Tetes demi tetes cairan infus mengalir melalui selang kecil. Isi dalam botol infus itu sudah semakin berkurang seiring berjalannya waktu.
Asta menatap langit-langit ruangan di atasnya, tubuhnya terasa pegal karena cukup lama berbaring di atas ranjang rumah sakit. Sudah sekitar tiga puluh menit lamanya ia menunggu cairan infus itu habis. Matanya memerhatikan cairan infus yang perlahan mulai habis, mungkin tinggal beberapa tetes lagi.
Lelah berbaring, Asta pun bangkit untuk duduk dan membiarkan kakinya menjuntai di tepi ranjang, bersamaan dengan itu seorang dokter pria memasuki ruangan yang tengah ia tempati dengan senyum di wajahnya.
"Halo Handaru," sapa sang dokter.
Asta tersenyum dan membalas sapaan itu, tungkainya bergerak mengayun di tepi ranjang.
"Sepertinya hampir selesai," ucap sang dokter melihat cairan infus yang terpasang di tangan Asta.
Selang beberapa menit, akhirnya penginfusan selesai dan sang dokter pun melepaskan jarum abocath dari tangan Asta. Sedikit meringis ngilu kala jarum itu terlepas.
Sang dokter tersenyum. "Nah sudah selesai."
"Terimaksih dokter."
"Stamina kamu semakin menurun akhir-akhir ini, apa kamu melakukan aktifitas yang cukup melelahkan?"
Asta terdiam cukup lama sebelum kemudian mengangguk kecil. "Beberapa minggu terakhir aku harus latihan terus untuk pementasan sekolah, dan waktu pementasan ... mungkin karena terlalu senang sampai lupa malah terlalu banyak melakukan gerak ekstra sampai kelelahan," ujarnya sambil menunduk.
"Apa kamu juga sempat mimisan lagi?" tanya sang dokter yang diangguki oleh Asta. "Apa banyak darah yang keluar?" tanyanya lagi sambil memperhatikan beberapa berkas yang dia bawa sebelumnya.
Asta mengangguk. "Cukup banyak, dan mungkin sedikit tertelan hingga pas batuk mengeluarkan sedikit darah."
Sang dokter mengangguk dan kembali tersenyum. Dokter yang sangat ramah, tak jauh berbeda dengan dokter yang menanganinya saat di Jepang.
"Saya sudah menerima berkas dan catatan-catatan riwayat kamu selama pengobatan di Jepang. Apakah dokter Yasuo yang menangani pengobatan kamu selama di Jepang?"
Asta mengangguk mengiyakan. "Anda benar, dok. Bahkan sebenarnya dokter Yasuo sendiri yang merekomendasikan anda padaku ketika setibanya di Indonesia untuk penanganan selanjutnya. Sepertinya dokter Yasuo cukup mengenal anda?" Asta bertanya karena sejujurnya, ia juga bingung kenapa dokter yang menanganinya di Jepang bisa dengan sangat antusias untuk merekomendasikan dokter Leo—dokter yang menanganinya sekarang—untuknya. Apakah mereka saling kenal?
Dokter Leo tertawa kecil. "Kami saling kenal, kebetulan dia saudaraku yang memang bekerja di salah satu rumah sakit di Jepang. Dia bahkan sudah menceritakan tentang kamu secara detail pada saya dan apa saja yang harus saya lakukan." Sang dokter mengangkat berkas-berkas yang sedari tadi ia pegang bermaksud untuk memberitahu Asta.
"Pantas beliau seperti cukup mengenal Anda," ujar Asta.
Sang dokter tersenyum, "Berdasarkan data, kamu belum mendapatkan donor yang pas untuk transplantasi sumsum tulang ya?"
Asta mengangguk. "Belum ada yang cocok hingga angka lima puluh persen. Dokter Yusuo tidak menyarankan itu untuk mengantisipasi kegagalan nanti."
"Hm ... belum lagi kamu ada riwayat kondisi kegawatdaruratan medis yang cukup parah?"
Asta menghela napasnya dan mengangguk lemas. "Iya, itu mungkin salahku sendiri sih karena ceroboh dan lemah," ujarnya pelan, tapi tentu dokter Leo masih bisa mendengarkan jelas. Membuat dokter itu tersenyum dan menepuk pundak Asta memberikan semangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Namaku, Asta
Fanfiction[ Hamada Asahi lokal AU ] Handaru Adhyasta. Orang-orang memanggilnya Asta. Pemuda pemalu yang periang dengan senyum manis berhias dimple di pipinya. - "Tentang seperti apa sakitnya merelakan dan sulitnya melupakan." - warning❗️ harsh word❗️ lokal AU...