10

18.1K 1.2K 6
                                    

Hari ini Elisa tak telat lagi. Gadis itu datang cukup pagi hari ini, bahkan lebih pagi daripada Halla. Ia mengeluarkan sebuah buku yang waktu itu belum sempat ia selesaikan, buku mengenai tujuh makhluk mitos yang ia dapatkan di perpustakaan rumahnya.

Jari lentik gadis itu membalik halaman kertas, matanya menatap fokus deretan kata yang tertera di kertas. Hingga tiba di baris kalimat yang cukup mengganjal, membuat fokusnya bertambah berkali-kali lipat. "Bedanya, vampir dengan garis keturunan murni bisa merasakan langsung belahan jiwanya sejak usia dini. Bahkan, kekuatan mereka sudah bisa muncul di usia itu."

Dahi Elisa mulai berkerut halus, mencoba memahami makna dari dua kalimat yang baru saja ia baca. "Merasakan belahan jiwa?" beonya yang masih sedikit heran. "Emangnya bisa?"

"Of course," sahut seseorang yang membuat Elisa tersentak. "Why not?" Seorang laki-laki berambut coklat yang tengah berdiri di depan pintu kini langsung berjalan mendekat ke arah Elisa. Tatapan tajamnya menatap lurus iris hitam kelam Elisa.

Elisa menatap orang itu dari bawah hingga atas. Nike hitam, celana abu, baju putih yang dikeluarkan, dasi juga vest yang hilang entah kemana, tatapan dingin, dan iris coklat terang yang khas. Itu Zieon, si murid baru yang dulu sempat membuat Elisa risih karena tatapannya.

"Tau dari mana?" tanya Elisa penuh selidik. Matanya sedikit menyipit menatap Zieon.

Namun, bukannya menjawab, Zieon justru menyeringai kecil, membuat Elisa semakin curiga dengan murid baru itu. Apalagi, kini leher Elisa mulai dilanda rasa panas. Ia meringis pelan, tangannya refleks langsung memegangi lehernya. Sementara itu, tanpa berniat menjawab pertanyaan Elisa, Zieon langsung berlalu menuju bangkunya.

Laki-laki tampan itu mengeluarkan airpods-nya, menyumpal kedua telinganya dengan airpods, kemudian memejamkan mata tanpa menyetel sebuah lagu untuk didengarkan, karena apa yang dia lakukan itu hanya isyarat agar tak ada yang mengganggunya.

Elisa yang tatapannya terus mengikuti gerak-gerik Zieon langsung mendengus. Ia kembali menghadap ke depan, hendak melanjutkan kegiatan membacanya.

Namun, bunyi bel masuk membuat Elisa menghentikan kegiatannya. Gadis itu menoleh heran melihat bangku di sebrang sebelah kirinya masih kosong. Tumben sekali Halla belum datang setelah bel berbunyi. Jika memang tidak datang sekolah, biasanya nenek Halla akan mengabari Elisa.

Elisa menatap cemas arah pintu masuk, berharap sahabatnya bisa tiba tepat waktu. Meski telat datang tak akan menimbulkan masalah untuk Halla, tapi sama seperti Elisa, Halla juga tak suka jika harus ketinggalan pelajaran. Bagi Halla, ketinggalan pelajaran itu sama halnya dengan menyia-nyiakan uang yang dikeluarkan ayahnya untuk membayar sekolah.

Hingga saat ketukan sepatu mulai terdengar, semua murid langsung bergegas merapikan diri, dan guru yang mengajar muncul di depan kelas, saat itulah Halla juga tiba di kelas. Sahabat baik Elisa itu masuk ke kelas mengikuti langkah sang guru yang juga masuk ke kelas mereka.

Elisa menghela napas lega. Syukurlah Halla tiba tepat waktu. Ia memang senyum manisnya untuk Halla, hendak menyapa sahabatnya itu. Namun, jangankan membalas senyumannya, menatapnya pun tidak. Senyuman Elisa seketika berubah heran. Ia ingin bertanya langsung pada Halla, tapi guru yang mengajar sudah memberikan instruksi untuk memperhatikan ke depan membuat Elisa mengurungkan niatnya.

***

Tangan Elisa yang hendak mengetuk pintu langsung terhenti. Senyum kecil yang tadi sempat tersemat di bibir indahnya langsung hilang. Tatapan penuh semangatnya telah berubah menjadi tajam.

Elisa mengepalkan kedua tangannya. Tatapannya lurus tertuju pada dua orang yang tengah duduk di sofa di dalam ruangan kepala sekolah.

"Terus kan, Ma, karena Wulan gak tau apa-apa, jadi Wulan kasih tau aja deh."

MILIKKU (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang