30. Point of View

63 12 1
                                    

⠀⠀"Tapi, Mam." Lara beringsut, setelah Mama melepas kecupannya. "Kadang aku juga gak sehebat itu."

⠀⠀"Wae?" Kening Papa langsung berkerut.

⠀⠀"Aku pengen kayak Mama yang keliatannya gak pernah peduli sama apapun," gumam Lara lagi, meraih Doraemon Gembelnya.

⠀⠀Mama menelengkan kepala. "Ini soal mantannya Naren itu, ya? Si Hari Pertama Aja Udah Telat?"

⠀⠀"Kok Mama tau?"

⠀⠀"Kan Mama intel," jawab Mama dan Papa kompak, sebelum mereka saling tos dengan cengiran.

⠀⠀Lara ikut menyeringai, walau sesaat saja. "Iya bisa dibilang gitu sih…"

⠀⠀"Kau mau menceritakannya pada kami, Ddal?" Papa berbaring miring, kepala bertumpu ke tangan.

⠀⠀Akhirnya, Lara mulai bercerita. Kedua orang tuanya menyimak tanpa memotong, mendengarkan setiap keluhan Lara. Tentang si Buceri, tentang LambeKaje, tentang tatapan sinis yang ia dapatkan hanya karena ia adalah seorang Larasati Park.

⠀⠀Dan meski Lara sudah menahan diri sekuat-kuatnya, tetap saja air mata mulai merebak keluar. Melihat itu, Mama cepat-cepat menarik Lara ke dalam pelukan.

⠀⠀"Gapapa, Beb. Kalo kamu mau marah, mau nangis, keluarin aja. Biar lega."

⠀⠀Di dalam dekapan Mama, semua keluh kesah itu pun tumpah, sementara Lara menangis semakin deras. Bersama pertanyaan-pertanyaan yang terus muncul di kepalanya; kenapa, kenapa, dan kenapa. Kenapa dia dibenci karena hal yang bukan pilihannya, kenapa masih ada orang yang masih menganggap orang lain seperti properti, kenapa malah dia yang terlihat seperti orang aneh saat berhadapan dengan orang-orang seperti Om Yudha. Kemudian, pertanyaan berikutnya : apa. Apa yang harus dia lakukan. Apakah dia yang salah? Apakah dia yang harus berubah?

⠀⠀Perlahan-lahan, suara Lara menghilang. Sepertinya ia sudah mengeluarkan semuanya, bersama usapan lembut Mama di punggungnya.

⠀⠀"Udah?" tanya Mama.

⠀⠀Lara mengangguk.

⠀⠀"Kalo kamu pengen misuh, gapapa. Tuh misuh ke Papa, anggep aja Papa jadi si Buceri."

⠀⠀"Ngaco!" Papa pura-pura memukul lengan Mama dengan si Doraemon Gembel. "Emangnya Papa salah apa?"

⠀⠀Mama malah cekikikan, sementara Lara berpikir-pikir. "Boleh misuh?"

⠀⠀"Silahkan," angguk Papa, menyodorkan si Doraemon ke wajah Lara. "Nih, ke Doraemon aja tapi. Jangan Papa."

⠀⠀"Hm… Oke." Lara mengumpulkan semua kekesalan di dadanya, lalu menoyor kepala Doraemon itu. "Bocah-bocah tolol!"

⠀⠀Tawa Mama semakin berderai, menularkannya pada Lara yang juga mulai tertawa. Papa senyam-senyum, menggelengkan kepala.

⠀⠀"Untung kamu belom bener-bener segalak Mama," canda Papa, "kalau Mama yang diberi kesempatan memaki, pasti seluruh binatang di dunia sudah dia sebut."

⠀⠀Gantian Mama yang menepuk Papa dengan si Doraemon Gembel.

⠀⠀Setidaknya, Lara sudah jauh lebih lega. "Terus, sekarang gimana? Aku mesti ngapain?"

⠀⠀"Yang paling mudah, sebenernya ya… Jangan dipeduliin. Mama setuju sama kata Pau, mereka cuma iri. Tapi kalo kamu pengen ambil langkah ekstra buat bikin mereka makin annoyed sama kamu sih, bisa aja. Just be whatever they tell you, and be cool about it. They say you're a bitch? Then be the baddest bitch they'll ever see." Mama tersenyum miring, kilat licik itu muncul di bibirnya. "Mama gak pernah minta kamu untuk jadi orang yang selalu baik, kok. Kadang-kadang jahat juga gak ada salahnya, apalagi kalo mereka duluan jahat sama kamu."

XOXO, Lara ParkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang