44

6.2K 427 4
                                    

"Elisa!" Halla berseru senang melihat penampakan Elisa yang baru saja memasuki kelas. Dia langsung berdiri dari duduknya, menghampiri Elisa, dan memeluk gadis itu dengan erat. "Sumpah, ya. Lo di neraka ngapain aja, sih? Lama banget, anj*r!"

Elisa terkekeh geli mendengar ucapan Halla, baru ingat jika terakhir kali mereka bertemu, dia sempat mengatakan ingin ke neraka. Elisa tak menyangka jika sahabatnya itu akan membahasnya lagi di pertemuan mereka kali ini. "Biasalah, liburan," jawab Elisa dengan gaya khasnya yang sombong.

Halla memicingkan mata melihat tingkah Elisa barusan. "Gue curiga lo berubah jadi demon, gara-gara liburan ke neraka."

Elisa langsung melotot garang mendengar itu. "Heh, enak aja! Malaikat gini dikatain iblis!" protesnya tak terima.

Halla hanya tertawa pelan, dia langsung mengajak Elisa duduk, hendak menceritakan berita ter-hot selama sahabatnya itu tidak masuk sekolah.

Elisa mendengarkan dengan seksama semua berita yang Halla ceritakan. Mulai dari cerita mengenai anak klub basket yang baru-baru ini berpacaran dengan adik kelas mereka, anak kelas sebelah yang bertengkar dengan kakak kelas, guru seni mereka yang hendak menikah, hingga berita yang paling Elisa tunggu-tunggu, berita mengenai saudarinya, Wulan.

Dari kabar yang Elisa dapatkan dari Halla, rupanya Wulan juga tidak masuk sekolah sehari setelah Elisa dimarahi ibunya. Bahkan, Wulan masih tidak masuk sekolah hingga kemarin. Tidak tahu kalau hari ini.

"Emangnya dia kenapa?" tanya Elisa dengan raut penasaran.

Halla mengedik acuh. "Gak tau. Katanya, sih, sakit."

Dahi Elisa berkerut heran mendengar ucapan Halla. "Loh, bisa sakit juga ternyata," gumamnya dengan nada sedikit sinis.

Halla tertawa pelan mendengar itu. "Iya, ya, gue juga heran. Kirain ratu caper gak bakal bisa sakit."

"Mau dapet hidayah kali, ya?" Elisa semakin mengompori. Walau sebenarnya dia bukan tipe orang yang hobi nyinyir, tapi jika itu Wulan maka tentu tak akan Elisa sia-siakan.

"Bisa jadi!" sahut Halla sebelum akhirnya tertawa puas, diikuti Elisa yang menyeringai kecil melihat kedatangan Wulan yang baru saja tiba di depan pintu.

Elisa tak tahu apakah Wulan mendengar percakapannya barusan, bahkan dia tidak tahu kapan saudarinya itu tiba. Namun, dapat Elisa lihat tatapan Wulan tampak tak biasa menatap dirinya.

Wulan yang masih berada di ambang pintu, kini mulai melangkah masuk. Dia berjalan mendekati meja tempat duduk Elisa, membuat Halla yang melihatnya jadi tampak was-was.

Elisa sendiri hanya menyeringai kecil melihat adiknya itu. Jika ternyata Wulan memang mendengar percakapannya dengan Halla barusan, Elisa tak akan segan-segan untuk semakin menyulut kemarahan Wulan. Pasti akan sangat menyenangkan.

"Aku mau ngomong," ucap Wulan dengan tatapan serius di matanya.

"Kamu lagi ngomong," balas Elisa dengan tatapan yang tampak sinis.

Wulan menipiskan bibirnya, mencoba menahan diri untuk tidak memaki kakaknya itu. "Maksudnya ngomong serius." Dia menatap sekilas Halla yang tak sedikitpun memalingkan wajahnya. "Secara privat."

Elisa ikut menoleh pada Halla, hendak meminta pendapat. Halla yang mengerti tatapan Elisa, hanya anggukan kepala, membuat Elisa kembali menatap Wulan. "Pastiin kalau ini cukup penting!" Elisa berujar tegas.

Wulan mengangguk singkat sebelum melangkah lebih dulu ke luar kelas. Gadis itu membawa Elisa ke halaman belakang sekolah, tepatnya di bawah pohon beringin yang memiliki daun rimbun.

Setelah melihat langkah Wulan yang berhenti, Elisa ikut menghentikan langkahnya. Dia masih diam di tempat, menunggu Wulan memulai percakapan.

Cukup lama terdiam, Wulan akhirnya membalikkan badan, menghadap Elisa yang berdiri di belakangnya. Wajah gadis itu tampak menunduk. Dia masih terdiam untuk beberapa detik, sebelum akhirnya berkata, "Maaf."

Semilir angin tiba-tiba bertiup kencang. Ranting-ranting pohon terdengar bergesekan. Dedaunan, pun mulai berjatuhan.

Rambut hitam panjang Elisa yang tergerai, mulai menari-nari di depan wajahnya. Beberapa lembar daun, sesekali turut melewati wajah gadis itu. Elisa tampak tertegun mendengar ucapan Wulan barusan. Mata besarnya mengerjap beberapa kali.

Wulan masih menundukkan kepala, tak kuasa untuk melihat wajah Elisa saat ini. Dia yang selalu bersikap seolah ingin bersaing dengan Elisa, dia yang selalu mencoba merebut perhatian ibunya, dia yang selalu ingin mengambil apa yang Elisa punya, dia yang selalu Elisa benci kehadirannya ... tiba-tiba meminta maaf? Wulan pun sebenarnya sedikit malu dengan tindakannya, tapi jika tidak sekarang, lalu kapan lagi?

"Maaf karena selalu memonopoli kasih sayang dan perhatiannya mama. Maaf karena sering mancing pertengkaran." Wulan melanjutkan ucapannya masih dengan kepala yang tertunduk. "Dan, maaf ... karena aku, Kakak jadi menderita."

Mata bulat Elisa kembali mengerjap. "Kakak?" Dia membeo dengan wajah sinisnya. "Sejak kapan aku mau jadi kakak kamu?"

Wulan masih tak mengangkat wajahnya. "Maaf." Setetes air mata, kini mulai turun dari pelupuk mata Wulan.

Melihat itu, kedua tangan Elisa mengepal kuat, dia melayangkan tatapan tajam pada Wulan. "Kenapa?"

"Maaf." Wulan mulai terisak. Kepalanya semakin menunduk. Kedua tangan gadis itu, pun tampak saling meremas.

"Kenapa cuman aku yang harus menderita?!" teriak Elisa yang tak kuasa untuk menahan tangis. Dia ikut meneteskan air melihat Wulan kini tampak seperti korban dan dirinya yang seorang pelaku kejahatan. "Kamu pikir maaf doang udah cukup?"

Wulan menggelengkan kepala. Isakannya semakin menjadi.

"Kamu tau gimana rasanya jadi aku? Kamu tau gimana rasanya kesel setiap kali aku ngeliat kamu deket sama mama? Kamu tau gimana gak enaknya setiap kali aku ngebayangin jadi kamu, yang setiap hari dapat kasih sayang penuh dari mama?!" Suara Elisa meninggi, hampir seperti berteriak. "Aku ... iri banget sama kamu, Ri." Tak seperti tadi, sekarang suara Elisa terdengar amat pelan, hampir berbisik.

Kepala Wulan sontak langsung terangkat mendengar Elisa kembali memanggilnya dengan panggilan masa kecilnya. Wulandari Arunia, atau yang sering disapa Riri sewaktu kecil dulu. Sudah sangat lama Wulan tak mendengar sapaan itu lagi, dan sejujurnya, Wulan sangat merindukan seseorang memanggilnya dengan sebutan itu. "Kak," panggil Wulan yang kini sudah mengusung senyum di bibirnya.

"Kenapa gak dari dulu aja gak bersikap kekanakan-kanakan? Kenapa gak dari dulu aja berhenti mancing emosi? Kenapa ... gak dari awal aja kita hidup rukun kayak kakak-adik pada umumnya?"

"Maaf, Kak."

Elisa memalingkan wajahnya. "Itu bukan cuman buat kamu, aku juga," gumam Elisa yang masih dapat Wulan dengar. Beberapa saat terdiam, Elisa kembali menatap Wulan. "Maaf juga, Ri, aku udah jadi kakak yang egois." Dia ikut mengukir senyuman.

Mendengar ucapan Elisa barusan, tanpa aba-aba, Wulan langsung melompat ke arah Elisa. Dia memeluk erat kakak seibunya itu. Sedari kecil, Wulan memang sangat dekat dengan Elisa. Bahkan saking dekatnya, Wulan yang berbeda satu tahun dengan Elisa, ingin bersekolah lebih awal agar bisa selalu bersama Elisa.

Namun, kejadian tak mengenakkan saat mereka SMP membuat hubungan keduanya jadi mulai renggang. Apalagi Elisa yang memiliki sifat cemburuan, selalu kesal setiap kali mengingat ibunya lebih memilih orang lain dibanding dirinya. Elisa bahkan selalu melayangkan tatapan kebencian setiap kali melihat Wulan, membuat Wulan jadi mulai takut dan menjauh dari Elisa.

Dan karena itu pula, Wulan yang haus kasih sayang--karena pada nyatanya, ibu mereka juga lebih memperdulikan Elisa daripada Wulan--selalu mencari masalah dengan Elisa, agar kakaknya itu setidaknya mau menaruh perhatian padanya. "Aku kangen banget sama Kakak," bisik Wulan seraya mengeratkan pelukannya.

Elisa ikut mengeratkan pelukannya. "Aku juga kangen banget sama kamu, Ri."

MILIKKU (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang