24

9.2K 869 56
                                    

Neria tersenyum lembut menatap Alka yang tengah berkunjung ke rumahnya. Walau Neria merasa ganjil akan kunjungan ini, tapi perasaan senangnya lebih besar. Karena meski rumah mereka berdekatan, tapi jarang sekali laki-laki yang dia sukai itu datang ke rumahnya. Itulah mengapa, setiap kali Alka datang, Neria tak mungkin melewatkan perasaan bahagia itu.

"Minum dulu, Al," ucap Neria yang sudah menyajikan segelas jus jeruk untuk Alka. Senyum lebarnya tak kunjung pudar menatap Alka yang sedari tadi terus diam.

Alka mendesah berat. Ia mulai menatap serius pada Neria. "Dimana Elisa, Ner?" tanya Alka tanpa banyak basa-basi lagi. Alka benar-benar tak tahan dengan semua kejadian ini. Perasaan khawatirnya terlalu besar untuk dapat Alka sembunyikan lebih lama lagi.

"Apa maksud kamu, Al?" Neria masih mencoba mempertahankan senyum lebarnya, menyembunyikan rasa gugup yang tiba-tiba melanda hatinya.

"Kamu tahu Elisa dimana, kan?" suara Alka mulai berubah dingin. Tatapannya pun mulai tajam menatap Neria. "Aku gak akan pernah maafin kamu kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk sama Elisa!" Cukup pelan Alka berucap, tapi itu berhasil membuat Neria pias.

Neria menelan ludahnya kasar. "Elisa ... ada di suatu tempat," jawab Neria dengan suara pelan tanpa melihat ke arah Alka.

Alka menggeram marah mendengar jawaban tak jelas dari Neria. "Dimana Elisa, Neria?!" suaranya mulai meninggi.

Neria sedikit tersentak dengan itu. Ia menatap tak percaya Alka yang kini sangat berbeda dengan Alka yang ia kenal. Gadis itu menggelengkan kepalanya, sedikit kecewa dengan perubahan sikap Alka yang tiba-tiba itu.

Alka pun tak kalah terkejutnya dengan apa yang baru saja ia lakukan. Alka tak bermaksud membuat Neria ketakutan. Alka hanya tak bisa menahan rasa sabarnya untuk mengetahui keadaan Elisa. "Ner, tolong, kasih tau aku, dimana Elisa?" Alka berucap lembut. Ia menatap memohon pada Neria. Berharap Neria mau memberi tahunya keberadaan Elisa.

Neria kembali menggeleng. "Maaf, Al. Aku gak bisa ngasih tau kamu dimana Elisa sekarang. Tapi, Elisa baik-baik aja. Orang tuanya juga tahu keberadaan Elisa. Jadi, aku harap kamu berhenti nyari-nyari Elisa." Neria menjelaskan tanpa mau melihat ke arah Alka. "Kalau kamu udah selesai. Silahkan pulang, Al."

"Ner, tunggu! Tolong kasih tau aku-"

"Alka, stop!" Neria berteriak cukup kencang. Ia menatap Alka dengan ekspresi rumit. "Pergi, Al!" usir Neria dengan nada dingin.

Merasa tak mungkin memaksa Neria untuk memberi tahu keberadaan Elisa, akhirnya Alka memilih mengalah. Ia melenggang pergi meninggalkan rumah Neria.

Tak apa, setidaknya Alka sudah tahu jika Elisa baik-baik saja. Bagi Alka, itu sudah lebih dari cukup. Walau tak bisa dipungkiri jika Alka tetap merasa tak nyaman dengan perasaannya.

***

Click!

Pintu kamar Elisa yang tadi sudah dikunci, tiba-tiba terbuka dengan sendirinya. Seorang laki-laki yang baru saja membuka pintu itu, melangkah pelan mendekati Elisa yang tengah tertidur pulas di tempat tidurnya. Ia menyeringai lebar melihat wajah damai Elisa yang tengah terlelap.

Tangan pucat laki-laki itu mengusap pelan dahi Elisa yang tengah berkeringat. Ia tahu, akhir-akhir ini, Elisa sudah tak lagi memimpikan tentang masa lalunya. Tapi, ingatan itu mulai muncul tanpa kenal waktu. Membuat Elisa kadang harus menahan rasa sakit yang luar biasa kala ingatan itu memaksa untuk keluar.

"Sebentar lagi, Sayang," gumam pelan laki-laki itu. Mata merahnya menatap sekilas jam dinding dengan jarum pendek yang hampir menuju angka dua belas dan jarum panjang yang tak sampai satu menit lagi juga berada di angka dua belas. 

"Sebentar lagi, dan kamu akan jadi milik aku, selamanya," gumam laki-laki itu dengan seringaian penuh arti. Ia sudah sejak lama menantikan momen ini. Menanti hari kedewasaan Elisa, dan melakukan ritual pengikatan jiwa dengan gadisnya itu.

Seringaian lebar Raigan muncul diiringi dengan sepasang taring panjang laki-laki itu yang ikut menyeruak keluar dari mulutnya, sudah siap untuk menancap di leher indah Elisa.

Raigan, gelar khusus untuk seorang putra mahkota kerajaan vampir yang memiliki kekuatan setara dengan raja atau sudah melewati raja. Raigan mendapatkan gelar tersebut saat usianya bahkan masih enam tahun.

Terlalu kecil untuk ukuran seorang vampir yang dapat mengalahkan kekuatan sang raja dengan gelar tertinggi. Namun, begitulah kenyataannya. Raigan mendapatkan gelar tersebut hingga membuat nama lengkapnya di dunia Arsga menjadi Raigan Leorenzie Davendra.

Ya, makhluk yang selama ini sudah mengikuti Elisa, makhluk yang menjadi bagian dari masa lalu Elisa, makhluk yang selalu meninggalkan jejak bekas gigitan di leher Elisa, tak lain dan tak bukan adalah kakak kelasnya sendiri, Ren.

Mulai dari mengancam Halla untuk memberikan semua informasi tentang Elisa. Memanfaatkan Neria menggunakan statusnya sebagai seorang putra mahkota kerajaan vampir yang nantinya akan menjadi pemimpin tertinggi di dunia Arsga. Juga memanipulasi Elisa dengan berpura-pura menjadi kakak kelas baik hati yang tanpa pamrih memberikan bantuan pada Elisa yang tengah kesulitan. Namun, yang paling menyeramkan adalah, Ren yang sudah memanfaatkan situasi dengan membuat perjanjian bersama ayah Elisa. Dan itulah alasan mengapa Elrick tak menyukainya, karena Ren sudah memanfaatkan Elrick menggunakan rencana liciknya.

Ya, semua yang tejadi pada Elisa adalah serangkaian tragedi yang sudah Ren rencanakan sedemikian rupa.

Tidak, sebenarnya Ren pun tak menduga jika Zieon akan menculik gadisnya itu. Dan jika ia mau, sebenarnya Ren bisa saja langsung menyelamatkan Elisa saat itu. Namun, rencana licik itu sudah lebih dulu menyeruak ke dalam pikiran Ren.

Semua dimulai dari membuat Elisa diculik ke dunia Arsga, memanfaatkan perasaan takut yang dimiliki Elrick untuk membuat perjanjian dengannya, menyuruh Neria membantu Elrick menyelamatkan Elisa, berpura-pura menemani Elisa yang tengah bersembunyi dari kejaran Zieon, juga melakukan banyak hal manis yang dapat membuat Elisa merubah pandangannya tentang Ren.

Rencana yang sederhana, tapi sukses untuk membuat Elisa berada dalam genggamannya.

Ren atau yang sering disapa Rai oleh Elisa kecil, kini menyeringai lebar melihat jarum jam yang sudah sempurna menunjuk angka dua belas. Tanpa tunggu waktu lagi, meski hanya seorang diri, Rai langsung melakukan inti dari ritual pengikatan jiwa. Saling bertukar darah. Mudah saja bagi Rai untuk meminum darah Elisa, tapi untuk membuat Elisa meminum darahnya, Rai membutuhkan tenaga yang ekstra.

Namun pada akhirnya, ritual itu tetap berjalan dengan sempurna. Tepat di jam dua belas malam, tepat di hari ulang tahun Elisa yang ke tujuh belas, Elisa resmi menjadi miliknya, hanya dia, selamanya.

Mata merah Rai memperhatikan dengan seksama wajah pulas Elisa dengan bibir yang berlumuran darah karena ulahnya. Cukup lama memperhatikan, hal yang ditunggu-tunggu pun terjadi, tubuh Elisa mulai memberikan reaksi atas ritual yang baru saja ia laksanakan.

Setelah reaksi itu hilang, seringaian lebar Rai kembali muncul. "Mulai sekarang, kita udah sempurna jadi pasangan yang bahagia," ucap Rai lembut. Ia mendaratkan sebuah kecupan di bibir Elisa yang penuh darah. "Sekarang, kamu jadi milik aku, El. Hanya aku." Rai terus mendaratkan kecupan lembutnya di bibir Elisa.

Merasa sudah puas mengecup bibir lembut Elisa. Rai ikut merebahkan diri ke dalam selimut yang menutupi tubuh Elisa. Laki-laki tampan itu menarik Elisa ke dalam pelukannya. Ia mendaratkan kecupan terakhirnya sebelum ikut terlelap bersama Elisa.

"Milikku."

MILIKKU (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang