Chapter 9

0 0 0
                                    

Sedari pagi hujan terus mengguyur kota tempat tinggal Emine. Masih terus membasahi bumi dan seisinya walaupun tidak sekeras pada awalnya.

"Di cuaca seperti ini untuk apa orang datang bertamu?" gumam Emine sambil berjalan ke arah pintu rumahnya karena mendengar pagarnya yang terus di goyangkan.

Ketika sudah membuka pintu, Emine menyipitkan matanya, untuk melihat dengan baik siapa sang tamu.

Seketika rasa yang selama ini ia pendam langsung dirasakannya ketika mengenali siapa yang datang ke rumah.

"Emine! Kamu apa kabar nak?" tanya pria itu tersenyum sendu, ayah kandung Emine.

Emine tidak menjawab pertanyaan itu, dan hanya menatap kosong ke depan.

"Ada perlu apa datang ke sini?" Bukannya Anda sudah bahagia dengan keluarga Anda?" tanya Emine tanpa menjawab pertanyaan dari Adskhan, ayahnya.

"Papa minta maaf Emine, selama ini papa tidak pernah terlibat apapun dalam mengurus kamu nak," tutur Adskhan sendu.

"Saya bisa mengurus hidup saya sendiri selama ini tanpa campur tangan siapa pun dan itu lebih baik," tukas Emine.

Tidak ada niat Emine untuk membukakan pagar agar Adskhan bisa masuk ke dalam rumahnya. Sudah cukup ketika ia berumur 15 sampai 17 tahun pagar itu selalu terbuka menantikan kehadiran pria itu.

Emine tahu semuanya tentang keluarganya. Tentang ibunya yang menjadi istri kedua dari Adskhan. Ia juga tahu bahwa semua ini sudah takdir, namun hatinya masih sakit mengingat tentang pria yang adalah ayah kandungnya itu pergi meninggalkannya sendiri dan kembali ke keluarga istri pertamanya, membiarkannya hidup bersama adik dari ibunya ketika masih kecil dulu.

Benar-benar meninggalkan dirinya tanpa kabar apapun. Emine yang masih kecil dulu selalu berharap agar Adskhan segera kembali dan membawanya pulang, kemudian menjalani kehidupan bersama, namun harapan itu ia musnahkan semenjak tahu semua dari bibinya, adik kandung ibunya.

Dengan tiba-tiba pria itu datang menanyakan kabarnya seolah-olah selama ini, mereka bertukar kabar dengan hubungan yang baik antara ayah dan anaknya.

"Pergilah. Saya tidak membutuhkan anda di sini. Kehadiran anda hanya akan membuat luka yang belum kering akan menjadi basah lagi," ucap Emine ingin berbalik masuk ke dalam rumahnya.

"Papa tahu nak. Papa melakukan kesalahan besar karena meninggalkan kamu hidup tanpa orang tua kandung kamu, walaupun papa masih hidup selama ini. Papa sungguh ingin meminta maaf kepada Emine. Walaupun permintaan maaf ini tidak bisa menghilangkan luka dan sakit yang penyebabnya adalah diri papa sendiri," ujar Adskhan berlutut di depan pagar, bertumpu pada kedua lututnya, membiarkan dirinya basah akan air hujan.

Membuat Emine berhenti melangkah, namun tidak membalikkan tubuhnya untuk menatap kembali pria itu.

"Maaf nak, maaf, maaf, maaf," gumam Adskhan berulang kali, namun masih dapat didengar Emine yang kembali melangkahkan kakinya dan masuk ke dalam rumah, menutup pintu dengan rapat.

Pintu itu ditutup dan dikunci dari dalam. Emine tidak bisa mengizinkan masuk untuk orang yang seperti Adskhan, dan hanya bisa datang kembali kepadanya dan meminta maaf seolah-olah kejadian itu hanyalah sebuah memori yang mudah untuk dilupakan.

Bunyi tertutupnya pintu rumah didengar oleh Adskhan, yang langsung mengangkat kepalanya yang sebelumnya menunduk, dan hanya bisa menatap sendu ke arah pintu tersebut.

"Papa tahu Emine. Bahwa papa telah salah kepada kamu sayang. Papa berusaha menebus kesalahan yang telah papa lakukan beberapa tahun lalu kepada bunda dan kakak-kakak kamu, dengan pikiran papa yang selalu tertuju kepada kamu, nak. Papa masih sangat menyayangi kamu, putri kecilnya papa," gumam Adskhan tersenyum sendu, dan berusaha berdiri dengan pelan.

Sebelum benar-benar pergi dari depan rumah, Adskhan kembali menatap pintu yang tertutup rapat. Rumah yang menyimpan begitu banyak kenangan antara Adskhan, almarhumah istrinya, dan juga Emine. Kenangan yang akan selalu ia simpan dengan baik dalam pikirannya.

Cara yang selama ini ia lakukan ketika merindukan putri kecilnya yang sudah tumbuh menjadi seorang ratu yang siap memimpin kehidupannya walaupun tanpa dirinya adalah hanya bisa memutar kembali kenangan lama, walaupun di dalam hatinya ingin sekali memeluk Emine dan menumpahkan kerinduan, permintaan maaf, serta kasih sayangnya yang selama ini ia pendam.

Setelah mengingat kembali kenangan indah itu, Adskhan pergi meninggalkan rumah Emine dengan mobilnya.

Kepergian Adskhan hanya dianggap biasa saja oleh Emine, karena baginya itu lebih baik, karena jika sampai ada tetangga yang melihat Adskhan yang berdiam diri di sana dengan terus menatap ke rumah, sudah dipastikan keterlibatannya dengan Adskhan akan lebih banyak, sebab pasti salah satu tetangganya akan menceramahi dirinya karena tidak mengizinkan Adskhan masuk ke rumah di tambah dengan pintu yang tertutup rapat, serta hujan yang masih berjatuhan dari langit, tanpa tahu apa yang terjadi sebenarnya, dan apa yang ia rasakan selama ini karena pria itu.

Emine dapat melihat dengan jelas penyesalan dari mata Adskhan, namun itu sudah terlambat. Karena, baginya pria itu sudah tidak mau lagi memiliki hubungan dengannya atau sudah memutuskan hubungan keluarga mereka sejak pria itu pergi.

Baginya, tidak perlu terlalu lama mengingat dan membicarakan masa lalu, mau sampai kapan dan sampai mana lagi Emine menyakiti dirinya karena masa lalu itu? Dirinya hanya akan gagal hidup dengan baik karena terus menatap ke belakang.

Emine kembali melakukan aktivitasnya yang tertunda dan berusaha seperti kedatangan pria itu dan permintaan maafnya tidak pernah terjadi, agar dirinya merasa lebih baik, karena sejujurnya perasaannya sempat terguncang tadi.



• To Be Continued •

Tanpa HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang