45

12.3K 512 27
                                    

"Nikah?!" Elisa berseru terkejut. Dia menatap tak percaya laki-laki di depannya. "Kita masih sekolah, Kak!"

"Terus?" Ren yang tengah duduk di single sofa menatap santai Elisa. Kakinya tampak menyilang, dengan kedua tangan yang diletakkan di pinggiran sofa.

"Kok terus, sih? Ya, jelas gak bisa lah, Kak!" Elisa yang tadi tengah merebahkan diri di sofa panjang, saat itu juga langsung berganti posisi menjadi duduk. "Dan lagi, aku mau ngejar cita-cita aku dulu. Aku mau nikmatin kehidupan aku. Aku masih mau main sama temen-temen aku. Aku gak mau, ya, tersiksa sama kehidupan pernikahan disaat teman-teman aku yang lain lagi sibuk-sibuknya menikmati masa muda mereka. Belum lagi kalau nanti kita punya anak, jangankan kebebasan, waktu tidur aja belum tentu punya. Apalagi kalau nanti--amit-amit--aku kena baby blues abis melahirkan." Elisa menggeleng cepat, mengusir bayangan mengerikan itu dari kepalanya. "Enggak, ya, Kak. Aku gak mau. Walau dari segi materi Kakak udah terhitung mencukupi, tapi mental aku masih belum pantas buat menikah. Ada banyak hal yang mesti diperhitungkan, dan kita hampir gak memenuhi itu semua!" jelas Elisa panjang lebar, wajahnya tampak panik.

Senyum Ren dengan santainya terbit di bibir laki-laki itu. "Aku tau, El. Makanya itu, kita cukup nikah diem-diem aja. Cukup keluarga kita aja yang tahu. Dan untuk kehamilan, kita bisa tunda dulu sampai kamu udah ngerasa siap." Ren bangkit dari duduknya, dia pindah ke samping Elisa.

Elisa menepis tangan Ren yang hendak menyentuh wajahnya. "Tetep aja gak mau, Kak!" ujar Elisa dengan mata yang melotot. "Kakak pikir nikah cuman sekadar punya anak dan enggak? Ada banyak hal lain yang harus dipenuhi sebagai kewajiban dari suami-istri. Dan aku belum mau ngelakuin itu semua. Aku mau kehidupan aku bebas kayak anak remaja lainnya! Aku gak mau kehidupan aku jadi terkekang karena status jadi istri orang!!"

"Hey, aku gak bakal ngekang kamu. Aku gak bakal ngelarang kamu main sama teman-teman kamu, kok. Kamu bebas mau main sama mereka kapan aja. Dan buat kewajiban, kita gak bakal ngelakuin itu selama kamu gak mau. Pernikahan kita itu cuman buat memperjelas status hubungan kita aja." Suara Ren melembut, diikuti dengan terbitnya senyum hangat laki-laki itu.

"Kalau gitu, ya, gausah nikah," balas Elisa dengan senyum mengembang, seakan menemukan titik terang. "Kita cukup tunangan aja, Kak. Nikahnya nanti pas kita udah dewasa, pas aku udah ngerasa cukup pantas buat ngehadapin dunia pernikahan. Lagian, aku juga gak bakal macam-macam, kok. Kakak tau, kan? Aku gak mungkin selingkuh, dan aku percaya Kakak gak bakal selingkuh dari aku."

Ren terdiam mendengar penjelasan Elisa barusan. Senyum hangatnya masih tertahan, dengan pikiran yang mulai berubah kesal.

Kadang, sikap keras kepala Elisa memang jadi penghambat yang paling merepotkan. Apalagi dengan Elisa yang selalu mempertimbangkan baik-buruk dari langkah yang diambilnya. Jelas, mengelabui gadis itu untuk mengikat hubungan mereka dalam tali pernikahan, adalah hal yang sulit untuk dilakukan.

Dan jika Ren masih bersikeras memaksa untuk menikah dengan Elisa, kemungkinan terburuk yang akan Ren ambil bisa saja hilangnya kepercayaan Elisa padanya.

Elisa jelas bukan gadis bodoh yang akan mau-mau saja jika diberi sedikit harapan. Buktinya, meski Ren sudah melakukan banyak memanipulasi pada gadis itu, sampai saat ini kepercayaan Elisa padanya masih belum sampai ke angka tujuh puluh persen. Jadi, akan semakin sulit untuk mendapatkan gadis itu jika Ren sudah kehilangan kepercayaan Elisa.

Senyum Ren semakin lebar. "Kamu benar, mungkin kita bisa mulai dari tunangan dulu."

Senyum Elisa ikut melebar mendengar itu. "Iya, kan?!" serunya dengan raut gembira. Elisa bersorak kegirangan sebelum akhirnya memeluk Ren. "Makasih, Kak. Aku janji gak bakal selingkuh dari Kakak!"

Ren membalas pelukan itu dengan senyum manisnya yang dipaksakan, masih belum puas dengan harapan Elisa yang hanya ingin bertunangan. Bagi Ren, status sebagai tunangan itu masih belum cukup untuk membuat Elisa menjadi miliknya. Hak yang Ren miliki masih terbatas, dan keinginannya untuk memonopoli Elisa masih belum bisa dia dapatkan.

***

"Demi apa Kakak mau tunangan?" seru Wulan dengan wajah terkejut.

Elisa yang melihat itu dengan santainya mengedikkan bahu. Dia menyuap gelatonya tanpa berniat menyahuti ucapan Wulan.

Keduanya kini memang tengah berada di kedai gelato. Elisa yang mengajak Wulan untuk ke sana berdua, ingin menghabiskan waktu bersama sebagai kakak-adik bahagia yang beberapa tahun ini sempat tertunda karena masalah keluarga.

Wulan yang memang sangat merindukan kakaknya itu, tapa basa-basi langsung mengiyakan ajakan Elisa. Gadis itu bahkan dengan semangat menceritakan banyak hal pada Elisa. Mulai dari kehidupannya yang tak seindah di pikiran Elisa, teman-temannya yang sebenarnya cukup aneh--Fea si penjilat dan Resy yang hobi mentertawakan penderitaan orang lain, hingga hal-hal random yang pernah Wulan alami.

Elisa tak ingin kalah, dia ikut bercerita mengenai banyak hal dalam hidupnya. Namun, satu hal yang tidak Elisa ceritakan. Ya, itu tentang Ren. Meski Elisa menyayangi dan percaya pada Wulan, tapi menceritakan hal tetang Ren bukanlah hal yang mudah. Apalagi fakta jika Wulan bukanlah penggemar cerita fantasi, membuat adiknya itu percaya tentu akan sulit untuk dilakukan. Jadi, untuk saat ini, Elisa lebih memilih untuk diam.

Wulan menggelengkan kepalanya. "Wah, gak nyangka Kakak bakal tunangan secepat ini. Sama kak Ren lagi. Aku yang udah beberapa kali caper ke kak Ren aja masih belum bisa dapetin kontaknya. Eh, Kakak malah mau tunangan sama dia," ujar Wulan dengan sedikit nada bercanda.

Elisa terkekeh singkat. "Oh, iya dong. Kan aku selalu ada di atas kamu." Dia mengibaskan rambutnya dengan wajah sombong. Tak bertahan lama, tatapan Elisa langsung berubah tajam. "Awas aja kalau kamu masih caper sama kak Ren!"

Wulan tertawa pelan mendengar ancaman dari kakaknya itu. "Buat apa? Kan, perhatian yang selama ini aku mau udah aku dapetin." Dia ikut menampakkan tatapan sombongnya.

Ya, selama ini, semua yang Wulan lakukan semata-mata hanya untuk memancing emosi Elisa. Walau tak bisa mendapatkan kasih sayang Elisa seperti saat kecil dahulu, tapi setidaknya Wulan ingin berinteraksi dengan Elisa, atau setidaknya membuat Elisa menaruh perhatian padanya. Meski interaksi itu melalui sebuah pertengkaran dan hal-hal yang memalukan.

Elisa kembali tertawa, dia bangkit dari kursinya, mendekati Wulan lalu memeluk erat adik kesayangannya itu. "Uuu, tayang akuh!" ujarnya dengan suara yang dibuat-buat.

Tawa Wulan semakin kencang mendengar ucapan Elisa barusan. Itu terdengar sangat aneh mengingat selama ini Elisa sudah bersikap dingin dan angkuh di depannya. Namun, dia tetap membalas pelukan kakaknya itu. Pelukan yang selama ini sangat Wulan rindukan.

TAMAT

MILIKKU (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang