3

462 65 0
                                    

Jake terbangun di dekat api unggun, jaraknya hanya dipisahkan oleh dua pohon. Perlahan dia membuka matanya. Dirinya berhasil keluar hidup-hidup. Namun, tidak dengan teman-temannya. Dia menyandarkan tubuh pada pohon terdekat. Menghela napas berat, rasa sakit pada tubuhnya telah hilang namun rasa bersalah itu masih ada. Dia harus segera berterimakasih dan meminta maaf pada mereka. Jake bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati api unggun, jelas hanya ada Meg dan Nea di sana, setiap yang mati dalam percobaan akan dibangkitkan lebih lambat dan berada lebih jauh dari api unggun, baik itu mati karena dikorbankan atau menjadi pemuas dahaga pembunuh, terkadang rasa sakitnya masih dapat terasa dibanding dengan yang berhasil bertahan hidup. Jake menepuk pelan bahu Meg dan duduk tepat di sebelahnya.

"Jake! Kamu akhirnya kembali." Melihat Meg menyapa dan menoleh dengan cepat ke arahnya, Jake hanya mengangguk. "Bagaimana?" Meg mendekat pada Jake yang baru saja duduk. Jake menghela napas kemudian menggelengkan kepala. "Kacau." Satu kata itu cukup untuk menjelaskan betapa frustasinya Jake selama percobaan.

Meg tidak membuka suara kemudian menoleh ke arah Nea yang berada di seberangnya. Dia hanya memberi isyarat untuk tidak menanyakan lebih lanjut. Meg mengangguk setuju. Pasti sesuatu yang benar-benar tak terduga telah terjadi, dia akan bertanya pada Claudette nanti. Meg mengusap punggung Jake dengan lembut. "Tidak apa, semua telah berakhir sekarang." Tersenyum kecil pada Meg yang berusaha untuk menyemangatinya, Jake mengangguk. Membisikan kata terimakasih pada Meg dan menikmati api di depannya meskipun api itu tidak terasa panas.

Suara gemericik dari balik pohon membuat ketiganya tersentak kaget. Jake segera berdiri, memastikan Meg berada di belakang tubuhnya, matanya terus mewaspadai apapun yang ada di balik pohon yang gelap, karena ada kemungkinan pembunuh bisa saja mendekati kamp penyintas, meskipun hal itu belum pernah terjadi, mereka harus tetap berhati-hati. Tubuhnya menegang saat suara itu semakin mendekat. Jika itu pembunuh, satu-satu yang dia punya sebagai senjata hanya api, ya dia akan melempar api pada pembunuh. Namun rencananya segera lenyap begitu teman-teman yang ditunggunya keluar dari kegelapan.

"Hei hei tenanglah. Ini hanya kami." Laurie berjalan mendekat. Jake menurunkan bahu yang sebelumnya tegang. Bernapas lega saat itu hanya teman-temannya. "Kalian benar-benar buruk. Setidaknya beri kami peringatan. Aku hampir terkena serangan jantung mendadak!" Nea berkata sinis namun mereka malah tertawa sebagai tanggapan. Membiarkan mereka beristirahat sejenak, Jake mengucapkan permintaan maaf dan terimakasihnya.

"Jake kita sudah berada disini begitu lama, kita sudah sering mengalami hal tak terduga seperti ini, kamu selalu berkorban untuk orang lain maka aku juga akan melakukan hal yang sama untukmu." Senyuman Claudette tidak menghilang, dia seperti ibunya, lembut dan pintar.

"Benar! Aku memang masih baru tapi aku juga akan melakukan hal yang sama karena kita telah menjadi satu, jadi jangan merasa bersalah." Laurie menepuk tangan Jake dengan pelan. Jake merasa beruntung bahkan dalam keadaan seperti ini, teman-temannya saling menguatkan. Jake mengangguk dengan senyuman kecil yang terpatri di bibirnya. Mereka berkumpul dan bercanda membuat suasana di api unggun terasa lebih hangat.

Jake ingin tetap berada dekat dengan yang lain, namun dirinya gelisah. Sesekali melirik ke dalam hutan, menimbang-nimbang apakah dia harus pergi atau tetap berada di api unggun. Tanpa disadari, Dwight memperhatikannya, dia menepuk bahu Jake pelan.

"Pergilah Jake, aku tau kau merindukan tempat kecilmu." Jake menatap Dwight sebelum dirinya mengangguk. Mengucapkan kata perpisahan pada teman-temannya dan melangkahkan kaki menuju kegelapan hutan. "Apa tidak apa membiarkannya menjauh dari api unggun?" Laurie bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari arah Jake melangkah. Mereka tersenyum.

"Jake seperti burung, dia akan melakukan apapun untuk membiarkan dirinya bebas tanpa kekhawatiran. Seolah itu telah menjadi rutinitasnya, setiap saat setelah kami kembali dari percobaan, Jake akan duduk sebentar disini dan kemudian pergi ke suatu tempat di dalam hutan. Hanya dia yang berani menjelajahi hutan untuk ketenangan." Meg dan Dwight mengangguk setuju atas perkataan Claudette. Mendengar itu Laurie juga mengembangkan senyumannya. Ya setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk menghibur diri.

Jake melangkah pada jalanan berumput yang familiar. Sesekali berhenti menyeka air dari beberapa helai daun yang mengenai wajahnya. Dalam satu waktu hutan ini terasa memenangkan sekaligus menakutkan. Dia telah hidup di hutan selama bertahun-tahun sebelum akhirnya terjebak di dunia Entitas. Mendengarkan suara kicau burung atau hembusan angin yang berdesir menabrak dedaunan selalu menjadi kesenangan tersendiri baginya. Meskipun hutan ini tidak pernah ada angin selama hutan tetap tenang, Jake menyukainya.

Sesaat kemudian Jake akhirnya sampai di tempat yang dia tuju. Sebuah pohon besar yang sudah tua dengan celah besar di tengahnya sehingga terlihat seperti kursi kayu, namun ukurannya jauh besar lebih mirip ranjang kayu. Pohon ini memang memiliki perbedaan besar dengan pohon di sekitarnya, hanya sedikit daun yang bertahan dengan beberapa dahan pohon di setiap sisinya, bagian atas pohon itu terbuka memungkinkan dia untuk selalu memandang langsung ke arah langit saat berbaring. Ya terlihat baik untuk Jake.

Menduduki pohon itu dengan tenang. Tangan Jake mengambil kotak peralatan yang sudah dia ambil dari beberapa percobaan sebelumnya untuk cadangan jika kotak peralatan dia hilang atau tertinggal. Membuka dan memastikan isinya tidak ada yang kurang. Mengembalikan kotak itu di sudut pohon bersebelahan dengan tumpukan logam. Benda itu di bawa oleh beberapa burung gagak yang selalu bertengger pada dahan pohon tempat dia tinggali. Burung menyukai hal yang berkilauan, itu sebabnya mereka selalu membawa apapun yang berkilau di paruh mereka. Jake tidak mempermasalahkannya, terkadang dia sering berbicara sendiri dengan salah satu gagak. Menyatu dengan alam membuat Jake mencintai binatang juga. Itulah sebabnya gagak akan tenang di dekatnya.

Salah satu gagak mendarat tepat di sebelah Jake. Melompat mendekatinya, menggosokkan kepalanya pada celana kargo milik Jake. Dengan hati-hati Jake memegang gagak dengan kedua tangannya, melihat lebih dekat pada gagak itu. Saat itulah Jake menemukan darah di salah satu kaki gagak yang malang.

"Apa yang terjadi? Apa yang kau lakukan hingga menyebabkan luka pada kakimu?" Jake membaringkan gagak itu di pangkuannya. Mengambil kotak medis, mengeluarkan selembar daun dan perban. Jake terlebih dahulu membersihkan luka gagak itu dengan air, mengambil daun untuk di letakan pada papan kayu kecil dengan diberi sedikit minyak obat yang telah di buat oleh Claudette untuk setiap orang, kemudian menumbuknya hingga halus. Dirasa telah halus, Jake melepaskan kedua sarung tangannya, memastikan tangannya bersih sebelum mencolek sedikit obat dengan jarinya. "Kuharap ini bekerja." Mengoleskan obat di atas luka gagak yang malang, sedikit terkejut saat paruh burung itu menjepit jarinya. "Ya baiklah gigit saja jariku." Mengabaikan jarinya, Jake menempelkan obat di atas luka kemudian memotong sedikit perban untuk dililitkan menutupi kaki gagak, mencegah obat itu berhamburan.

"Sudah selesai." Jake membereskan kembali peralatan medisnya dan tak lupa memasukan obat yang baru saja dia buat pada cup kecil. "Aku akan menyimpannya, berjaga-jaga jikalau diantara kalian terluka lagi." Jake membaringkan burung gagak di telapak tangannya. "Tetap disini, jangan pergi kemanapun. Atau aku tidak akan merawat lukamu sampai sembuh." Burung gagak itu mengepakkan kedua sayapnya diikuti suara kicauan melengking, seolah memberitahu Jake 'Yang terluka kakiku, bukan sayapku! Kenapa aku harus berdiam diri?' Jake memelototi burung itu dengan tajam hingga menimbulkan terbentuknya kerutan pada dahinya "Ikuti kataku." Memberikan usapan sayang pada bulu yang halus sebelum meletakkan gagak itu pada selembar kain yang telah di bentuk menyerupai sarang burung. Jake berbaring di atas kayu yang telah dia anggap sebagai ranjang tidurnya, merilekskan tubuhnya yang lelah.

"Lain kali aku akan mencuri sebuah bantal jika aku menemukannya." Jake menoleh ke samping untuk mengambil sarung tangan yang tergeletak tak jauh darinya. Tak ingin mengambil resiko di bawa ke percobaan berikutnya tanpa memakai sarung tangannya. Mata Jake bertemu dengan bola mata burung gagak yang menatap ke arahnya, memperhatikan Jake dengan kepala dimiringkan.

"Kau, terlihat sepertinya." Jake terdiam kemudian terkekeh pelan, menertawakan hal terlintas dipikirannya. Bagaimana bisa dia memikirkan pembunuh yang hampir membunuhnya di saat-saat terakhirnya. "Aku pasti tidak waras." Jake menutup kelopak matanya yang perlahan memberat, memutuskan untuk tidur sampai percobaan membangunkannya. Masih merasakan tatapan yang tertuju padanya, tanpa membuka matanya, Jake mengucapkan selamat malam pada burung itu, kemudian tak lama dia benar-benar terlelap.

Namun Jake tidak menyadari satu hal. Tatapan itu bukan berasal dari burung gagak yang terluka, tatapan dingin berasal dari sosok tinggi yang berdiri di balik gelapnya pohon rimbun. Diam tak bergerak. Mengamati dan mendengarkan dengan seksama semua yang dilakukan penyintas. Jake Park. Sosok itu melangkahkan kakinya mendekati tubuh yang terbaring dengan damai. Mengamati lebih dekat bagaimana pria itu bernapas dengan tenang, tatapan yang diberikannya semakin dingin seperti bisa menembus hingga ke dalam jiwanya. Dia harus menunggu.

Like An Addiction [END] Michael Myers/Jake ParkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang