8

1K 207 16
                                    

"Halo, Ma." Cheri menyapa dengan sebutan Mama meski masih terdengar kaku.

"Cheri, akhirnya kamu dateng juga." Vani merangkul Cheri dengan lembut.

Mengenal Cheri sejak kecil membuatnya yakin Cheri akan mengubah anaknya kembali menjadi seperti dulu. Penuh kehangatan dan memiliki banyak cinta.

Vani melirik Ates yng sudah masuk ke kamar. Itulah yang selalu anaknya lakukan. Tidak ada lagi sapaan hangat. Ates menjaga jarak dengannya dan Aslan.

"Kamu duduk sini dulu ya, Mama mau nyiapin cemilan. Kalian pasti udah laper lagi."

"Aku bantu, Ma."

"Nggak usah, kamu sama Ates aja."

Cheri menoleh ke sana-ke mari mencari Ates yang tidak terlihat lagi. Sialan, Ates meninggalkannya sendiri. Kabur dari medan perang.

"Ates di kamarnya. Kamarnya yang pojok itu."

"Aku bantuin Mama aja, deh."

"Nggak usah. Sana samperin aja."

Cheri ragu. Masa dia masuk ke kamar cowok dan itu kamar Ates. Lebih baik dia mengikuti pelajaran Fisika seharian. Enggan tapi Vani mendorongnya hingga depan pintu cowok sombong itu.

"Ates," panggil Cheri ragu, mengetuk pintu.

"Apa?" Ates muncul membuka pintu tanpa perlu Cheri mengulang panggilannya.

Cheri menggaruk kepalanya, tidak tahu juga untuk apa dia mengetuk pintu Ates. Seharusnya saat ini dia di rumah, rebahan di kasur tanpa harus berpikir keras hanya untuk masuk ke kamar Ates.

"Lo masih pengen gue pilih nggak?" Perkataan itu yang muncul begitu saja dari mulut Cheri. Dia kaget sendiri.

"Tunggu, gue ganti baju dulu." Ates kembali menutup pintu. Ekspresi Ates di rumah beda sekali dengan saat berdebat di sekolah bersamanya. Datar, dingin, dan kosong.

Cheri menyenderkan punggungnya di dinding. Menunggu pintu terbuka kembali. Dia sedang berada di dunia mana sebenarnya saat ini? Auranya tidak ada yang menyenangkan.

"Ayo!"

"Ayo ke mana?" Cheri menegakkan posisi berdirinya.

"Ke teras belakang. Atau lo mau masuk ke kamar gue?"

"Nggak, nggak. Ke teras aja."

"Lo takut sama gue?" tanya Ates setelah mereka duduk di kursi malas yang berayun.

"Nggak."

"Lo nggak takut mati?"

"Hah? Takut mati? Semua orang juga takut mati. Tapi itu takdir Tuhan jadi ya udah perbanyak berbuat baik aja jadi pas mati udah banyak bekal," jawab Cheri santai seolah mati bukan hal mengerikan di matanya.

"Lo tahu kan orang yang deket sama gue akan mati?"

"Oh ya? Cenayang mana yang bilang gitu?"

Cheri tidak percaya hal begitu meski sebenarnya dia sudah tahu gosip tentang Ates yang membawa petaka. Tentang sahabat Ates yang meninggal saat naik motor bersama. Ates hanya luka lecet tapi sahabatnya meninggal di tempat terlindas truk.

"Gue pembunuh. Orang yang deket sama gue akan mati. Lo masih mau jadi tunangan gue?"

"Gue 'kan mau jadi tunangan lo karena terpaksa. Lo lupa?"

Ates tertawa miris. Memang tidak ada yang menginginkannya. Kenyataan yang sudah pasti tapi menyebalkan saat mendengar dari mulut Cheri. Kecil-kecil bermulut pedas.

"Lo nggak sesayang itu 'kan sama gue? Jadi nggak perlu takut."

Seperti ada yang memukul jantungnya. Benar juga, untuk apa dia takut untuk dekat dengan Cheri lalu takut kehilangan Cheri?

Cheri sedikit paham alasan Ates terlihat plin-plan. "Lo pikir gue akan mati karena gue tunangan lo? Ya, ampun, gue emang bakal mati. Semua orang juga akan mati. Tapi bukan karena lo, emang lo Tuhan? Gue nggak percaya tahayul apalagi gosip murahan di sekolah."

Ates diam, ingin marah tapi untuk apa. Cheri tidak tahu tentang dirinya. Tidak tahu perasaannya. Tidak tahu hampir setiap malam dia selalu mimpi buruk. Bersalah dan kehilangan menghantuinya.

"Ya ampun, lagi asyik ngobrol apa, sih? Ini puding yang Mama bikin tadi siang, udah dingin pasti seger."

"Makasih, Ma." Cheri mengambil puding yang melambai tanpa malu. Untuk urusan makanan dia tidak mau basa-basi. Untuk apa menolak makanan yang sudah ditawarkan? Itu namanya tidak bersyukur. "Lo nggak mau?"

Ates menggeleng.

"Mau gue suapin?"

"Nggak usah. Sini lo aja yang gue suapin." Ates mengambil alih piring kecil yang dipegang Cheri dan menyuapi cewek berlesung pipi itu.

Mau tidak mau Cheri membuka mulutnya dan memasang senyum lebar mengingat masih ada Vani di sana.

"Duh, Mama kayak lagi ngontrak. Ya udah, Mama tinggal, deh."

Vani tetap pergi meski Cheri menghalangi. Tinggallah Cheri dan Ates saja dengan keheningan. Cheri bingung, membuka ponsel isinya chat grup. Ingin ngobrol tapi di sebelahnya Ates. Andai Nevan chat dia duluan pasti moodnya membaik seketika.

"Lo kenapa, sih, sama nyokap lo?" Cheri terpaksa membuka obrolan.

"Nggak kenapa-kenapa?"

"Seinget gue waktu kecil lo deket banget sama nyokap lo."

"Ingetan lo buruk. Yang gue inget lo itu tukang nangis."

"Nggak lucu." Cheri mendengkus. Ates memang aneh, kadang hangat tapi bisa tiba-tiba jadi makhluk paling ingin dia enyahkan di dunia. "Lo emang nggak akan bisa jadi lebih baik dari Nevan," gerutu Cheri dengan suara pelan tapi Ates mendengarnya dengan jelas.

"Yang penting gue statusnya lebih tinggi dibanding sekadar pacar. Ngomong-ngomong kapan lo mau mutusin dia? Jangan sampe ya gue turun tangan buat misahin kalian."

"Gue 'kan udah bilang tergantung perlakuan lo ke gue. Kalau lo memperlakukan gue dengan baik, gue akan pilih lo."

"Gue bakal antar jemput lo mulai sekarang. Kurang baik apa gue sebagai tunangan lo?"

"Lo tunangan gue atau supir pribadi gue?" Cheri mencibir.

"Gue bisa jadi apapun buat lo. Cuma buat lo."

Cheri meringis mendengarnya apalagi melihat ekspresi Ates yang berubah lembut menatapnya. "Sangat mengesankan," ucap Cheri dengan nada sok jual mahal padahal jantung tiba-tiba berdebar kencang.

Sekarang Cheri tahu apa yang dia benci dari Ates. Tatapan cowok itu. Dua kali dia jadi berdebar hanya karena melihat mata dalam Ates.

****

Happy Sunday!
Maaf ya semalem lupa update.
Moga suka, ya...
Love and thank you 😘

Raja BucinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang