Bab 7. Senyummu

7 2 4
                                    


Setelah beberapa saat melihatku dengan sorot datar, ia berjalan keluar mendahului sebelum aku sampai di lantai bawah.

Kuhirup udara sekuat-kuatnya. Mengambil napas dalam-dalam lalu menghembuskan pelan-pelan. Mengatur gugup dan juga mencoba membuang rasa gemetar ini.

Kuusahakan cepat menyusul langkahnya. Pintu mobil sudah dibuka. Bayu bahkan sudah menyalakan mesin mobil. Aku tidak mau dia marah-marah lagi. Setidaknya jangan sampai aku membuat ia malu nanti bila terlambat.

Masih lebih baik pengemudi Taksi online yang mempersilakan penumpangnya naik dengan menunjukkan wajah senyum.

Bayu duduk tegak memegang kemudi dan pandangan lurus ke depan. Pintu mobil sudah ia buka lebar. Cepat aku melangkah masuk dan menutup pintu rapat.

Mobil melaju cepat sebelum aku benar-benar duduk dengan nyaman. Jantung masih terus berpacu. Perut mulai bergolak minta diisi. Aku mengatur napas menghalau gugup yang tidak mampu disembunyikan.

Semoga bisa baik-baik saja nanti pas sampai di acara.

Setengah perjalanan, Bayu menghentikan mobil di depan sebuah restoran. Tahu juga dia kalau aku lapar. Terbiasa kami sarapan pagi.

Kukira dia langsung mengajak makan, ternyata tidak.

“Kamu diam di sini. Aku yang turun membeli makan. Makan di mobil biar menghemat waktu.”

Bayu turun dan aku menunggu. Hampir lima belas menit ia baru kembali dengan membawa dua paper bag bertuliskan nama restoran.

“Makan. Suapi aku!”

Aku melotot dan tertegun sejenak.

“Kamu pikir ini acara main-main! Kita harus cepat! Seharusnya kita sudah sampai sekarang!”

Aku cepat menyuapinya walau kesulitan. Seharusnya mesra bukan saat seperti ini. Namun, tidak. Justru jantungku serasa lepas tengah menyuapi harimau. Ketakutan yang ada.



***

Ini pertama kalinya aku datang ke tempat usaha yang dirintis Bayu. Aku yakin ia tidak sedikit pun menggunakan uang dari orang tuanya. Ada bangga melihat bagaimana gigihnya ia bekerja. Terkadang masih mencuat rasa heran kenapa dulu melamar kerja di kantor sementara ia mampu membangun usaha sendiri.

Semua menyambutku dengan sangat ramah. Aku dihormati karena istri dari pemilik dealer. Acara berlangsung lancar. Aku senang bisa menjadi istri yang mendukung suamiku. Apalagi saat melihat senyum terukir dari bibir Bayu. Senyum yang belum pernah aku lihat di rumahnya tempatku mengabdi sebagai istri.

Bayu sangat hangat bersikap pada semua tamu dan karyawan yang hadir. Senyum itu tidak pernah lepas dari bibirnya. Ingin sekali aku mendapat senyum itu juga untukku. Sekalinya senyum yang pernah kudapatkan hanya saat hari pernikahan dulu di pelaminan. Senyum yang penuh misteri sebab aku tidak melihat ada manis di sana.

Semoga setelah acara ini, Bayu akan bersikap manis padaku di rumah nanti. Tanpa sadar aku senyum-senyum sendiri menatap Bayu. Namun, saat ekor mata Bayu menangkap basah diriku. Senyum di bibirku lenyap. Ia tidak tersenyum sama sekali padaku. Sementara saat melihat dan berbincang dengan orang lain senyum itu kembali mengembang.

Acara telah selesai dan kami kembali pulang.

Aku menghempas badan ke kursi dalam mobil. Perjalanan butuh lebih dari satu jam. Lumayan melepas lelah setelah seharian ikut acara di dealer. Sudah hampir dua bulan tidak pernah keluar rumah dan melakukan kegiatan di tempat umum membuat badanku kaget.

Bayu melakukan mobil di jalanan yang mulus. Aku bisa nyaman dan tidur. Baru juga mau menikmati istirahat, Bayu sudah nyeletuk.

“Ngapain tadi kamu senyum-senyum!”

Mataku yang ingin menikmati nyamannya terpejam langsung terbuka dengan paksa. Aku menoleh ke arah suamiku yang pandangannya tidak sedikit pun tertuju padaku. Konsentrasi mengemudi memang perlu.

“Bikin malu tahu! Senyum-senyum ke aku kayak kita itu orang lain. Kamu istriku! Bukan orang lain. Tidak usah senyum-senyum lagi ke arahku kalau di tempat umum!”

Aku lebih baik membaca tulisan di secarik kertas darinya daripada mendengarkan kata-kata menyakitkan.

Kupalingkan pandangan menatap jalanan melalui jendela mobil yang basah karena mulai gerimis. Berharap air dari langit itu mampu menyembunyikan air mataku.

“Seminggu lagi kita ada acara lagi. Hadir di acara syukuran pembukaan toko milik pakdeku. Awas saja kalau kamu senyum-senyum kayak tadi.”

Ingin rasanya aku tutup mulut Bayu agar tidak lagi mengomel. Dia laki-laki, tetapi jika sudah bicara melebihi perempuan.

Sabar, Nadia. Pernikahan ini masih baru. Seiring berjalannya waktu pasti akan lebih baik.

Kusematkan dalam hati pemikiran yang baik-baik agar bisa terealisasi hal baik pula. Berharap cepat sampai di rumah dan bisa membenamkan lara ini dalam mimpi.

“Kenapa berhenti, Mas.” Aku yang terkejut, lupa diam hingga spontan bertanya saat mobil berhenti mendadak.

Bayu tidak menjawab. Dia keluar dan ekor mataku terus mengikuti. Bayu berjalan mendekati seseorang. Tangannya melambai pada sosok tinggi, cantik yang juga melambai ke arahnya. Di samping wanita itu ada laki-laki rekan bisnis Bayu.

Aku tidak mau berprasangka buruk. Aku percaya pada suamiku. Jika hati sudah memendam hal buruk maka pikiran akan mudah terpancing hal yang tidak baik.

Jangan Nadia. Jangan pernah berpikir buruk. Sisi hatiku berbisik.

Bayu tampak berbincang sambil sesekali tertawa ringan. Dari sikapnya pada wanita itu tidak mengandung hal aneh yang mampu membuatku curiga. Hanya senyuman dan tawa itu yang aku tidak suka. Kenapa begitu mudah berwajah ramah pada orang lain sementara padaku tidak.

Bersambung

Jangan lupa baca karya peserta Olimpus Match Battle lainnya, ya!

1. Viloise--@Chimmyolala
2. The Lucky Hunter--@Dhsers
3. Tersesat di Dunia Sihir--@Halorynsryn
4. Aku Bisa--@okaarokah6
5. Kurir On The Case --@AmiyaMiya01
6. Is It Our Fate?--@ovianra
7. Crush--@dhalsand
8. Keping Harapan--@UmaIkhFfa
9. Cinta Alam Untuk Disa--@DenMa025
10. Memutar Waktu--@dewinofitarifai


Keping HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang