atas sampai bawah dengan tatapan kesal. Ia bahkan mencebik padaku. Apakah aku seburuk itu di matanya. Sampai-sampai kemarin menyuruhku perawatan dan tetap tidak suka padaku.

“Kamu tidak menganggap aku ini suamimu!”

Aku berhenti melangkah mendengar ucapan ketus dari mulutnya. Tangan gemetar memegang besi tiang tangga.

“Kamu sengaja menunjukkan kalau kamu lebih hebat dariku! Kamu punya uang sendiri dari hasil kerjamu dulu. Lalu kamu tidak mau menerima pemberianku!”

Bayu begitu murka. Aku tidak mengerti apa salahku. Aku tidak pernah menunjukkan apa saja hasil kerjaku dulu. Semenjak menikah aku makan dari uang nafkah yang ia beri.

Aku menelan saliva yang terasa menyakitkan di kerongkongan. Bibir hendak terbuka untuk mengeluarkan kata, tetapi Bayu kembali berkata dengan amarah.

“Dengar Nadia! Sehebat apa pun kamu dulu. Sekarang tidak ada gunanya. Sekarang kamu istriku. Artinya kamu harus menerima setiap pemberianku. Jangan sombong!”

Mataku panas. Buliran bening mulai mengalir. Napasku terasa menyesakkan dada. Kedua kalinya Bayu murka dengan alasan yang aku belum tahu pasti. Apakah ia membalas dendam padaku karena dulu saat melamar kerja di kantor tempatku bekerja tidak diterima. Lalu kenapa harus sekarang membalas dendamnya. Jika hanya karena itu, untuk apa menikahiku.

Matanya semakin tajam menyorot seakan menguliti. Bibirnya naik ke atas hingga hampir menempel di hidung. Aku benar-benar lemas. Tangan tidak mampu lagi berpegangan.

“Ganti bajumu sekarang! Atau kamu memang tidak pernah menganggap aku sebagai laki-laki yang mampu!”

Kutahan suara tangis agar tidak keluar dari mulutku. Namun, air mata semakin membasahi wajah hingga ke leher. Apakah cara berpakaianku salah. Aku mengenakan gamis dan hijab tertutup. Apa yang salah.

Aku masih bergeming tidak tahu harus bagaimana. Lemas di tubuhku membuat tidak mampu bergerak.

“Nadia!” Bayu sangat geram.

Setelah beberapa lama aku hanya diam menahan tangis. Bayu berjalan dengan langkah gemetar marah mendekat ke arahku.

“Kamu dengar ‘kan, Nadia. Istriku yang hebat.”

Bayu tidak bicara dengan ketus apalagi murka. Namun, nada bicaranya ia pelankan dengan penuh penekanan.

Aku mengangguk pelan dengan tenggorokan serasa tercekik. Sakit sekali hatiku.

Saat diri masih kalut, Bayu menarik tanganku dengan cepat hingga aku berbalik secara paksa dan hampir terjatuh. Bayu menahan tubuhku sambil mencebik.

Bayu menarik tanganku yang walau tidak kasar, tetapi terasa sakit di hati. Dia membawaku kembali ke kamar. Menutup pintu lalu kembali menarikku mendekati ranjang.

“Kamu punya mata ‘kan?” Bayu menunduk di bawah mataku menatap hingga aku tidak bisa mengelak.

“Ini acara di dealer tempatku. Acara yang aku mau semua orang tahu kalau kamu adalah istriku. Jauh-jauh hari aku menyiapkan ini semua. Kamu semudah itu mengabaikan. Apa kurang hebat aku ini di matamu! Apa lebih hebat si Wira itu, hah! Sampai-sampai kamu minta kerja lagi agar bisa ….”


Bayu tidak melanjutkan kata-katanya. Ia berjalan keluar dengan kesal setelah melepaskan tangan yang mengepal dengan meninju angin. Pintu ditutupnya kembali dengan sedikit kasar.

Aku luruh ke lantai. Bayu tidak menyakiti fisikku, tetapi batin. Jauh lebih menyakitkan. Sedikit bicara, bahkan seringnya hanya menulis pesan di secarik kertas. Namun, sekalinya bicara sungguh di luar dugaan. Entah apa yang ada di dalam pikiran dan hatinya tentangku. Seakan semuanya salah.

Setelah beberapa lama membenamkan diri dalam air mata, aku mencoba bangkit. Saat itulah ekor mataku menangkap pakaian di atas ranjang. Aku pelan mendekati dan mengambilnya. Kulirik jam dinding menunjukkan jika satu jam lagi acara.

Mungkin inikah yang membuat Bayu sangat marah. Saat bangun aku merapikan tempat tidur dan tidak melihat ada baju ini di atas ranjang. Kapan ia menaruhnya. Apakah saat aku mandi. Lalu bagaimana bisa aku tidak melihatnya tadi. Aku terlalu fokus untuk cepat bersiap.

Kupandangi pakaian yang masih baru ini lalu menaruhnya dan gegas mencuci muka. Aku tidak ingin mengacaukan lagi acara penting suamiku itu.

Cepat-cepat kuganti bajuku dengan baju yang disiapkan oleh Bayu. Mematutkan diri di cermin sebentar lalu merias diri tipis saja. Setalah kurasa rapi, aku lekas turun.

Kaki dan tangan masih gemetar hingga berjalan menuruni tangga harus berpegangan.

Kali ini Bayu menatapku dalam diam. Aku berusaha berjalan sebiasa mungkin. Harus mampu mengimbanginya. Rupanya pakaian yang aku kenakan senada dengan yang Bayu pakai. Pantas saja dia marah, tetapi kenapa tidak bilang dan malah marah meleber ke mana-mana.




Bersambung

Jangan lupa baca karya peserta Olimpus Match Battle lainnya, ya!

1. Viloise--@Chimmyolala
2. The Lucky Hunter--@Dhsers
3. Tersesat di Dunia Sihir--@Halorynsryn
4. Aku Bisa--@okaarokah6
5. Kurir On The Case --@AmiyaMiya01
6. Is It Our Fate?--@ovianra
7. Crush--@dhalsand
8. Keping Harapan--@UmaIkhFfa
9. Cinta Alam Untuk Disa--@DenMa025
10. Memutar Waktu--@dewinofitarifai

Keping HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang