| Prolog |

201 9 0
                                    

Secangkir teh hijau menemaninya dalam sunyi. Gemerlap kota di malam hari menjadi teman, diiringi lantunan melodi dari sebuah mp3 player yang tidak berhenti ataupun berganti. Dan jangan lupakan bulan yang bersinar begitu terang di langit seakan-akan berbicara, Kamu tidak sendiri.

Dimainkannya cangkir yang sedari tadi menjadi objeknya, iris coklat yang nampak kelam itu menerawang ke atas langit, menembus atmosfer atmoster hingga sampai pada memori masa lalu yang terputar layaknya kaset lama yang telah rusak.

Hhh ...

Lagi. Entah hembusan napas keberapa yang telah keluar dari bibirnya. Mencoba mengeluarkan rasa sesak di dada dan beban yang dipikulnya meskipun hanya sia sia yang diterima.

Memori lama itu ...

Lagi dan lagi.

Diambilnya sebuah buku bersampul oranye dengan latar matahari terbenam yang 'tak jauh dari jangkauannya. Sejenak, melupakan cangkir yang sedari tadi digenggamnya.

Elusan halus pada sampul depan buku itu diberikannya, mencoba merasakan kehadiran dari si pemilik asli buku. Seutas senyum tipis mengembang, bahkan bulan yang bersinar di atas sana tidak akan bisa melihatnya jika ia 'tak mendekat.

"Udah dua tahun, dan bahkan gue belum cukup berani buat sekedar buka bukunya."

Helaan napas kembali terdengar, diiringi dengan getaran pada suara yang kembali berujar.

"Gimana kabar lo?"

Cahaya bulan kini mulai meredup, tertupi oleh awan seakan akan ikut merasakan hal yang sama. Bahkan secangkir teh hijau hangat pun mulai terasa dingin, seiring dengan lelehan air mata yang kembali memunculkan diri-lagi.

"Gausah nangis! Jelek banget kamu kalo nangis hahaha."

"Hahahaha hidung kamu merah kalo habis nangis, kayak badut."

Segera ia usap air mata yang keluar tidak tahu malunya itu dari pipinya. Sedikit terkekeh ketika beberapa ingatan berputar di benaknya.

"Gue ga nangis kok." Sebuah senyum getir terukir. Lain di perkataan lain di perbuatan, karena nyatanya buliran bening itu kembali mengalir di pipinya. Seakan memprotes bahwa ia ingin dikeluarkan, tak sanggup lagi untuk terus ditampung.

Lantunan melodi yang perlahan habis kembali terputar-masih dengan lagu yang sama. Hingga jemari itu memberanikan diri untuk membuka buku bersampul oranye yang sedari tadi digenggamnya. Memperlihatkan deretan kata yang tersusun sangat rapih dan cantik dengan sebuah foto polaroid yang terselip disana.

Satu kalimat di halaman terakhir dibacanya. Yang kembali memberikan rasa sesak hingga kian bertambah berkali kali lipat.

-

Thank you =)

-

Air mata itu kembali lolos.

Malam itu, masih sama dengan malam-malam sebelumnya. Sebuah buku bersampul oranye yang berada dalam dekapan diiringi air mata yang tak mau berhenti mengalir, dan secangkir teh hijau yang lagi lagi mendingin tak terminum dan akan terbuang keesokan paginya.

"Bangsat! Gue kangen sama lo ...."

-

-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Namaku, AstaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang