Tik, tik, tik.
Jgeeeer!
Rintik hujan terdengar yang bersamaan dengan suara petir yang cukup kencang, membuat Emine terbangun dari tidurnya.
Masih dengan mata yang terasa berat untuk dibuka, Emine meraba-raba sekitarnya, mencari di mana ponselnya. Sampai akhirnya, ia merasa ada sesuatu yang mengganjal di punggungnya, dan itu adalah sebuah benda kotak yang ia cari.
Emine menekan sebentar tombol power pada ponselnya, untuk melihat jam berapa sekarang, walaupun dengan mata yang menyipit, karena cahaya yang menurutnya begitu terang dari ponselnya.
Jam masih menunjukkan pukul setengah lima pagi, namun entah kenapa pagi ini terasa lebih dingin dari biasanya, membuat Emine menarik selimut agar dapat menutupi seluruh tubuh sampai lehernya. Namun udara dingin masih terasa, membuat Emine mengambil kaos kaki, serta selimut di lemari.
Emine kemudian memakai kaos kaki, kembali berbaring, lalu menarik selimut yang kedua, agar tubuhnya menjadi lebih hangat. Tubuhnya yang merasa dingin, membuat Emine menggigil.
"Demam," gumam Emine ketika meletakkan telapak tangan kirinya di dahi, dan merasakan panas tubuhnya.
Sudah cukup lama Emine tidak merasakan demam. Terakhir terkena demam adalah dua bulan yang lalu. Emine kembali memejamkan matanya, memilih untuk kembali tidur. Jika ketika bangun nanti, tubuhnya masih panas, maka barulah ia akan minum obat.
Emine tertidur sampai pada jam setengah tujuh pagi. Walaupun tubuhnya merasa sedikit lemas, Emine bergegas ke kamar mandi untuk mandi, tidak lupa membawa baju yang akan dipakainya ketika bekerja.
Dua puluh menit kemudian. Emine akhirnya selesai bersiap-siap. Emine memakaikan perona wajah di pipi, dan lip cream serta lip gloss agar wajahnya tidak terlihat pucat.
Lalu, ia mengunci seluruh jendela, dan terakhir pintu rumahnya dari luar, serta pagarnya. Lalu, ia langsung melajukan motornya setelah menyalakan mesin ke arah kafe tanpa menyadari ada seorang laki-laki, yaitu Fattah yang memperhatikannya dari dalam mobil laki-laki itu.
Sebelumnya Fattah ingin mengetuk pintu rumah itu, namun tidak jadi karena takutnya mengganggu Emine. Jadi, ia hanya melihat saja apakah Emine dalam keadaan baik hari ini, dan akan pergi bekerja atau tidak. Setelah memastikan Emine pergi, Fattah pun kembali memutar kunci mobilnya untuk menyalakan mesin, lalu melajukan menuju ke kantor.
Saat sakit, bukannya istirahat, Emine malah bekerja, membuat suhu tubuhnya meningkat, namun selagi ia masih berdiri, maka ia akan terus beraktivitas seperti biasanya. Namun, tepat pada jam istirahat, ketika sedang berada di salah satu bilik toilet, Emine langsung terduduk di lantai yang kering, dengan tubuh yang merasa lelah.
Ssshh!
Suara desis pelan terdengar dari mulut Emine dengan tangan kanannya yang dijadikan sebagai tumpuan kepalanya yang terasa berat, serta mata yang ingin sekali terpejam.
Emine langsung menutup mulutnya ketika ia menguap, dan menyeka air mata yang tiba-tiba keluar, sebab dirinya yang mengantuk. Emine perlahan memejamkan mata, dan merasa seolah-olah kasur di kamar miliknya sedang memanggil-manggil nya untuk segera pulang dan membaringkan tubuh di atas tempat tidur yang lembut itu.
Plung!
"Astaga, maskara gue!" seru Erika yang mengejutkan Emine tiba-tiba sehingga harus membuka matanya.
"Haish, kenapa jatuh sih?" tanya Erika menatap maskara yang tadi sempat jatuh ke dalam wastafel yang terisi air.
Maskara yang jatuh sudah sedari tadi, namun mulut Erika tidak berhenti bergumam dengan kesal, sampai terdengar pintu tertutup pun, sayup-sayup masih terdengar ungkapan kekesalan itu.
Karena, merasa sudah terlalu lama berada di bilik toilet, Emine segera bangkit berdiri dengan perlahan-lahan, lalu membuka kunci pintu dari dalam. Untuk menghilangkan rasa mengantuk, Emine mencuci mukanya di wastafel, lalu kembali merias wajah agar lebih segar dan tidak terlihat pucat. Merasa sudah lebih dari cukup, barulah Emine keluar dan mengambil kotak bekal makanan yang ada di dalam loker miliknya.
Selesai makan, Emine kembali bekerja karena waktu istirahat sudah habis. Tepat pada setengah jam kemudian, Emine terjatuh lemas dengan nampan yang ia bawa membentur lantai, untungnya tidak diletakkan apapun di atasnya. Hal itu tentu saja mengundang perhatian orang-orang sekitar, baik pelanggan dan karyawan yang ada langsung menatapnya.
Teman-temannya pun bergegas membantunya berdiri dan membawanya ke salah satu ruangan yang ukuran ruangan itu tidak terlalu besar, di dalamnya ada sebuah sofa panjang yang cukup menjadi tempat untuk berbaring seorang dewasa serta meja bulat kecil.
"Emine badan kamu panas sekali!" seru Erika.
"Apakah kamu memang sakit dari awal sebelum masuk kerja ya?" tanya Erika.
"Seharusnya kamu istirahat di rumah. Bagaimana pun, tubuh kamu perlu istirahat, jangan dipaksakan seperti ini," tukas Rizky yang tidak bisa menyembunyikan raut wajah yang khawatir akan kondisi Emine.
"Aku akan antar kamu pulang sekarang Emine. Biar nanti aku akan meminjam mobil milik pak Ransya, dan motor kamu nanti akan aku antar ke rumah setelah memastikan kamu bisa sendiri di rumah. Tidak ada bantahan dan penolakan," tegas Rizky yang langsung ke luar, lebih tepatnya menuju ke ruangan manajer kafe, yaitu Ransya, memberitahukan keadaan Emine, lalu meminta izin untuk mengantar sampai ke rumah dengan meminjam mobil milik manajernya itu.
"Emine, apa kamu merasa pusing?" tanya Davika pelan dengan mengelus kepala Emine.
"Sangat. Tadi tidak seperti ini. Semua baik-baik saja tadi," jawab Emine.
"Kalian harus kembali bekerja. Tidak perlu terlalu khawatir dan sampai meninggalkan pekerjaan kalian seperti ini. Aku baik-baik saja. Hanya demam biasa," tutur Emine tersenyum menenangkan.
"Baiklah. Tetapi berjanjilah, setelah di rumah nanti kamu harus istirahat, tidak perlu beraktivitas berlebihan, jangan memaksa tubuh kamu Emine jika memang sedang dalam kondisi lemah. Dan jika sampai besok suhu tubuh kamu masih panas, maka tidak perlu bekerja dan beristirahat total saja," sahut Davika.
Lalu, Davika dan karyawan lain pun pergi meninggalkan Emine dan Erika setelah dijawab dengan anggukan kepala serta senyuman menenangkan.
"Aku tidak suka sifat kamu yang seperti ini Emine. Kami menyayangi kamu, jangan seperti ini lagi ya. Pulang nanti, jangan lupa minum obat," ucap Erika tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca.
"Baiklah. Kamu juga harus kembali bekerja Erika. Tenangkan pikiran kamu, aku baik-baik saja. Jangan sampai itu membuat fokus bekerja kamu berkurang," tutur Emine tersenyum sambil menghapus setetes air mata Erika yang jatuh membasahi pipi temannya itu .
Beberapa detik kemudian, pintu ruangan itu dibuka dengan cukup keras oleh Rizky. Lalu, pria itu langsung menggendong bridal style Emine, berpamitan kepada Erika, dan karyawan lainnya, kemudian ia bergegas membawa Emine pulang dengan mengendarai mobil dengan kecepatan rata-rata menuju ke rumah Emine.
• To Be Continued •
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanpa Harapan
General FictionDi saat mencintai seseorang, adanya harapan-harapan di dalamnya memiliki peluang besar, bukan? Namun, bagaimana jika harapan-harapan itu tidak ada karena sesuatu terjadi di masa lalu dalam keluarga? Apa itu masih dikatakan cinta atau hanya sekedar...