14. Fatahillah, Kopi, dan Sadewa

67 19 2
                                    

⠀⠀Bangun tidur di kamar Lara bukan hal aneh untuk Naren. Dia sudah hafal bentuk kamar ini seperti kamarnya sendiri. Dinding berwarna biru muda, jendela yang tertutup tirai biru juga, meja gambar putih, rak besar yang penuh buku-buku, dan Doraemon. Doraemon dimana-mana, dalam beragam ekspresi dan bentuk.

⠀⠀Menyibak selimut bergambar Doraemon duduk di mesin waktu, Naren menoleh pada Lara yang masih memejamkan mata, memeluk boneka Doraemon butut yang sudah kehilangan satu mata. Meski butut, boneka Doraemon itu sudah melewati banyak hal, dari nyemplung ke mangkuk gulai sampai hampir hanyut di Kuta.

⠀⠀"La, bangun," ujar Naren serak, "woi, kebo. Bangun! Lu gamdas pagi kan?"

⠀⠀"Hmmm," gumam Lara, menggeliat pelan dan membuka mata dengan kebiasaan khasnya—mata kanan dulu, baru disusul yang kiri, "bawel banget."

⠀⠀"Gue juga ada kelas pagi, La. Buru ah! Keburu telat."

⠀⠀"Iya, iya." Bibir Lara menekuk. "Ren, lu belom jelasin."

⠀⠀"Buset, semalem gue jelasin panjang lebar masih kurang?" Naren mengerutkan kening. Semalaman, dia sudah diinterogasi oleh Lara dan menceritakan masa-masa suramnya dengan detail. Apalagi yang belum dia jelaskan?

⠀⠀"Katanya lu gede, Ren. Emang iya?"

⠀⠀Sontak, Naren menarik guling dan memukulkannya ke tubuh Lara. "Otak lu, La! Bisa gak jangan ngomongin begituan pagi-pagi? Gue baru bangun, ini!"

⠀⠀Lara malah tertawa terbahak-bahak. "Abisan si Blonde Murah itu ngomongnya pake emosi banget!"

⠀⠀"Daripada gue jelasin, mending gue tunjukin aja gimana?" canda Naren, membuat Lara menjerit histeris.

⠀⠀"Gak mau! Naren jorok! Gue bilangin Papa, nih!"

⠀⠀"Lah kan tadi elu yang nanya, pabo!"

⠀⠀Ketika Lara masuk ke dalam Kelas B, semuanya sedang berkerumun di meja Dhika. Begitu sadar ada Lara, semua langsung menoleh kompak. Langkah Lara terhenti, menyadari ada yang aneh. Jangan-jangan, mereka sudah tahu soal kemarin?

⠀⠀"Ads aps, gengs?" tanya Lara, berusaha terdengar santai.

⠀⠀"Princess.m," Rio yang berujar, tampak sedikit… entahlah. Terpana? Tapi kenapa?

⠀⠀"Lu liat sini deh!" Figar melambaikan tangan. "Ini beneran elu?"

⠀⠀Cepat-cepat Lara menghampiri, menyelip-nyelip ke pusat kerumunan dimana laptop Dhika terbuka, menunjukkan satu video Youtube yang dari thumbnail-nya saja sudah Lara kenali. Bagaimana tidak, ia menonton video itu puluhan kali.

⠀⠀Dhika menekan spasi di keyboard, dan video itu dimainkan. Bunyi gamelan Bali yang familiar terdengar, dan Lara di dalam video berputar cepat, satu kaki terangkat tinggi dengan kedua tangan memegangi skate-nya di atas kepala—posisi Biellmann.

⠀⠀"Itu gue," aku Lara akhirnya.

⠀⠀"KAN!" Raina berseru, "udah aku bilang, siapa lagi Larasati Park kalo bukan Lara kita?"

⠀⠀"Anjir!" seru Rio, "kok lu gak bilang-bilang sih, Inces?"

⠀⠀Lara hanya nyengir. Sementara, di sekelilingnya anak-anak Barbar yang lain sudah ribut bertanya.

⠀⠀"Berarti lu bisa dong angkat kaki begitu, Ra? Split gitu?" tanya Bani dengan mata lebar.

⠀⠀"Gampang itu sih." Lara berdecak kecil. Gak gampang, sebenarnya. Butuh bertahun-tahun untuk melenturkan tubuh hingga ia bisa melakukannya dengan sempurna.

XOXO, Lara ParkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang