43

5.9K 463 1
                                    

"Bentar lagi kita sampai, El." Ren mengusap pelan bahu Elisa yang duduk di sampingnya, mencoba menyadarkan gadis itu yang kini tengah melamun menatap ke luar jendela mobil.

Elisa sedikit tersentak sebelum akhirnya menoleh pada Ren. Dia terdiam beberapa saat dengan kepala tertunduk, lalu kembali menatap Ren dengan raut yang tampak ragu.

"Kenapa, hm?" Ren menatap lembut Elisa. Sebelah tangan Ren menyelipkan rambut panjang Elisa ke belakang telinga, menyingkirkan rambut-rambut itu yang mencoba menutupi wajah cantik gadisnya.

Elisa menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Jangan apa-apain papa sama mama aku, ya, kak."

Gerakan tangan Ren seketika langsung berhenti. Kedua alisnya terangkat. "Apa-apain?" beonya dengan wajah tanya.

Elisa mengangguk singkat. "Iya, Kakak kan hobi ngebunuhin orang. Kali aja kakak mau ngebunuh papa sama mama juga."

Mendengar ucapan polos dengan raut tanpa dosa Elisa barusan, Ren tak kuasa untuk menahan tawa. Dia tertawa lepas dengan Elisa yang menatapnya heran.

Merasa seperti diejek, Elisa mulai menunjukkan raut kesal. "Aku serius, Kak!"

Ren mencoba menghentikan tawanya, dia menatap geli Elisa. "Astaga, El. Aku gak asal ngebunuh, loh. Aku ngebunuh orang, itu karena mereka punya potensi buat bikin kamu terluka." Dia mencoba menjelaskan dengan lembut. "Dan, berpotensi ngerebut kamu dari aku." Ren melanjutkan ucapannya dari dalam hati.

"Yah, meskipun orang tua kamu udah bikin kamu menderita, tapi kehilangan kedua orang tua pasti bakal jadi pukulan terbesar buat anaknya. Aku jelas gak mau kamu ngalamin itu, karena aku sayang banget sama kamu, Elisa. Jadi, gak mungkin aku bakal ngebunuh mereka." Ren mengakhiri kalimatnya dengan sebuah senyum manis yang diusung.

Elisa menghela napas lega. "Syukurlah kalau gitu." Dia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi.

Walau membunuh bukanlah sesuatu yang dapat dibenarkan, tapi menghentikan laki-laki itu juga bukanlah tindakan yang akan Elisa lakukan. Karena, seperti yang Ren bilang, pembunuhan yang Ren lakukan dilandasi atas dasar keinginan untuk melindungi. Dan setelah mengalami langsung kejadian yang membuat Elisa hampir gila, jelas membuat gadis itu semakin yakin untuk mempercayakan keselamatannya pada Ren. Bahkan meski itu lewat jalur pembunuhan.

"Kecuali kalau kamu yang minta, sih." Ren melanjutkan ucapannya dengan suara pelan.

Elisa yang masih bisa mendengar ucapan Ren, saat itu juga langsung melayangkan tatapan membunuhnya pada Ren, membuat laki-laki itu langsung terkikik geli.

Tentu saja, meskipun Elisa kesal karena kedua orang tuanya itu lebih memilih saudaranya, Elisa akan tetap menyayangi keduanya. Dan lagi, walaupun tak sebesar dulu, tapi Elisa masih bisa merasakan kasih sayang yang ditunjukkan kedua orang tuanya itu kepadanya.

"Mau berhenti di mana, Mas, Mbak?" tanya sopir taksi yang sedari tadi bungkam--merasa ngeri sebenarnya--mendengar pembicaraan Elisa dan ren.

"Di depan sana aja, Pak." Ren menunjuk rumah Elisa, memberi isyarat untuk berhenti di depan pintu rumah.

Elisa ikut menengok ke depan, melihat arah telunjuk Ren. Kedua matanya seketika langsung membulat melihat penampakan orang tuanya yang tengah berdiri di depan pintu rumah. "Papa? Mama?" gumam Elisa yang tak mampu menyembunyikan senyum lebarnya.

Ren menoleh pada Elisa setelah mendengar ucapan gadis itu. Dia ikut tersenyum melihat senyuman bahagia di wajah gadisnya. "Mereka udah nungguin kamu dari tadi," bisik Ren yang membuat senyuman Elisa jadi semakin lebar.

Begitu taxi yang mereka tumpangi berhenti, Elisa tanpa tunggu waktu lagi langsung turun dari sana. Dia berlari kencang menghampiri kedua orang tuanya yang juga tak kalah bahagia. "Papa, Mama!" teriak Elisa di sela larinya.

Arisa yang berdiri di samping Elrick, ikut berlari kecil, hendak menyambut Elisa dalam pelukannya. Elrick yang tadinya juga hendak memeluk Elisa, mau tak mau harus mengalah, membiarkan ibu putrinya itu mendapat kesempatan lebih dulu untuk memeluk putrinya.

Namun, sebelum sempat Arisa membawa Elisa ke dalam pelukannya, langkah Elisa yang tadinya penuh semangat, kini langsung berhenti. Wajahnya yang tadi tampak ceria, pun langsung berubah sendu. Dia menundukkan kepalanya.

Melihat itu, kedua orang tua Elisa langsung bertatapan, bingung sekaligus penasaran dengan putri semata wayang mereka itu.

"Maaf," tutur Elisa dengan suara yang terdengar bergetar. "Maaf karena udah bikin Papa sama Mama khawatir. Maaf karena udah bersikap kekanak-kanakan. Maaf ... karena Elisa udah ngerepotin Papa sama Mama." Elisa mulai terisak pelan. Wajahnya masih menunduk, tak sanggup menahan malu karena mengingat kelakuannya baru-baru ini.

Melihat itu, Arisa ikut menitikkan air mata. Dia tersenyum lembut sebelum menarik Elisa ke dalam pelukannya. "Mama gak ngerasa direpotin, kok." Wanita cantik itu mulai terisak, membuat isakan Elisa yang tengah ia peluk jadi semakin kencang. "Justru Mama yang minta maaf."

Arisa melepaskan pelukannya, dia membingkai wajah kecil Elisa. Kedua ibu jarinya mengusap lembut air mata yang membanjiri pipi putrinya. "Mama minta maaf, ya, Sayang, selama ini Mama udah jadi Mama yang buruk buat Elisa." Arisa mengukir senyum manis ditengah kesedihan yang mendominasi wajahnya. "Mama udah banyak nyakitin Elisa selama ini. Elisa pasti menderita banget karena-"

"Elisa kangen Mama," potong Elisa yang kembali memeluk Arisa. "Elisa kangen banget sama Mama." Dia berujar di sela isak tangis yang sudah sedikit mereda.

Senyum Arisa semakin lebar. "Mama juga kangen banget sama Elisa, Sayang." Arisa mengeratkan pelukannya. Dia menciumi pipi Elisa dengan penuh kasih sayang, membuat Elisa jadi terkekeh karena merasa geli. "Jangan tinggalin Mama lagi, ya, Sayang," ujar Arisa setelah puas menciumi pipi Elisa.

Setelah cukup lama melepas rindu pada putrinya, Arisa pun mengurai pelukannya. Dia mundur selangkah, memberi jarak agar Elrick juga bisa melepas rindu pada putri mereka.

"Sayang," panggil Elrick dengan tangan terlentang. Mata pria paruh baya itu tampak menyipit, seperti sedang menahan air mata.

Elisa terkekeh pelan sebelum berlari masuk ke dalam pelukan ayahnya. "Kangen Papa!" Gadis itu berseru manja.

Elrick ikut terkekeh. "Papa juga kangen banget sama Elisa," ujarnya seraya mendaratkan kecupan lembut di puncak kepala Elisa. "Papa minta maaf, ya, karena udah-"

"Elisa jauuuh lebih kangen sama Papa!" seru Elisa memotong ucapan Elrick.

Melihat respon Elisa, Elrick kembali terkekeh. "Gak, ah, Papa jauh, jauh, jauuuh, lebih kangen sama Elisa."

"Gak, Pa, Elisa jauh, jauh, jauh, jauh, jauuuuh, lebih kangen sama Papa!"

"Sayang, Papa jauh, jauh, jauh, jauh-"

"Iya, iya, sekalian aja pergi yang jauh sana!" Arisa menatap sinis Elrick seraya menarik Elisa dari pelukan pria itu. Dia tersenyum manis pada Elisa. "Ayo kita masuk, Sayang. Mama udah masakin makanan kesukaan Elisa, loh."

Melihat tindakan menyebalkan Arisa barusan, Elrick sontak langsung melayangkan tatapan tajamnya pada wanita itu. Bahkan setelah menjadi mantan istri pun, Arisa masih saja hobi memancing keributan dengannya.

Elisa sendiri hanya menahan tawa melihat keributan kecil dari kedua orang tuanya. Dia menarik tangan Elrick, hendak menggandeng papanya itu. "Ayo, Pa, kita masuk!" ajaknya yang membuat senyum Elrick langsung merekah lebar.

Arisa yang melihat senyum Elrick, kini memutar bola matanya malas. Sedikit jengah mendapati sikap kekanakan-kanakan mantan suaminya itu. Namun, dia tetap melanjutkan kegiatannya, membawa Elisa masuk ke dalam rumah.

Ren yang sedari tadi hanya diam menonton, sekarang mulai tersenyum, senang mendapati senyum bahagia yang keluar dari bibir gadisnya. Dia ikut melangkah masuk, mengikuti di belakang Elisa yang tengah menggandeng Elrick dan dirangkul oleh Arisa.

MILIKKU (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang