Mendengar langkah kaki mendekat, Ernest langsung membalikkan tubuhnya. Terasa olehnya bahwa Emine terganggu akan kehadirannya yang tiba-tiba. Namun, Ernest tidak mempedulikan wajah Emine yang terlihat sedikit kesal.
"Ada apa?" tanya Emine langsung ke intinya dengan wajah tanpa ekspresi.
"Undangan," jawab Ernest memberikan sebuah kertas undangan pertunangan yang tidak langsung diambil Emine, karena baginya mereka berdua tidak sedekat itu, sampai-sampai dirinya harus menghadiri undangan dari sebuah acara.
"Undangan pertunangan milikku. Datanglah, ada namamu tertera di atasnya," jelas Ernest sedikit menggoyangkan tangannya, berharap undangan itu diambil dan diterima oleh Emine yang tetap diam.
"Apa untungnya? Dan lagi pula, saya tidak punya waktu. Saya sibuk bekerja. Datang ke sebuah acara hanya diperuntukkan kepada orang yang memiliki banyak waktu kosong, bukan?" ucap Emine.
"Terima kasih atas niat baik anda yang ingin mengundang saya. Tetapi, saya tidak bisa datang. Sudah jelas? Saya masuk dulu," tutur Emine, sepersekian detik kemudian Emine membalikkan tubuhnya ingin masuk ke dalam kafe, namun ia urungkan.
"Oh iya, jika ingin datang bertemu dengan seseorang, minta tolong agar perhatikan waktu tepatnya. Karena, tidak semua orang suka jika kegiatannya terganggu," lanjutnya lalu kembali melangkahkan kakinya, meninggalkan Ernest yang ingin membalas ucapannya, namun tidak jadi karena Emine sudah tidak terlihat lagi dalam pandangannya.
Lagi-lagi Ernest tidak banyak bertindak ketika Emine seolah-oleh menolak dan pergi begitu saja. Sudah jelas bahwa Emine tidak menyukai kehadirannya, ditambah membawa sesuatu yang menurut Ernest pasti tidak diharapkan oleh Emine.
Tidak ingin menjadi pusat perhatian orang-orang karena berdiri di dekat pintu masuk kafe, Ernest langsung berlari kecil ke mobilnya, masuk ke dalam, lalu melaju dengan cukup kencang.
Tujuan Ernest memberikan undangan pertunangannya kepada Emine agar gadis itu dapat menghilangkan perasaannya dan menemukan pria yang lebih baik darinya. Sebelumnya Ernest berpikir Emine akan datang walaupun terpaksa karena hanya ingin menghargai undangan Ernest, namun ternyata ia salah, dan Emine menolak undangan darinya.
Walaupun sikap dan perilaku Emine lebih dingin dan cuek semenjak Ernest menegur Emine karena dia yang selalu menatap ke arahnya, yang menimbulkan rasa risi saat itu, membuatnya sedikit ragu apakah gadis itu benar-benar menyukainya atau tidak.
Kepergian Ernest tidak dipedulikan oleh Emine yang sibuk menghabiskan makanannya dengan lebih cepat, agar sisa waktu istirahatnya dapat ia gunakan untuk duduk santai sejenak, lalu akan kembali bekerja.
Kafe yang ramai membuat para karyawan termasuk Emine berisitirahat dengan bergantian. Jika semua istirahat makan siang, maka tidak ada yang melayani pelanggan.
Erika menghampiri Emine dan duduk di sebelahnya sambil membuka sedikit lebar mulutnya, sebab mengantuk. Emine yang melihatnya pun dengan cepat menutup mulut temannya itu.
"Tutuplah mulut kamu ketika menguap, tidak sopan," tukas Emine menjauhkan tangannya dari mulut Erika.
"Hehe. Maaf, aku lupa," tutur Erika tersenyum dengan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Tapi hari ini aku mengantuk sekali. Rasanya mau pulang saja," celetuk Erika kembali menguap, namun kali ini ia menutup rapat mulutnya dengan tangan.
"Kamu tidur larut tadi malam?" tanya Emine menatap Erika sepenuhnya.
"Iya, soalnya aku mau menamatkan drama Korea yang bergenre thriller. Drama yang ada genre ini, menurut aku kalau hanya ditonton satu sampai lima episode tidak akan cukup karena selalu membuat penontonnya mau menghabiskan secara langsung semua episodenya," jawab Erika panjang lebar dengan semangat.
"Jam berapa kamu selesaikan semuanya?" tanya Emine lagi.
"Hanya sampai jam dua. Tenang saja, aku tidak akan tidur larut malam lebih lama lagi setelah jam dua, karena aku tahu bahwa begadang terlalu lama tidak baik untuk tubuh, apalagi dihabiskan waktunya dengan benda elektronik yang memiliki cahaya radiasi," jawab Erika.
"Lewat jam 11 malam itu tidak baik untuk mata kamu Erika. Jangan terlalu sering melakukannya," pesan Emine.
"Iya Emine. Aku tidak sering tidur larut malam, hanya satu atau dua kali dalam seminggu. Aku melakukannya jika sudah sangat penasaran saja dengan alur selanjutnya dari episode berikutnya," sahut Erika tersenyum bermaksud menenangkan Emine agar tidak perlu khawatir.
Emine mengalihkan pandangannya ke arah jam tangannya. "Waktunya sudah tinggal dua menit, ayo kita kembali bekerja saja." Tutur Emine berdiri dari duduknya yang diikuti oleh Erika dan dua temannya yang lain.
Tanpa membantah mereka pun mengikuti perkataan Emine, untuk kembali bekerja.
Pertama Emine mengantarkan pesanan dari dua orang pelanggan yang keduanya berjenis kelamin perempuan memakai baju SMA. Emine menghampiri mereka dengan membawa nampan. "ini pesanannya ya, empat castella sandwich, Ice Blend Coffee satu, dan satu Matcha Milk Tea. Selamat menikmati." Ujar Emine tersenyum sambil meletakkan satu persatu pesanan mereka.
"Terima kasih!" seru kedua remaja tersebut dengan tersenyum ceria.
"Iya, sama-sama. Kalau begitu saya permisi dulu," tutur Emine.
"Iya kak," sahut kedua remaja itu.
Ketika ingin melangkah pergi, Emine berbalik lagi menuju ke seorang pelanggan yang memanggil dirinya.
"Iya, mau pesan apa?" tanya Emine.
"Lotus tiramisunya dua, dan vanilla latte satu kak," ujar pelanggan tersebut.
"Saya ulangi lagi pesanannya ya. Lotus tiramisunya dua, dan vanilla latte satu. Benar? Ada lagi yang ingin dipesan?" tanya Emine memastikan.
"Iya benar. Tidak kak, itu saja," jawab pelanggan itu tersenyum.
"Baiklah. Tunggu sebentar ya," tutur Emine yang dibalas dengan anggukan kepala serta senyuman dari pelanggan yang ia layani sedari tadi itu.
Emine menyerahkan pesanan tadi kepada temannya yang berada di bagian dapur. Setelah beberapa menit kemudian pesanan telah siap disajikan kepada pelanggan, lalu ia membawanya ke meja pelanggan yang memesan.
Setelah selesai Emine kembali melayani pelanggan dan menyerahkan pesanannya kepada bagian dapur, begitu seterusnya sampai waktu tidak terasa sudah berjalan begitu cepat, yang di mana sisa dua puluh menit, kafe akan tutup.
Tersisa satu pelanggan yang masih sibuk dengan laptopnya sambil meminum minumannya, tidak berapa lama kemudian, mungkin karena sudah selesai, Emine melihat laptop tersebut ditutup dengan sedikit kencang dengan pelanggan itu yang mengembuskan napasnya karena merasa lega. Lalu, ia beranjak pergi meninggalkan kafe dengan memberikan senyum kepada beberapa karyawan yang sedang berdiri tidak jauh darinya termasuk Emine.
"Akhirnya pulang juga!" seru Erika senang lalu ia dan lainnya membersihkan serta merapikan kafe sebelum tutup, lalu bersiap-siap pulang.
• To Be Continued •
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanpa Harapan
General FictionDi saat mencintai seseorang, adanya harapan-harapan di dalamnya memiliki peluang besar, bukan? Namun, bagaimana jika harapan-harapan itu tidak ada karena sesuatu terjadi di masa lalu dalam keluarga? Apa itu masih dikatakan cinta atau hanya sekedar...