08

19.2K 1.2K 4
                                    

Dikarenakan hari Minggu nanti mereka akan mengadakan liburan bersama di pulau pribadi milik keluarga Sanjaya, atau keluarga Resy Sanjaya dan Lesy Sanjaya, maka undangan untuk bermain ke rumah Halla diganti hari ini.

Elisa yang sebenarnya tengah malas, terpaksa harus menerima undangan tersebut. Apalagi tadi malam, melalui panggilan telepon, neneknya Halla meminta langsung pada Elisa untuk makan siang bersama di mansion keluarga mereka. Jadi, mau tak mau Elisa harus hadir.

"El," panggil Halla pelan.

Elisa yang tengah mengendarai porsche kesayangannya menoleh sekilas. "Iya, Hal?"

"Tadi, lo lagi ngebalas Wulan, ya?" tanya Halla memastikan.

Elisa tertawa pelan. Ia mengangguk mantap. "Yups. Salah sendiri kemarin nyebelin. Kan aku jadi kesel," keluhnya yang kini memasang wajah cemberut.

Halla ikut tertawa. Sudah biasa. Bahkan kadang balasan dari Elisa lebih sadis daripada ini. Jadi, Halla sudah tak kaget. Namun, meskipun terbilang buruk dan tak baik untuk membalaskan dendam, tapi balasan dari Elisa tak pernah melukai fisik seseorang. Itu sebabnya, Halla masih membiarkan apa yang Elisa lakukan. Nanti, jika tindakan sahabatnya itu mulai melewati batas, barulah Halla akan menghentikannya.

"Tenang, Hal, aku cuma main-main aja, kok. Lagian itu gak ngerugiin siapa-siapa, kan? Dianya aja yang iri-an sama aku," ucap Elisa dengan wajah santai. Ia tahu apa yang tengah Halla pikirkan. Halla memang sebaik itu padanya. Padahal Elisa tak yakin jika pernah melakukan sesuatu yang lebih baik hingga membuat Halla mau berteman dengan orang yang keras kepala, egois, bahkan pendendam, seperti dirinya.

"Well, selama itu gak bikin lo dalam bahaya, gue juga gak akan terlalu menduliin kok." Halla menjelaskan singkat.

Elisa hanya tersenyum tipis, yang membuat keduanya jadi terdiam, sibuk dengan kegiatan masing-masing. Hingga untuk kedua kalinya, Halla kembali membuka percakapan. Gadis itu berkata, "Gue baru inget."

Elisa yang masih menyetir, menoleh sekilas. "Inget apa?"

Halla menatap Elisa cukup lama sebelum akhirnya memilih untuk bertanya, "Om Elrick ada manggil lo buat ketemuan gitu gak, El?"

Sebelah alis Elisa terangkat, sedikit bingung dengan pertanyaan Halla barusan. Namun, ia memilih menggeleng. "Nggak, tuh. Papa gak minta aku buat ketemuan. Lagian, tiap awal bulan juga, kan aku bakal dinner sama beliau. Dan ini udah pertengahan bulan, jadi masih lama buat kita ketemuan," jelas Elisa mengenai jadwal pertemuannya dengan sang ayah, yang sebenarnya sudah diketahui Halla. Elisa dan Halla memang sering bercerita tentang kehidupan pribadi mereka.

Lagi, Halla tampak ragu-ragu untuk bercerita. Ia menarik napas panjang, menghembuskannya perlahan, dan langsung menatap serius Elisa. "Gue dapat info kalau keluarga Arnawama bakal jadi investor tetap di bisnis baru bokap lo." Halla berujar tegas. "Tapi ... kepala keluarga Arnawama ngajuin syarat yang 'katanya' udah disetujuin sama om Elrick."

Dahi Elisa mulai berkerut halus. Curiga mengenai syarat yang diajukan oleh keluarga Arnawama. Walau ini bukan sesuatu yang aneh untuk dilakukan, tapi setahu Elisa, keluarga Arnawama itu cukup loyal dan jarang, bahkan tak pernah mengajukan sebuah syarat untuk melakukan investasi. "Syarat yang diajukan itu ... apa, Hal?"

Halla kembali menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Gadis itu juga memejamkan kedua matanya dengan kedua tangan yang dikenalkan kuat. Sebenarnya ini cukup berat untuk dikatakan, tapi Halla rasa Elisa berhak untuk tahu. Setelah merasa siap, ia kembali menatap Elisa dengan wajah seriusnya. "Okey, El, ini masih isu, ya. Masih belum pasti kabar ini beneran atau nggak. Jadi-"

"Hal," potong Elisa yang kembali menatap Halla sekilas. "To the point aja, apa syaratnya?"

"Mereka ngajuin syarat buat ngejodohin putra bungsu mereka sama lo." Halla berujar cepat.

MILIKKU (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang