Bagaimana rasanya hidup tanpa memikirkan kemungkinan kematian menyapamu ketika kamu bangun dari tidur?
Bagaimana rasanya hidup tanpa diliputi rasa kegelisahan saat matamu akan terpejam di malam hari?
Bagaimana rasanya hidup tanpa perlu repot repot mengonsumsi segala macam pil untuk membantu ketahanan tubuhmu?
Bagaimana rasanya hidup yang tak perlu berhati hati dalam melakukan semua hal yang kamu suka tanpa ada batasan untukmu?
Bagaimana rasanya ...
Hhhh ...
Rasanya tidak mungkin untuk Asta merasakan hal itu, hidupnya sudah banyak dipenuhi gelap gulita yang suram semenjak ia kecil. Dan kini, ketika dirinya sudah menemukan cahaya yang menyinari kehidupan kelamnya dulu, penyakit menyebalkan yang ia derita ini menghalanginya untuk menikmati semua itu. Diliputi rasa kegelisahan dan khawatir dengan tanya-tanya akan hari esok yang akankah ia temui lagi atau tidak.
Asta menatap pantulan dirinya pada cermin dihadapannya, wajah pucatnya menjadi objek yang diperhatikannya. Jemarinya terulur menyentuh rambutnya sendiri, mengelusnya pelan. Hingga beberapa helai rambut dirasanya berada di telapak tangan. Jemarinya menjauh, berhenti untuk telapak tangannya menunjukkan helaian rambut yang rontok di tangannya. Hanya sedikit memang, tapi itulah namanya permulaan.
Asta paham betul apa yang dialaminya, dirinya sudah memprediksikan hal ini kemungkinan akan terjadi entah cepat ataupun lambat. Segala jenis obat-obatan dan semua terapi yang ia jalani rasanya tidak berguna.
Kedua sudut bibirnya tertarik, menampilkan senyum tipis kala dirinya kembali melihat pantulan diri. "Bunda, kalau nanti Asta menyusul ke tempat bunda saat ini berada, apakah bunda akan senang?"
Cklek
Suara pintu yang terbuka mengalihkan perhatiannya, menatap sosok pria paruh baya yang berada diambang pintu.
"Kamu belum tidur, nak?" tanyanya lembut, menampilkan senyum hangat meskipun terlihat raut lelah di wajahnya.
Asta menggeleng ditempatnya berdiri, tampilkan senyum saat sang Papa menghampirinya. "Papa baru saja pulang?"
Sang Papa mengangguk, duduk ditepi kasur sang anak yang diikuti setelahnya. "Kenapa belum tidur? Ini sudah malam, bukannya Asta harus tidur tepat waktu?" tanya Papa.
Asta menampilkan deretan giginya yang rapih, menyengir tanpa dosa. "Maaf, Asta tidak bisa tidur dan belum mengantuk."
Sang Papa mengulurkan tangannya, menepuk-nepuk kepala sang anak pelan. "Tidak baik untuk kamu tidur terlalu larut, sebaiknya cepat tidur."
"Papa sendiri kenapa tidak langsung istirahat?"
Sang Papa tersenyum, menatap sang anak dengan sorot yang tidak dapat diartikan. Terlihat sedih namun juga bahagia disaat yang bersamaan. "Papa hanya ingin melihat Asta," ucapnya.
Asta menampilkan senyumnya, memeluk sang Papa dengan erat. "Sekarang Papa sudah lihat Asta, dan Asta masih baik-baik saja kok," ucap Asta. Kepalanya sedikit mendongak untuk melihat wajah sang Papa yang terlihat lelah sehabus bekerja. "Sebaiknya Papa istirahat dan tidur, pasti lelah sehabis bekerja."
Papa tersenyum mendengar penuturan anak satu-satunya yang ia miliki, kalimat yang tersirat akan rasa luka untuk dirinya. Tangannya mengelus kepala sang putra dengan sayang. "Dengan melihat Asta baik-baik saja, rasa lelah Papa seperti hilang seketika," ucapnya. Dirasanya sang anak yang semakin memeluknya erat. "Asta juga perlu istirahat, jadi sekarang harus tidur. Besok juga masih sekolah, tidak boleh terlambat bangun."
Asta melepaskan pelukannya, memberikan gerakan hormat kepada sang Papa. "Baik, bos," ujarnya lalu tertawa pelan.
Papa terkekeh kecil melihat itu. "Papa menyayangimu, Papa bahagia karena memiliki Asta, dan Papa pun selalu berharap akan kebahagian untuk kamu," ucapnya. Menarik perlahan kepala sang anak untuk mendekat dan mengecup keningnya dengan sayang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Namaku, Asta
Fanfiction[ Hamada Asahi lokal AU ] Handaru Adhyasta. Orang-orang memanggilnya Asta. Pemuda pemalu yang periang dengan senyum manis berhias dimple di pipinya. - "Tentang seperti apa sakitnya merelakan dan sulitnya melupakan." - warning❗️ harsh word❗️ lokal AU...