Chapter 1

20 3 1
                                    

Emine menatap lurus ke depan, lebih tepatnya kepada seorang laki-laki yang hampir dua bulan dicintai dalam diam oleh Emine.

Tidak ada yang bisa Emine lakukan selain hanya menatap dari jauh, ketika laki-laki itu berkunjung ke kafe tempatnya bekerja.

Hanya beberapa detik Emine memandang laki-laki itu, lalu ia kembali bekerja.

Kafe saat ini sedang banyak pengunjung seperti biasa, karena posisinya yang strategis. Yaitu tidak terlalu jauh dengan sebuah universitas, dan juga kantor.

"Emine!" panggil Erika, teman kerjanya.

"Iya sebentar," sahut Emine bergegas menuntaskan pekerjaannya yang sedang membersihkan meja yang baru saja selesai dipakai pelanggan.

Langkahnya sedikit cepat menghampiri Erika. "Kenapa?" Tanya Emine.

"Kamu ke meja nomor dua belas dulu ya. Soalnya laki-laki itu mau membayar pesanannya. Yang lain lagi sibuk, aku lihat kamu tadi enggak terlalu sibuk jadi aku minta tolong sama kamu. Nanti yang bersihkan mejanya Rizky," jawab Erika dengan menunjuk ke arah meja nomor dua belas, laki-laki yang beberapa menit lalu diperhatikan oleh Emine.

"Iya tidak apa-apa," ucap Emine.

"Makasih mine!" seru Erika dengan suara yang sedikit dikeraskan, karena Emine sudah berlalu menghampiri meja nomor dua belas, yang dibalas dengan jari jempol yang diangkat oleh Emine.

"Ini billnya pak," ucap Emine.

Laki-laki yang tengah duduk di kursinya memberikan beberapa lembar uang kepada Emine.

"Terima kasih. Permisi," ucap Emine.

"Berhenti di situ," tukas laki-laki itu, yang bernama Ernest.

Emine memberhentikan langkahnya ketika mendengar suara itu. Dengan pelan ia memutar tubuhnya kembali menghadap Ernest, dengan tatapan tenang ia berikan.

"Ada apa pak? Apa bapak perlu sesuatu?" tanya Emine sembari tersenyum tipis.

"Saya tahu bahwa kamu akhir-akhir ini menatap ke arah sini, ketika saya datang ke kafe. Kenapa? Apa kamu ingin mengatakan sesuatu?" tanya Ernest.

"Maaf pak, saya memang sering menatap ke arah bapak, karena bapak duduk tepat membelakangi jalan raya, saya memang sering memperhatikan kendaraan yang berlalu-lalang, jika itu membuat bapak tidak nyaman, maka saya minta maaf," jawab Emine dengan tenang dan menatap tepat di mata Ernest.

"Kamu pikir saya bisa percaya begitu saja?" tukas Ernest.

Dengan tenang Emine kembali menjawab. "Sekali lagi saya minta maaf jika itu mengganggu ketenangan bapak, tapi itu memang benar adanya. Kalau begitu saya permisi, saya harus kembali bekerja, karena kafe sedang ramai." Tutur Emine.

Emine kembali berjalan ke arah dapur, yang dibiarkan oleh Ernest tanpa membalas ucapannya.

Pria itu hanya terus menatap Emine sampai tubuh itu menghilang, karena masuk ke dalam area dapur.

•••

Tidak terasa, malam pun tiba. Karena, terlalu sibuk dengan pekerjaannya Emine tidak menyadari pagi telah berganti menjadi malam.

Emine meregangkan otot-ototnya, kemudian melepas celemek yang ia pakai, menaruhnya ke dalam loker miliknya. Ia mengambil pakaiannya dari dalam loker, dan menuju kamar mandi untuk mengganti baju kerjanya dengan baju yang ia ambil.

Keluar dari kamar mandi, ia menemukan Erika yang sedang bercermin sambil mengikat rambutnya dengan rapi.

"Hari ini sama melelahkan ya, seperti sebelumnya," kata Erika.

"Iya Erika," sahut Emine seadanya.

"Kalau begitu, aku duluan pulang ya," lanjutnya.

"Kamu tidak apa-apa pulang sendirian?" tanya Erika.

"Sudah kubilang bukan? Untuk tidak perlu khawatir, karena aku sudah biasa pulang sendirian. Tetapi, terima kasih atas perhatiannya," jawab Emine.

Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu toilet dari luar.

"Hey! Apa di dalam ada Emine?" tanya Rizky.

"Ada apa?" tanya Emine setelah membuka pintu.

"Ada yang mencari kamu di luar kafe," jawab Rizky.

"Siapa?" tanya Erika yang juga ikut keluar dari bilik salah satu toilet.

"Dia pria yang biasa datang ke kafe ini, yang bekerja di kantor yang ada di dekat sini," jawab Rizky.

"Untuk apa dia mencari kamu Emine? Apa kamu membuat masalah dengannya? Atau kamu ada hubungan dengannya?" tanya Erika dengan cepat.

"Aku tidak tahu. Tidak ada hubungan apapun, berhentilah berpikir seperti itu," jawab Emine tegas.

"Baiklah, aku duluan. Kalian hati-hati di jalan," lanjutnya melangkah ke luar kafe.

"Kamu juga! Telepon aku atau Rizky kalau ada apa-apa!" seru Erika.

"Iya Emine, aku tidak akan tinggal diam jika pria itu menyakiti kamu," timpal Rizky dengan berteriak.

Sementara Emine, dia hanya mengangkat jempolnya untuk membalas ucapan keduanya.

Ketika sudah berada di luar setelah berpamitan kepada seluruh karyawan di kafe, pandangan Emine langsung tertuju ke seorang pria yang terlihat sedang bersandar di samping mobilnya dengan mata yang sebelumnya menatap ke arah bawah, menjadi mengalihkan pandangannya ke Emine.

"Ada apa pak? Kenapa Anda mencari saya?" tanya Emine.

Ernest berjalan mendekati Emine tanpa menjawab pertanyaannya, dengan kedua tangan yang ia masukkan ke dalam saku celana.

• To Be Continued •

Tanpa HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang