Suara ketikan pada laptop dan goresan-goresan pena di atas kertas yang saling bergantian menemani senyapnya kamar yang hanya menerima pencahayaan dari lampu berdiri di atas meja belajar dan lampu tidur yang berada dekat pojok ruangan samping tempat tidur tak jauh dari tirai balkon yang masih terbuka, membiarkan angin malam masuk dan cahaya bulan yang menambah pencahayaan.
Hembusan napas terdengar, dan suara gemeretak tulang jemari yang diregangkan pun menyusul. Menutup laptopnya dan membereskan buku-buku yang berserakan di mejanya, Jezzya pun menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi belajarnya. Rasa lelah mulai menghampirinya setelah ia menyelesaikan beberapa tugas sekolah—yang selalu didapatkan setiap harinya—dan belajar beberapa materi lanjutan mengenai pembelajarannya.
Iris tajamnya melirik jam digital LED di atas laci kecil samping tempat tidurnya. Pukul sembilan lewat lima menit.
Jemarinya bergerak untuk mematikan lampu belajarnya dan tungkainya membawanya berjalan menuju arah balkon, menikmati angin malam sebentar sebelum tidur sepertinya bukan ide buruk.
Matanya menangkap kamar di seberang sana yang masih menyala, hingga tak lama kemudian seorang pemuda dengan jaketnya keluar membawa sebuah kanvas berukuran sedang yang ia taruh di pojok balkon.
"Eh, hai!" sapa pemuda itu kala menyadari kehadiran seseorang di seberang sana. Senyumnya mengembang dan melambaikan tangannya untuk menyapa.
Jezzya yang melihatnya pun hanya menganggukan kepalanya tak membalas lambaian tangan pemuda di seberang sana.
"Mau tidur di balkon lagi?"
Mengernyitkan dahinya karena pertanyaan itu, Jezzya menggeleng dan melihat pergerakan pemuda itu yang ikut menyenderkan tubuhnya di pembatas balkon.
"Ngapain malem-malem di luar?" tanya lelaki itu lagi, terlihat sedang membuat topik obrolan.
"Cari angin. Lo sendiri?"
"Aku abis selesain lukisan aku," ucapnya menunjuk kanvas yang tadi dibawanya. Gambarnya tidak terlihat karena penempatannya yang menghadap kamar.
"Dijemur? Malem-malem?" Jezzya menaikan sebelah alisnya, seolah heran dengan kelakuan orang di seberang sana.
"Ngga. Didiemin aja di luar, biar ke angin-angin."
Apa bedanya dijemur dan diangin-angin? Oh, mungkin kalau dijemur ditempat yang panas.
Tak ada yang membuka obrolan lagi, akhirnya lelaki itu pun kembali bersuara. "Kamu udah ngerjain PR?" tanyanya.
Jezzya mengangguk singkat. "Lo? udah?" tanyanya balik hanya untuk sekedar basa basi, karena sepertinya orang di seberang sana terlihat ingin membuat sebuah obrolan kecil.
"Udah dari tadi bahkan. Makanya aku sampe lanjut selesain lukisan."
Jezzya tidak tau harus merespon seperti apa, sehingga yang dia lakukan pun hanya kembali menganggukan kepalanya singkat.
"Kita sekelas kan? Boleh tau nama kamu?"
Akhirnya. Setelah tak sempat bertegur sapa di sekolah, akhirnya lelaki itu bisa mengeluarkan pertanyaan yang sempat ingin ia tanyakan di awal pertemuan mereka.
"Jezzya," ucap gadis di seberangnya. "Jezzya Zarnisha."
Lelaki itu pun tersenyum menampilkan dimplenya yang terlihat manis menghiasi wajahnya.
"Namaku, Asta. Handaru Adhyasta," balas sang lawan bicara. "tapi panggil aja Asta."
—
Suasana gaduh di dalam studio musik itu seketika berubah tenang kala seorang pria paruh baya selaku guru ekstrakulikuler musik datang memasuki studio. Tak begitu banyak yang mengikuti ekskul ini sebenarnya, mungkin hanya sekitar sepuluh atau dua belas oramg saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Namaku, Asta
Fanfiction[ Hamada Asahi lokal AU ] Handaru Adhyasta. Orang-orang memanggilnya Asta. Pemuda pemalu yang periang dengan senyum manis berhias dimple di pipinya. - "Tentang seperti apa sakitnya merelakan dan sulitnya melupakan." - warning❗️ harsh word❗️ lokal AU...