Jam istirahat kerja pun tiba, Emine memutuskan membeli sesuatu di minimarket yang tidak jauh dari kafe.
Udara dingin langsung terasa di kulit ketika baru memasuki minimarket itu. Emine langsung menuju ke bagian kulkas yang di dalamnya ada begitu banyak rasa serta jenis minuman. Ia mengambil susu rasa cokelat dingin kemasan kotak sebanyak tiga buah, lalu beralih ke rak yang dipenuhi berbagai macam roti, dengan rasa yang sama, cokelat. Ia mengambil satu roti yang berukuran sedang.
Karena sudah selesai, Emine langsung menuju ke kasir, meletakkan belanjaan ke meja dihadapan karyawan penjaga kasir. Matanya tidak lepas dari barangnya yang di scan kodenya.
"Total belanjanya dua puluh lima ribu tiga ratus rupiah," kata karyawan itu.
Emine mengeluarkan uang sejumlah dua puluh enam ribu dan memberinya ke tangan sang karyawan. "Ambil saja kembaliannya, terima kasih," ujar Emine memberikan senyumnya ke karyawan itu.
Ketika kakinya melangkah menjauhi kasir, terdengar ucapan terima kasih karyawan itu yang dibalas dengan anggukan kepala olehnya.
Untuk pergi ke minimarket itu, Emine memang harus menaiki motornya agar cepat sampai, karena jaraknya hampir dua km dari kafe.
Setelah sampai di kafe, ia langsung masuk ke dalam, tanpa sengaja tatapannya langsung bertabrakan dengan Ernest yang memang kebetulan sedang memperhatikan orang-orang yang masuk dari pintu depan kafe. Tatapan Emine langsung ia alihkan tanpa melihat dengan siapa kali ini pria itu datang. Karena ia langsung menuju ke bagian belakang, tempat para karyawan istirahat yang bersebelahan dengan dapur.
"Apa perkataan gadis itu hanya sebuah omong kosong? Semenjak saat itu, dia menjadi lebih jarang terlihat memandang ke arahku," ucap Ernest dalam hatinya, karena tidak mungkin ia mengatakan secara langsung karena ada calon tunangannya di dekatnya.
"Ernest, apa kamu sering ke sini? Karyawan di sini sudah cukup mengenal kamu sepertinya," tanya Tania, calon tunangan Ernest.
"Ya, hampir setiap hari jika tidak sibuk saya ke sini," jawab Ernest.
"Oh. Aku akui bahwa kafe ini sangat cocok untuk para karyawan kantor juga untuk mahasiswa-mahasiswi di sini, karena suasananya nyaman, dan fasilitas lainnya yang begitu baik," sahut Tania memperhatikan sekitar.
"Bagaimana pekerjaan kamu? Apa ada waktu cukup untuk hal ini?" tanya Ernest.
"Pekerjaanku baik-baik saja. Kalaupun tidak, aku akan tetap datang menemui kamu walaupun hanya sebentar, bagaimanapun kita harus memiliki banyak waktu bersama agar saling mengenal," jawab Tania tersenyum.
Biasanya Tania hanya bisa menemui Ernest dalam sebulan, dua sampai empat kali, karena kesibukannya sebagai seorang model di sebuah perusahaan sekaligus pemilik sebuah butik.
Namun, dalam seminggu ini, Tania sudah mengunjunginya dua kali, dan Ernest membiarkannya, karena Tania bukan tipe perempuan yang selalu menempel kepada pria yang sebentar lagi terikat dengan wanita itu. Tania bersikap seolah-olah mereka adalah sahabat, itulah yang dia katakan dulu. Bahwa sikapnya kepada Ernest akan seperti sikap seorang sahabat, agar mereka tidak terlalu canggung, atau merasa terkekang dengan hubungan yang ada.
Perbedaan umur Ernest dan Tania, hanya dua tahun. Yaitu Ernest dua puluh lima tahun, sedangkan Tania dua puluh tiga tahun. Walaupun begitu, menurut Ernest pemikiran Tania sudah dewasa.
Sebenarnya hubungan yang akan terjalin nanti, bukanlah keinginan Ernest. Melainkan orang tuanya, untuk saling menguntungkan antara perusahaan milik Ernest dan perusahaan milik ayah dari Tania.
Banyak pertimbangan yang dipikirkan Ernest, karena ada seseorang yang sedang ia tunggu, namun jika menolak maka orang tuanya akan berbuat nekat kepada orang itu. Akhirnya dengan terpaksa, Ernest menurut kemauan orang tuanya.
•••
"Sampai jumpa Emine! Hati-hati di jalan! Dan telepon aku jika terjadi sesuatu!" seru Erika dengan mobil yang ia naik, berjalan melewati Emine.
"Iya!" sahut Emine tersenyum.
Sekarang sudah jam pulang seluruh karyawan, yang berarti kafe sudah tutup. Jalanan sekitar kafe belum bisa dibilang sepi, sebab masih ada karyawan kantor yang berlalu-lalang.
"Emine," panggil Rizky berjalan mendekatinya.
"Iya. Ada apa Rizky?" tanya Emine menatap laki-laki itu.
"Besok kamu ada janji atau ada rencana keluar?" tanya Rizky.
"Tidak ada," jawab Emine.
"Mau pergi bersama denganku? Daripada hanya di rumah tidak tahu berbuat apa, jadi lebih baik kamu segarkan pikiran kamu sejenak dengan jalan-jalan," tawar Rizky.
Emine terdiam sejenak, memikirkan perkataan temannya itu. "Baiklah. Memangnya mau ke mana?" tanya Emine.
"Untuk itu akan jadi kejutan, dan aku rasa kamu akan menyukainya," jawab Rizky tersenyum sampai menampilkan lesung pipinya.
"Baiklah. Nanti kirimkan saja pesan tentang jam berapa akan pergi," ucap Emine membalas senyuman Rizky.
"Ayo kita pulang sama-sama," ajak Rizky menaiki motornya.
Emine juga menaiki motornya. Lalu keduanya berjalan bersamaan.
Semua yang terjadi sedari tadi di antara keduanya tidak luput dari tatapan tidak terbaca dari Ernest yang memberhentikan mobilnya tidak jauh dari kafe. Entah apa yang membuat dirinya memberhentikan mobilnya hanya untuk melihat hal yang tidak penting.
Melihat mereka sudah pergi, Ernest pun kembali menghidupkan mesin mobilnya, lalu menjalankannya dengan kecepatan sedang menuju ke arah apartemennya.
• To Be Continued •
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanpa Harapan
General FictionDi saat mencintai seseorang, adanya harapan-harapan di dalamnya memiliki peluang besar, bukan? Namun, bagaimana jika harapan-harapan itu tidak ada karena sesuatu terjadi di masa lalu dalam keluarga? Apa itu masih dikatakan cinta atau hanya sekedar...