Di depan pusat kantor polisi banyak wartawan dari berbagai saluran televisi berkerumun untuk mengambil berita tentang polisi yang membunuh temannya dengan memutilasi seluruh anggota badannya.
Teman kerjanya tidak percaya bahwa Tomi bisa melakukan hal sekejam itu terhadap orang lain, terlebih lagi Felix adalah teman dekatnya.
Di ruang interogasi Tomi duduk diam, dia merenungi kejadian Felix di mutilasi didalam mimpinya. Dia yakin bahwa pelakunya bukan dia melainkan seseorang yang sangat mirip dengan Pak Toge, kasus yang sedang ia tangani.
Seorang wanita memasuki ruang interogasi dan duduk di depan Tomi sambil melihat dengan rasa kasihan.
Tomi mengangkat kepalanya untuk melihat siapa yang datang. Dengan perasaan sedih serta bingung Tomi menyapa wanita itu. "Hai Sandara....."
Sandara membalas dengan senyuman.
"..... Sandara... Itu bukan gua," Tomi berhenti sebentar sambil mengusap air mata "lu tahu bahwa gua enggak mungkin bunuh teman dekat gua sendiri Dara."
Sandara merapikan rambut panjangnya yang hitam pekat, "Sssttt berisik Tom."
"Tapi itu bukan gua Dara," Tomi terus meyakinkan Sandara tentang pembunuhan Felix.
"Iya-iya gua percaya itu bukan lu Tom. Tapi gua enggak bisa ngapa-ngapain karena gua bukan seseorang yang punya wewenang atas hal ini Tom."
Tomi tercengang, lalu menundukkan kepala untuk menutupi tangisannya.
Sandara menghela napas berat dan mengusap-usap kepala Tomi pelan, "percaya aja sama diri lu sendiri Tom dan berdoa aja, semoga memang benar bukan lu pembunuhnya."
Di satu sisi Sandara ingin percaya pada Tomi karena dia adalah sahabat masa kecilnya, tapi di sisi lain dia tidak bisa mempercayai Tomi, karena semua bukti yang menunjukkan bahwa Tomi melakukan mutilasi terpampang jelas dalam siaran di televisi.
Sandara pergi dengan perasaan sedih dihatinya. Kemudian Tomi pun dibawa ke jeruji besi bersama rasa sedihnya.
***
Tempat yang selalu gelap tidak pernah ada cahaya ditempat itu dan lagi udara sangat dingin.
Senja menatap ke langit yang penuh dengan warna hitam, dia seperti menantikan ada cahaya keluar di antara kegelapan langit.
Terlihat luka memar dan robek di sekujur tubuh Senja, rasa sakit yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, Senja hanya bisa menangis dan terus menangis sampai matanya membengkak.
Satu sosok perempuan dibelakang Senja terus menatapnya dan tidak pernah sekalipun memalingkan tatapannya pada Senja, seakan memang dia yang membuat Senja terluka seperti itu.
Rantai warna hitam menjalar ke tubuh Senja. Rantai-rantai tersebut perlahan mulai mengelilingi bagian tubuhnya, lalu rantai itu mengikat kuat ditubuh Senja, sampai-sampai Senja tidak bisa bernapas.
Perlahan kesadarannya mulai menghilang dan mata Senja menatap ke atas, dimana ada sedikit cahaya yang menerangi tempat gelap itu, berharap ada pertolongan dari sumber cahaya tersebut.
***
08.46
Niki berada di taman rumah sakit. Tempat itu dipenuhi pasien-pasien yang berjemur dibawah sinar matahari pagi dan menghirup udara segar di pagi hari.
Niki duduk di kursi roda sambil meregangkan otot-otot yang sebelumnya sedang istirahat sehabis tidur semalaman.
Dia datang ke taman tanpa sepengetahuan Devita, karena menurutnya jika ia meminta izin pada Devita permintaannya akan ditolak begitu saja sebab Devita selalu melindungi adiknya sehabis kejadian mengerikan yang menimpa padanya.
Di kantin rumah sakit Devita tengah mengambil bubur ayam untuk diberikannya kepada Niki untuk sarapan, karena Niki belum makan apapun dia hanya meminum air putih dan air susu.
Bubur ayam yang dibawa oleh Devita masih hangat, sebab setiap jam semua makanannya dihangatkan terlebih dahulu sebelum disantap oleh semua pasien-pasien yang ada dirumah sakit.
Devita dengan perasaan senang buru-buru ingin menyuapi adiknya bubur ayam yang masih hangat. Dibuka pintu ruangan Niki oleh Devita, namun saat melihat kasurnya yang kosong hanya menyisakan bantal dan selimut yang berantakan Devita sedikit terkejut dan hampir saja menumpahkan bubur ayamnya.
Saat Devita panik untung saja ada suster yang masuk kedalam ruangan Niki untuk bersih-bersih ruangan, lalu suster itu memberitahu padanya bahwa Niki sedang berjemur di taman rumah sakit. Alhasil Devita dengan membawa bubur ayam berjalan cepat menuju taman rumah sakit untuk bertemu Niki.
"Niki!" Keheningan berubah menjadi kebisingan ditelinga Niki.
Niki tidak membalas suara yang memanggil namanya dia hanya terus menutup mata sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi roda, sambil sesekali menghirup udara agar ia tidak terbawa emosi.
Devita dengan kasar menaruh nampan yang diatasnya ada semangkok bubur ayam yang tadi ia ambil.
Buburnya sedikit keluar dari mangkoknya akibat hentakan saat Devita menaruhnya.
"Kamu!! Kenapa kamu ngeyel banget dibilangin Nik. Aku udah bilang kalau kamu enggak boleh keluar dari ruangan kamu!!"
Niki menghela napas sabar sebelum membalas omongan Devita, "hah kakak. Aku cuman pergi ke taman rumah sakit enggak kemana-mana, aelah gak usah lebay."
"Bukan masalah lebay atau enggak Nik, kalau kamu kenapa-napa lagi aku yang khawatir dan biaya rumah sakit aku juga yang tanggung," bentak Devita pada Niki dengan kata-kata yang langsung menusuk ke perasaan Niki.
Niki membuka matanya dan menatap Devita sinis. Ia tidak menyangka bahwa kakaknya bisa berkata seperti itu padanya, seakan Niki adalah beban untuk Devita.
Ia ingin marah, namun ia berusaha semaksimal mungkin untuk bisa menahan amarahnya itu, sebab Devita adalah orang yang satu-satunya sangat perhatian padanya.
"Huhhh.... Oke-oke aku salah, minta maaf kak," tidak tahu mengapa permintaan maaf yang Niki ucapkan membuat jengkel Devita.
"Minta maaf yang bener jangan kayak gitu. Buat orang kesel aja."
Niki tidak menanggapi jawaban dari Devita. Melainkan ia hanya bilang ke Devita untuk segera menyuapinya bubur ayam yang hangatnya sudah hilang.
"Cepat suapi aku bubur ayamnya, udah enggak dingin gara-gara kau mengomel terus."
Devita berdecak, lalu diambilnya bubur ayam untuk disuapi ke Niki.
***
Didalam jeruji besi, Tomi menangis sejadi-jadinya disebabkan orang-orang disekitarnya tidak ada yang bisa mempercayai sepenuhnya pada omongan Tomi.
Walaupun Tomi sudah menceritakan semua yang terjadi didalam mimpinya tetap saja orang-orang tidak bisa percaya. Karena menurut mereka mimpi Tomi itu adalah kenyataan, kenyataan bahwa Tomi memutilasi Felix dan meletakkannya di laci meja kerjanya.
Pikiran Tomi kini sedang dipenuhi dengan rasa bersalah, walaupun sebenarnya kejadian itu bukan ulah Tomi akan tetapi ia takut bahwa Senja akan lebih membencinya lagi jika ia melakukan hal sekeji itu.
Lalu Tomi juga yakin kejadian itu adalah mimpi semata, tetapi mengapa bisa sampai benar-benar terjadi di dunia nyata. Apakah dirinya dijebak oleh orang yang membencinya, atau semua ini hanyalah prank semata, seperti yang ada di internet akhir-akhir ini.
Sambil meringkuk di satu sudut, Tomi sedih sekaligus khawatir dengan apa yang diputuskan oleh hakim di pengadilan nanti.
Bukan gue pelakunya, kenapa enggak ada yang percaya sama gue hiks...hiks...hiks..hiks.
Tomi menangis sampai ia tertidur lelap dan bahkan Tomi berharap ia tidur selamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Happy Birthday
HororUlang Tahun seharusnya menyenangkan tetapi bagaimana jika ulang tahun justru membawa mala petaka?