[ 19 ] - nggak salah kok

24 5 0
                                    

"Jezzya, mau ke kantin atau di kelas aja?"

Beberapa pasang mata menunggu jawaban dari orang yang bersangkutan. Jezzya terdiam sejenak di tempat duduknya, kemudian beranjak dari tempatnya dan tersenyum ke arah Jehian—orang yang bertanya tadi.

"Kantin aja yok, gue lagi mau makan bakso pedesnya bu Tuti," ujarnya, menuai ekspresi berbeda-beda dari beberapa orang yang masih di kelas.

"Oke, ayok. Keburu rame." Jehian mengulurkan tangannya, bermaksud untuk meminta Jezzya menggenggamnya. Menatap uluran tangan itu sebentar, kemudian Jezzya dengan agak ragu meraihnya hingga kini tangannya digenggam lembut oleh Jehian. Senyum tipis terukir di wajahnya.

Jezzya menoleh ke arah Gisel disampingnya yang masih duduk diam di tempatnya. "Lo nggak ke kantin juga?" tanyanya. Kemudian menoleh menatap teman-temannya yang lain—yang juga masih duduk di tempat masing-masing memperhatikan Jezzya, membuat Jezzya menaikan sebelah alisnya heran.

"Kok pada diem? Nggak langsung ke kantin?"

Gisel yang tersadar paling awal pun segera bangkit dari duduknya. "Ini mau ke kantin, yok lah dah laper gue," ujarnya untuk kemudian menarik tangan Denis dan Asta di kanan dan kirinya.

"E-eh tunggu dulu," ucap Asta kala kotak bekal dan botol minumnya tertinggal di meja. Gisel memberikan cengirannya untuk kemudian kembali menarik tangan Asta yang sudah memegang kotak bekalnya dan juga Denis yang iya-iya saja ditarik oleh Gisel.

Jezzya yang melihat itu terkekeh, pun dengan Jehian. "Yaudah yuk," ujar Jehian. Dan mereka berdua pun pergi menyusul Gisel, Denis dan Asta yang sudah meninggalkan kelas.

Sebelum berbelok meninggalkan kelas, Jezzya berhenti dan menoleh ke arah Hardian dan Javier yang masih diam di tempat mereka. "Ga ke kantin lo pada?" tanyanya.

Javier sontak menoleh. "Eh, iya. Nyusul nanti, duluan aja. Hardian masih nulis," ujarnya dengan senyum, menyenggol lengan Hardian yang memang masih memegang pulpen sambil bengong melihat halaman kertas di depannya.

"Iya Jez, duluan. Gue masih nulis." Hardian memberi senyum dan diangguki oleh Jezzya. Dan gadis itu pun akhirnya pergi bersama Jehian menuju kantin.

Di dalam kelas, Hardian kembali bengong. Membuat Javier berdecak dan menepuk pundak temannya itu. "Udah lah ayo ke kantin. Ga laper lo?"

Hardian mendengus, kemudian merapihkan barang-barang di atas mejanya dan menyusul Javier yang sudah berada di ambang pintu.

"Menurut lo, si Jezzy udah mulai suka sama Jehian juga belom?" Hardian bertanya di tengah perjalanan mereka menuju kantin.

Javier yang ditanya mengidikkan bahunya tidak tahu. "Ga tau sih gue, tapi kayaknya si Jezzy lagi berusaha buat buka hati?" Javier berujar dengan nada yang terdengar bertanya di akhir. "Mereka juga keliatan makin deket gue liat-liat," tambahnya.

Hardian hanya diam dengan kaki yang masih terus dilangkahnya. Tak mendengar kalimat apapun dari sang teman, Javier menoleh untuk melihat Hardian yang berjalan sambil menundukan kepalanya. Tangannya terulur dan menepuk pundak temannya itu sebanyak dua kali dan menyunggingkan senyum setelahnya. Hardian yang diperlakukan seperti itu pun, membalas senyuman Javier dan mengangguk kecil. Seakan saling memberikan kata lewat isyarat mata.

.
.
.
.

Tidak ada yang pernah mengetahui bagaimana perasaan seseorang. Mungkin hal itu bisa terlihat, tapi ada juga seseorang yang sangat mahir dalam menutupi perasaanya. Seperti saat ini, kedua pasang mata itu menatap penuh rasa getir kala melihat pemandangan di depannya—tanpa ada yang menyadarinya. Bahkan rasa nasi goreng yang cukup pedas ini seperti terasa hambar, cemburu dan patah hati memang terkadang membuat hal tak masuk akal.

Namaku, AstaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang