Chapter 11

0 0 0
                                    

Tatapan Emine menjadi tajam ketika tahu orang yang memegang tangannya secara tiba-tiba adalah sosok pria asing.

"Apa kita bisa bicara sebentar?" tanya pria itu.

Emine tidak menjawabnya, dan hanya berusaha melepaskan genggaman tangan dari pria itu. Setelah terlepas, ia kembali menatap sosok tinggi yang berdiri di depannya.

"Maaf saya tiba-tiba memberhentikan kamu, tapi kita perlu berbicara. Jika kamu takut, kita berbicara di dalam toko tadi saja," tutur pria itu.

Tidak ada suara dari Emine untuk membalas ucapan pria itu sampai beberapa menit. Tepat di menit ke lima, barulah ia membuka suara.

"Di sana saja," tunjuk Emine ke sebuah taman yang berada tidak jauh dari posisi mereka.

Emine berjalan lebih dulu, diikuti oleh pria itu ke arah taman. Lalu keduanya duduk bersebelahan dengan Emine yang memberi cukup jarak di salah satu bangku yang ada di taman itu. Hening selama beberapa saat, sampai akhirnya pria itu membuka suaranya terlebih dahulu.

"Nama saya Al Fattah Abisatya. Saya adalah kakak kamu. Lebih tepatnya kita adalah paternal siblings. Kamu pasti sudah paham maksud saya," tutur Fattah tersenyum.

Emine hanya menganggukkan kepalanya saja. "Lantas, untuk apa kita bicara?" Tanya Emine tanpa menatap lawan bicaranya, bukan karena tidak sopan, namun ia malas untuk melihat wajah yang mungkin ada kemiripan dengan dirinya.

"Ini perihal ayah. Dia sangat menyayangi kamu. Sama seperti sayangnya kepada kami. Apapun yang terjadi di masa lalu, cobalah untuk ikhlas, dan memaafkan ayah. Ayah seperti itu karena terjebak akan keadaan-" jawab Fattah yang tiba-tiba berhenti, karena Emine memotong ucapannya.

"Ikhlas. Tidak semudah itu untuk bisa melakukannya. Sudahlah. Tidak perlu membahas hal yang jelas bukan urusan Anda. Ini urusan saya dengannya. Anda tidak berhak ikut campur," potong Emine sambil berdiri.

"Saya berhak untuk menasehati kamu. Kamu tidak bisa menghindari hubungan darah yang terjalin di antara kita berdua," sanggah Fattah menatap Emine.

"Kalau kamu lupa, saya dan adik saya juga pernah mengalami hal yang sama sebelum kamu. Dan kami sudah mengikhlaskan semua yang terjadi, karena itu sudah menjadi garis takdir Tuhan yang tidak bisa dihindari. Tidak ada gunanya membenci siapapun di sini. Kami juga tidak menyalahkan ibu kamu untuk kejadian itu," lanjut Fattah kembali menatap ke depan, ke arah sebuah keluarga kecil yang bahagia.

Emine hanya mengembuskan napasnya dengan kuat tanpa membalas ucapan Fattah. Pandangannya hanya menatap pohon-pohon yang bergerak daun-daunnya karena angin.

"Apa kamu tidak mau seperti mereka?" tanya Fattah kepada sebuah keluarga yang berada tidak jauh di depan mereka berdua.

"Bohong jika saya berkata tidak. Tapi itu dulu. Di saat saya tidak tahu apa yang terjadi. Sekarang, saya lebih baik hidup sendiri tanpa keluarga. Bagi saya, ibu saya adalah satu-satunya keluarga," jawab Emine kembali duduk.

"Saya paham perasaan kamu. Namun, saya yakin setelah kamu memaafkan ayah, perasaan kamu perlahan-lahan akan lebih tenang, karena sudah tidak ada lagi beban pikiran tentang semua ini. Saya menyayangi kamu, seperti kasih sayang dari seorang kakak untuk adiknya. Maka dari itu, saya tidak ingin kamu berlarut-larut dalam kesedihan dan bahagia bersama kami, keluarga kamu," timpal Fattah.

"Bagaimana pun, kamu tetap membutuhkan sosok keluarga di samping kamu. Karena, sejatinya manusia tidak bisa terus-terusan hidup sendirian," lanjut Fattah setelah berhenti beberapa saat.

Lagi dan lagi Emine tidak langsung membalas ucapan Fattah, karena dirinya tidak ingin berdebat, yang hanya akan membuang-buang tenaga saja.

"Mau beli es krim?" tawar Fattah karena melihat seorang pria yang sudah cukup berumur menjual es krim keliling dengan motornya, dan sedang berhenti di taman itu.

"Tunggu sebentar ya," ucap Fattah berjalan ke arah pria yang menjual es krim itu tanpa menunggu jawaban yang jelas tidak akan ia dapatkan dari Emine.

"Pak, saya beli es krim yang rasa vanilla satu dan cokelat kacang satu ya," tutur Fattah.

"Baik mas, tunggu sebentar ya," balas bapak tersebut dengan tersenyum senang.

"Ini mas es krimnya. Total harganya empat belas ribu" lanjut bapak itu dengan memberikan dua buah es krim.

Fattah memberikan selembar uang senilai lima puluh ribu. "Ini uangnya ya pak. Ambil saja kembaliannya buat bapak, anggap saja itu rezeki lebih bapak untuk hari ini, terima kasih." Ujar Fattah tersenyum kemudian kembali menghampiri Emine yang sibuk menatap toko makanan penutup yang ia datangi tadi.

"Eh. Alhamdulillah Ya Allah. Terima kasih ya mas," seru bapak penjual es krim yang dibalas dengan Fattah yang menoleh ke arahnya dan tersenyum.

"Ini es krimnya," ujar Fattah memberikan es krim rasa cokelat kacang sambil duduk kembali di sebelah Emine.

Emine menerimanya. "Terima kasih." Ucap Emine.

"Sama-sama," balas Fattah tersenyum senang karena Emine menerimanya.

Keduanya pun menikmati es krim masing-masing dengan diam dengan arah tatapan yang berbeda. Emine menatap ponselnya, dan Fattah yang menatap ke arah depan, namun sesekali melirik Emine.

"Kamu sering ke toko tadi?" tanya Fattah berusaha mencari topik obrolan agar Emine dapat berbicara banyak dengannya.

"Tidak. Baru kali ini," jawab Emine masih menatap ponselnya.

"Bagaimana pekerjaan kamu? Apa baik-baik saja? Apa kamu punya teman yang banyak?" tanya Fattah lagi untuk menarik perhatian Emine.

Emine membuang napasnya dengan kasar, lalu menatap Fattah yang tersenyum kepadanya. "Tidak perlu bersusah payah agar bisa akrab, tidak ada gunanya. Pembicaraan tentang keluarga cukup sampai di sini, jangan pernah bertemu dengan saya lagi jika hanya ini yang akan dibahas." Dengus Emine kemudian berlalu pergi menghampiri motornya, meninggalkan Fattah yang menatapnya dengan sendu.

"Maaf ayah. Fattah gagal untuk kali ini," gumam Fattah pelan.

Fattah menyadari ucapan Emine, yang terselip makna bahwa ia bisa bertemu kembali dengan adiknya itu asalkan bukan keluarga yang menjadi topik pembicaraan mereka.

Setelah melihat Emine sudah pergi dengan motornya, Fattah pun menghampiri mobilnya dengan tersenyum tipis, pergi menuju ke rumahnya. Tidak apa-apa. Setidaknya ia masih punya kesempatan bertemu dengan Emine, dan akan menjadi lebih dekat nantinya.



• To Be Continued •















Tanpa HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang