05. ᴡɪᴛʜᴏᴜᴛ ʏᴏᴜ-

230 46 3
                                    

"Aku tak kesepian, aku berkata pada langit malam tanpa kekuatan apapun, aku baik-baik saja hari ini, aku berkata pada diriku sendiri berulang-ulang kali, setelah hari berakhir dan pulang kerumah, aku harap ada seseorang yang mengatakan, 'kerja bagus' dan memelukku,"

Semua adalah kenyataan yang sangat baik, maksudku bagi khayalan semua orang, kita kesepian, tak ada satu cahaya penerangan, kita tak ada jalan selain memeluk diri sendiri, untuk hidup, menyemangati, bekerja dan kembali besok menjulang pagi, hari ini, kita merasa sakit, namun dihari berikut, semua yang kita lewati akan dipenuhi senyuman.   

Tak ada yang beda. Aku. Kamu, kita hanyalah pembohong yang berusaha baik saja.

22 January 2012.

Hari dimana mahasiswa/mahasiswi mengayunkan sepedah dibawah lembah bunga, tertawa dan tersenyum, saling merangkul dan saling berbagi, hari ini, adalah hari menyenangkan bagi mereka.

Tidak dengannya.

dengannya, dengan pemu-pria yang saat ini memakai betapa kosongnya sorot mata hingga kepala ratusan kali ia benturkan secara pelan di lemari makanan, merasa risau namun tak ada perihnya hati.

Hari ini.

Ia merasa menyedihkan.

"Kau akan menghilang," Menghilang, sebuah kata paling menyeramkan yang paling ia takuti, 'kau-akan-menghilang' suatu kata yang membuat jalan yang ia tempuh tak bergerak lagi.

Saat ia berkata, "membela orang lain maupun bersalah atau tidak, dan kau malah memukul mereka memakai kekerasan, kau akan perlahan menghilang," Begitu hina perkataan keluar dari mulut seorang Jung yang mematahkan semangatnya, yang membuat rasa keberanian pudar.

Yang membuat ia tak bergerak lagi dan tak fokus dalam satu pekerjaan yang ia tempuh, sebenarnya ia bahagia, untuk menjadi diri sendiri, menghasilkan uang untuk diri sendiri, dan membela orang lain demi kesenangan diri sendiri, itu sudah lebih dari cukup.

Namun siapa sangka resiko yang ia tempuh malah sejauh ini, "arghh! Doyoung, kau bodoh!," Sontak, ia menunduk sembari mengacakan surai hazel yang ia miliki ditemani dudukan dilantai dapur, tak peduli kotor atau tidak, tapi masalahnya, bibi berkacak pinggang yang melihat pria itu selalu bertingkah kekanakan setiap kalinya.

"Aigoo aku kasihan pada putrinya, melihat ayahnya jika begini aku tak bisa membayangka-

-aku tak ada putri tahu!," Sorak surai menggema seisi dapur, bibi tersentak ditemani senggolan pada wanita disampingnya, kedua dari mereka menggelengkan kepala tak seru, "lalu, yang kau sebut 'doyoung' tadi, nugu?," termegu, ia menghela nafas teramat panjang berakhir ia denguskan.

Lalu mengedipkan mata, "ahjumma, jika bisa kukatakan maka kujelaskan, lagipula, jika aku memiliki seorang anak bernama 'doyoung' dia akan menjadi putraku bukan putriku, arasso?," Lembutnya pembicaraan antara ia dan bibi, sementara yang mendengar mampu memalingkan tatapan, bersikap seolah tak peduli berakhir bibi memotong irisan bawang yang tadinya tertunda.

Doyoung, melihat hal tersebut ia kembali duduk diam, merapatkan lutut seperti kebiasaan yang selalu terjadi, memeluknya ditemani kosongnya mata.

Selang beberapa menit bertingkah aneh, kembali ia berdiri saat mendengar jam istirahat dimulai.

"Bongsil! Jangan menaruh kimchi disana!," Suara purau bibi menegur tak membuyarkan lamunan terus menerus bersamanya, lengan masih sibuk menaruh beberapa lauk tanpa diminta para murid.

Tatapan teduh menatap dalam lauk-lauk yang ingin ia lahap saat ini juga, namun walau begitu, para murid tak memprotes tak seperti dulu.

Sebenarnya, kejadian dua hari lalu, kepala sekolah ingin mengeluarkan pria ini, namun dicegah saat pemilik sekolah dari mereka melarangnya hanya karena ia bisa menjadi pelatih olahraga.

Dream Latern [Jaedo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang