Chapter 8

0 0 0
                                    

"Pak Dirly!" panggil Emine agar Dirly dapat menghentikan langkah lebarnya itu yang sulit untuk disesuaikan dengan dirinya.

Terbukti dengan memanggil nama pria itu membuatnya berhenti, dan mencari sumber suara.

"Kamu yang memanggil saya?" tanya Dirly.

"Iya pak, saya mau mengantarkan pesanan Anda," jawab Emine dengan napasnya yang berusaha ia atur kembali, sambil memberikan tote bag putih berisi makanan yang dipesan .

"Oh terima kasih," sahut Dirly menerima.

"Ini sapu tangan saya, baru dicuci dan belum saya pakai. Pakailah untuk menghilangkan keringat di wajah kamu," lanjutnya.

Setelah mengatakan dan memberikan sapu tangannya kepada Emine, Dirly kembali melanjutkan langkahnya tanpa mempedulikan interaksi keduanya sedari tadi banyak disaksikan oleh mahasiswi, serta ekspresi bingung dari Emine.

"Ini sama saja menambah bebanku," gumam Emine memakai sapu tangan itu untuk menghapus keringat di dahinya.

Emine berlari kecil menuju ke motornya yang ia parkir.

Kepergiannya masih diiringi dengan berbagai tatapan mahasiswi yang ada di sana. Termasuk mahasiswi yang mengantarkan Emine menatapnya dengan mulut yang sedikit terbuka.

Perilaku Dirly yang tidak pernah terlihat oleh mahasiswi-mahasiswi tersebut tentu membuat mereka terkejut, sebab sifat pria itu yang lebih banyak tidak peduli dengan sekitar apalagi seseorang yang asing identitasnya.

Mahasiswi yang mengantarkan Emine tadi pun ikut meninggalkan tempat ia berdiri sedari tadi, sambil terus berpikir tentang kejadian yang baru saja saja terjadi.

••••

Tepat ketika Emine kembali, jam istirahat sudah dimulai. Kafe juga sudah berkurang pembelinya.

Jadi, Emine langsung ke loker miliknya untuk mengambil makanan yang ia bawa dari rumah.

"Emine, kamu habis dari mana?" tanya Rizky sambil mengunyah makanannya.

"Dari mengantarkan pesanan pelanggan di universitas," jawab Emine.

"Biasanya yang antar bukannya Fauzan," tutur Rizky.

"Fauzan hari ini minta izin, katanya sih dia lagi menemani ibunya operasi. Nanti kita besuk ibunya mau tidak? Nanti ajak kak Ransya juga," timpal Erika.

Mendengar kata besuk membuat Emine langsung berdiri dari duduknya, bersiap pergi, namun langkah kakinya tertahan karena pertanyaan Erika.

"Kamu mau ke mana? Makanan kamu belum habis itu," tanya Erika.

"Ada yang mau aku bicarakan dengan kak Ransya," jawab Emine sambil menutup kotak bekalnya dengan rapat, lalu kembali memasukkannya ke dalam tote bag yang berada di loker.

Sebelum masuk Emine mengetuk pintu terlebih dahulu, ketika sudah di suruh masuk, barulah ia masuk ke dalam ruangan milik Ransya.

"Kak," panggil Emine sekaligus meminta perhatian Ransya yang sibuk menulis sesuatu.

"Oh Emine. Silakan duduk," sahut Ransya setelah mengalihkan pandangannya.

"Ada apa?" lanjutnya menatap Emine dalam.

"Apa bisa saya pulang lebih cepat hari ini? Soalnya saya ingin berziarah ke makam almarhumah ibu saya," tanya Emine.

"Baiklah kamu boleh pulang lebih cepat" jawab Ransya tersenyum sambil memperbaiki kacamatanya yang tiba-tiba turun.

"Terima kasih banyak karena sudah mengizinkan, kalau begitu saya pamit pergi kak," ucap Emine beranjak berdiri dari duduknya.

"Sama-sama Emine. Ok, hati-hati di jalan," sahut Ransya.

Tepat setelah menutup pintu, Emine langsung melepaskan celemek, dan melangkah menuju lokernya untuk mengambil jaket denim miliknya, memakainya, kemudian menutup serta mengunci kembali loker setelah menenteng tote bag miliknya.

Sebelum benar-benar pergi, Emine kembali mengoleskan sunscreen kepada wajah dan lehernya, sebanyak dua ruas jari, sambil bercermin di cermin berukuran sedang yang selalu ia bawa.

Emine langsung kembali melangkahkan kakinya setelah merasa seluruh sunscreen telah merata di wajah serta lehernya.

Berpamitan terlebih dahulu kepada seluruh karyawan yang ada adalah hal terakhir yang ia lakukan sebelum benar-benar pergi dengan motornya yang melaju dengan kecepatan rata-rata.

Bertepatan Emine pergi, lima menit kemudian Ernest memasuki kafe.

Ernest menyusuri area kafe dengan tatapannya, untuk mencari keberadaan Emine.

Ketika Erika melewatinya, Ernest langsung menghentikan langkah karyawan tersebut.

"Ada apa ya pak? Apa bapak ingin memesan sesuatu? Atau ingin bertemu dengan seseorang yang sudah memesan meja?" tanya Erika merasa bingung dengan Ernest yang tiba-tiba membentangkan lengan sebelah kirinya untuk memberhentikannya tanpa mengucapkan apapun.

"Saya sedang mencari seorang karyawan wanita yang menjadi waiters juga di sini. Ciri-cirinya adalah, sering mengikat rambutnya, serta memiliki tatapan yang tenang, apa kamu mengenalinya?" tanya Ernest.

Erika tentu tahu siapa yang dicari oleh Ernest, namun ia merasa bingung sebab orang yang pria itu cari, setahunya jarang berhubungan dengan laki-laki yang baginya asing dengan Emine itu.

"Emine? Dia baru saja pergi pak, lebih tepatnya pulang lebih cepat, karena ada urusan pribadi. Apa bapak ingin menitipkan pesan?" tanya Erika menajamkan matanya ke arah Ernest.

Secara perlahan Erika memperhatikan penampilan Ernest dari atas ke bawah. Erika juga ingat bahwa Ernest sering datang ke kafe, namun ia tidak mengetahui namanya.

"Tidak, terima kasih," jawab Ernest yang langsung pergi keluar dari kafe tanpa menunggu balasan dari Erika.

"Siapa dia? Apa hubungannya dengan Emine? Dia terlihat masih muda. Ah, aku akan menuntut jawaban Emine nanti," gumam Erika sambil kembali melanjutkan langkahnya ke arah dapur.

••••

"Assalamualaikum mama. Maaf Emine baru bisa datang sekarang. Bagaimana kabar mama di sana? Apa mama mendapatkan tempat terbaik di sana? Aku selalu mendoakan mama walaupun tidak sering datang ke sini," celetuk Emine mengusap batu nisan yang tertulis nama lengkap mamanya.

"Papa udah bahagia dengan keluarganya, ma. Tidak apa-apa. Mama tidak perlu mengkhawatirkan Emine. Emine baik-baik saja walaupun hidup sendiri. Tetapi, Emine selalu merindukan mama di sini, apa mama juga rindu sama Emine?" tanya Emine lagi walaupun tahu pertanyaan tidak akan mendapatkan jawaban.

Setiap berziarah, Emine selalu menceritakan semua yang ia lalui selama beberapa hari sebelum ia datang ke makam mamanya.

Barulah setelah merasa lega, ia akan berdoa untuk mamanya.

"Mama. Emine pulang dulu ya. Assalamualaikum," pamit Emine tersenyum, lalu berjalan pelan menuju ke motornya, menatap sejenak kembali makam mamanya, lalu pergi meninggalkan area pemakaman dengan motornya.

Pulang lebih cepat seperti ini, akan Emine pergunakan dengan baik untuk beristirahat, sebab sedari pagi ia bekerja, ditambah lagi ia harus mengantarkan pesanan makanan milik Dirly ke dalam universitas yang begitu besar ukurannya, membuat tenaganya benar-benar terkuras.

• To Be Continued •












Tanpa HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang