11

16.2K 1.1K 1
                                    

"Halla, shopping, kuy!" ajak Elisa yang baru saja membereskan alat tulisnya. Gadis itu sudah berdiri di depan meja Halla. Menatap Halla dengan sebuah senyum manis.

"Sorry, El, gue gak mood. Gue duluan, ya." Halla langsung berdiri, ia berjalan cepat ke luar kelas, meninggalkan Elisa yang kini memasang wajah heran. Tentu saja, karena Halla yang Elisa kenal itu sangat suka berbelanja. Bahkan belanja adalah obat paling ampuh jika sahabatnya itu sedang dalam suasana hati yang buruk. Namun, untuk pertama kalinya, Halla menolak ajakan Elisa untuk belanja. Bahkan dengan alasan tidak mood. Ini aneh, benar-benar aneh.

Cukup lama terdiam di tempat, Elisa langsung berlari mengejar Halla. "Hal, serius kamu gak mau?" Elisa mencekal tangan Halla, kembali bertanya, masih belum yakin dengan apa yang tadi Halla katakan.

Halla langsung menghentakkan tangan Elisa, membuat Elisa langsung tercengang di tempat. "El, please, jangan ganggu gue." Halla kembali melanjutkan langkah dengan menambah kecepatan jalannya.

Elisa kembali terdiam di tempat. Gadis itu mulai mengingat-ingat kejadian kemarin, takut-takut jika ia sempat membuat kesalahan hingga Halla menjauhinya seperti sekarang.

Namun, Elisa yakin dia tak melakukan apapun yang bisa membuat Halla tersinggung. Karena saat akan pulang dari rumah Halla pun, Halla mengantarnya dengan wajah sumringah. Jadi, mustahil jika kemarin ia sempat membuat kesalahan. Akhirnya, untuk kedua kalinya, Elisa kembali menyambar tangan Halla, membuat Halla mau tak mau harus berhenti.

Halla berbalik, ia menatap Elisa dengan ekspresi kesal yang tertahan. "Elisa gue-"

"Kamu kenapa, sih, Hal? Dari tadi pagi loh sikap kamu mulai aneh, padahal kemarin kamu baik-baik aja."

"El, gue-"

"Kalau aku emang ada salah, aku minta maaf."

"El, gue lagi-

"Tapi jangan gini juga dong, Hal. Aku-"

"Elisa!" suara Halla meninggi dengan tatapan yang mulai tajam. "Lo ngerti gak, sih? Gue lagi gak mau diganggu!"

"Hal-"

"Gue lagi gak mood ngomong sama lo, tolong jangan ganggu gue!"

Mata besar Elisa mengerjap beberapa kali. Tatapannya kosong, pikirannya melompong. Elisa masih tak mengerti dengan apa yang baru saja terjadi. Ada apa dengan Halla? Kenapa menjauhinya? Apa Elisa benar-benar sudah berbuat salah? Tapi kenapa tak langsung bicara saja?

Sial!

Ini membingungkan, dan Elisa tak pernah menyukai semua yang membuatnya bingung layaknya seorang idiot.

"Argh!" Elisa menggeram kesal. Kedua tangannya terkepal kuat seraya memukul angin yang tak dapat ia lihat. "Apaan sih, gak jelas banget jadi orang!" gumam Elisa yang ikut kesal. Padahal Elisa sangat yakin tak melakukan sesuatu yang dapat membuat Halla jadi menjauhinya, tapi Halla dengan tingkah anehnya justru membuat Elisa jadi terlihat demikian. Akhirnya, dengan wajah kesal Elisa ikut berlalu pergi, melewati lorong kelas yang kini sudah mulai sepi.

***

Porsche abu Elisa berhenti di depan sebuah kedai gelato yang cukup terkenal. Sudah banyak kendaraan yang terparkir di depan kedai itu, menandakan jika si kedai tak sedang sepi. Namun, itu bukan masalah besar. Elisa yang masih mengenakan seragam sekolah membawa kakinya melangkah memasuki kedai. Ia memesan menu favoritnya, yaitu dark chocolate with almond dengan size large. Itu adalah menu yang selalu Elisa pesan jika datang kemari. Selain gelato, Elisa juga memesan menu lain, yaitu waffles with banana and caramel sauce.

Setelah memesan dan mendapatkan pesanannya, Elisa langsung menuju salah satu meja kosong yang berada di dekat jendela kaca. Gadis itu mendudukkan diri di salah satu kursi yang berada di sisi meja, menikmati gelatonya dengan mata yang menatap bosan pemandangan jalan raya di luar jendela.

Rasa kesal Elisa perlahan mulai berkurang setelah menikmati manisnya gelato yang tengah ia makan. Memang, gelato dan semua makan manis itu sangat ampuh untuk meredakan amarah seorang Elisa. Gadis itu terus menyendok gelatonya, dengan pikiran yang kini mulai liar, mengingat kembali kejadian ganjil yang akhir-akhir ini menghantuinya. Dugaan-dugaan tak masuk akal terus bermunculan dipikiran Elisa. Bahkan teori-teori gila tak ingin kalah untuk ikut memenuhi otaknya.

Namun, satu hal yang rasanya bisa Elisa yakini, yaitu masa lalu yang tak dapat ia ingat dengan jelas. Elisa yakin semua yang terjadi ada kaitannya dengan itu. Apa lagi mimpi tentang masa kecil Elisa yang bertemu anak laki-laki dengan bibir berlumuran darah. Agaknya memang semua ini memiliki kaitan yang cukup erat dengan itu, kaitan dengan makhluk yang berhubungan erat dengan darah, siapa lagi juga bukan-

"Elisa!" seru seseorang yang langsung membuyarkan lamunan Elisa.

Elisa mendongak. Mata besarnya mengerjap bingung melihat orang yang tadi menyerukan namanya. "Siapa, ya?" tanya gadis itu dengan tampang polos.

Orang yang ditanyai tertawa pelan. Ia langsung mendudukkan diri di kursi kosong yang berada di depan Elisa. "Serius kamu gak inget?" tanya laki-laki itu yang kini mulai menyuap gelatonya. Ia menatap Elisa dengan sebuah senyum manis.

Elisa memperhatikan laki-laki di depannya yang juga mengenakan seragam serupa. Sebenarnya Elisa tak benar-benar lupa, ia hanya tak ingat nama laki-laki itu. "Kamu ... kakak kelas yang waktu itu ikut duduk sama kita?"

Sebelah alis laki-laki itu terangkat. "Kakak kelas?" beonya dengan tatapan tanya. Tak lama, beberapa detik kemudian, laki-laki itu terkekeh pelan. "Astaga! Kamu orang pertama yang ngelupain aku loh."

Elisa tak menjawab. Ia hanya mengedik acuh dan kembali melanjutkan menyantap gelatonya. Lagi pula, Elisa juga tak berniat untuk bisa akrab dengan kakak kelasnya itu.

"Okey, gimana kalau kita kenalan sekali lagi?" Laki-laki itu menatap dalam iris hitam kelam Elisa. Senyum manis terukir sempurna di bibirnya. "Kenalan dengan serius, secara resmi, dan cuman kita berdua."

Gerakan tangan Elisa terhenti. Gadis itu mengangkat wajah. Iris hitam kelamnya bertabrakan dengan iris yang tak kalah hitam milik si kakak kelas. Beberapa detik saling tatap dalam diam, Elisa mengusung senyum kecilnya. "Gak tertarik," ucapnya dengan nada tenang. Elisa langsung berdiri dari duduknya. Ia berjalan keluar kedai, pergi meninggalkan gelato yang masih penuh, waffles yang belum disentuh, dan si kakak kelas yang masih belum ia ingat namanya.

Laki-laki yang baru saja ditinggal pergi Elisa hanya bisa terbengong di tempat. Dia yang selalu dikejar-kejar banyak perempuan, menjadi idola dan selalu dipuja, untuk pertama kalinya ditolak, bahkan ditinggalkan. Rasanya sangat menyebalkan, tapi ... kenapa ada getaran menyenangkan? Sial!

Laki-laki itu menatap Elisa yang kini mulai masuk ke dalam mobilnya. Senyum manis yang sedari tadi terus terlukis, kini tergantikan dengan seringaian kecil. "Gak tertarik, ya?" ucapannya mengingat perkataan Elisa tadi, dengan seringaian yang kini semakin lebar.

MILIKKU (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang