Makima, sudah lulus dari sekolah impiannya, dan sekarang ia mau melanjutkan ke kuliah favoritnya, ia sudah mendaftar namun naas tempat kuliah itu tidak menerima dirinya, Makima sedih dan mengurung diri di dalam kamar selama beberapa hari.
Orangtuanya selalu membujuk dirinya untuk keluar dari kamar, mereka khawatir dengan anak semata wayang yang terus mengurung diri, bahkan untuk sekedar makan dan mandi pun tidak dilakukan oleh Makima, sesedih itu dirinya karena tidak diterima di tempat kuliah impiannya.
Padahal semua nilainya bagus, namun kenapa tempat kuliah itu tidak menerimanya, apa kekurangan Makima.
"Nak." Nada khawatir itu terdengar lagi, Makima yang tengah duduk sambil memeluk kedua lutut dan menghadap ke tembok, segera mendongak dan menoleh sedikit ke belakang, memandang pintu kayu yang diwarnai putih.
"Sayang, ini sudah hampir satu bulan, keluar ya." Makima kembali menoleh kedepan dan menyembunyikan wajah ke lutut, ia terus menitikkan air mata setiap mengingat kejadian tidak diterimanya di tempat kuliah tersebut.
"Sayang?" Sekali lagi mamanya memanggil disertai ketokan, namun Makima tidak meresponnya, ia malah mulai terisak sembari mengepal kuat kedua tangannya.
"Masih sama?" Terdengar suara papanya, diluar sana mamanya mengangguk tipis disertai netra yang berkaca-kaca, papanya menghela nafas dan memandang lekat pintu kamar anaknya.
"Aku harus melakukan sesuatu." Namun tiba-tiba papanya berbalik dan berjalan cepat.
"Mas, kemana?"
"Ada, kuharap ini bisa membantu." Tanpa menoleh kebelakang dan berhenti, dia menjawab pertanyaan istrinya, kini tinggal istrinya yang menempelkan kedua tangannya ke pintu anak disertai keningnya, lalu netra berkaca-kaca itu akhirnya menitikkan air mata.
"Nak.."
Hingga malam menyambut, perutnya terus berbunyi dan tangan kanannya turut meremat, wajahnya sudah pucat pasi dan disertai kening yang menampakkan keringat sebiji jagung.
Pada akhirnya Makima mencapai batas pertahannya, ia dengan payah turun dari ranjang dan bergerak lemah ke pintu, rematan di perut kian menguat, bahkan rasa mual mulai menghampiri, Makima membawa tangan kirinya ke mulut dan ia bergegas membuka pintu dengan tangan kanannya.
Cklek!
Pintu kamar yang terbuka membuat atensi tiga orang yang berada diruang tengah beralih kepadanya, sang mama berdiri cepat dan menghampiri anaknya yang tengah berjalan sembari tangan kanannya bertopang di dinding.
Kepalanya tertunduk dalam disertai beberapa anak rambut berwarna merah jatuh dan menutupi wajah.
"Sayang." Tangan kiri mamanya menyentuh bahu kanan Makima, sedangkan kanan meraih tangan kiri Makima dan membantu anaknya itu, tujuan sang anak kamar mandi sekarang.
"Hmph." Makima membawa tangan kanannya ke mulut, ia menghempaskan tangan kiri mamanya dan segera berlari ke kamar mandi, disusul mamanya.
Menyisakan papanya beserta seorang pria dengan pakaian rapi.
"Itu anakmu?" Sang papa yang sedari tadi memandang dua orang kesayangannya, segera menoleh ke pria tersebut dan mengangguk tipis, terlihat netranya memancarkan kekhawatiran namun tersembunyi dengan wajah datarnya.
Pria itu tersenyum tipis dan meraih segelas cangkir teh yang sedari tadi diabaikan, ia meminum sedikit setelah itu meletakkan lagi ke alas cangkir, bertepatan dengan Makima yang keluar dari kamar mandi dan dipeluk langsung oleh mamanya.
Pria itu melihat jelas wajah pucat Makima.
"Baiklah, kita bisa membahasnya sekarang." Sang papa mengangguk tipis dan melirik anaknya, setelah itu berdehem dan memandang lekat pria tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oneshoot 21+
RandomYe ye ye... Ini cerita dibuat oleh imajinasi sendiri yang agak... Mesum dan gila kkkkk.