[11] • Lega, Tenang, Sekaligus Menyesal •

17 9 0
                                    

Mata kuliah kali ini mewajibkan mahasiswanya bekerja dalam kelompok yang satu kelompoknya beranggotakan dua orang guna membuat artikel tentang pelestarian bahasa Indonesia yang harus dikumpulkan dua hari kedepan. Setiap mahasiswa dibebaskan untuk memilih pasangan kelompoknya masing-masing, tetapi Regina seperti orang hilang dalam kelasnya sendiri. Ia tidak tahu apakah masih ada yang mau berkelompok dengan dirinya. Sebutan “Pelakor” masih tersemat dalam dirinya dan belum menemukan titik terang.

Namun, kebetulan jumlah mahasiswa dalam kelasnya genap, jadi pasti ada satu orang yang akan satu kelompoknya dengan dirinya. Tak peduli siapa dan bagaimana orangnya nanti Regina pasrah. Toh, hanya untuk membuat artikel saja, mengerjakan sendiri pun Regina sanggup-sanggup saja.

Saat sibuk dengan pena yang tengah ia corat-coretkan di kertas, seseorang berdiri di sebelahnya dan memanggil nama Regina. Ia menoleh kepada Aina, satu-satunya mahasiswi yang memakai jilbab lebar di fakultasnya. Sebenarnya banyak yang memakai jilbab, tetapi kebanyakan tidak se-syar'i Aina. Mungkin Aina lulusan pesantren, pikir Regina.

“Kamu belum dapat kelompok, ‘kan? Sama aku mau?”

Regina mengangguk sembari bergumam memberi jawaban kepada Aina. Regina pikir satu kelompok dengan Aina tidak buruk. Selama ini Regina lihat Aina cukup pintar, tidak suka menunda tugas dan kepribadiannya baik seperti penampilannya.

“Kalo kita kerjain nanti kamu bisa? Soalnya besok aku ada kajian kampus.”

“Bisa, kok,” jawab Regina.

Regina merasa beberapa pasang mata tertuju kepadanya. Mungkin heran karena anak sebaik Aina justru memilih teman kelompok dengan orang yang jauh berkebalikan dengannya. Namun, Regina tak peduli.

Dari pandangan Aina, ia tidak melihat sorot menghakimi atau menghina seperti kebanyakan manusia di sekitarnya saat ini. Atau mungkin Aina hanya kasihan kepada Regina karena tahu tak ada yang mau berkelompok dengan pelakor seperti Regina. Kalaupun begitu, Regina juga tak peduli.

Regina menggelengkan kepalanya. Ia tak mau berburuk sangka kepada orang yang baik kepadanya.

Akhirnya mata kuliah hari ini selesai sebelum waktu asar tiba. Sesuai rencana, Regina dan Aina berniat mengerjakan tugas artikel mereka. Keduanya memilih berjalan menuruni tangga daripada berdesakan di lift yang hanya muat beberapa orang saja.

“Mau ngerjain di mana?” tanya Regina kepada Aina di sebelahnya.

Aina yang ditanya melihat arloji di pergelangan kirinya, dan berkata, “udah mau asar. Di Musholla aja, yuk, biar nanti sekalian solatnya.”

Regina terdiam tak langsung merespon ajakan Aina. Solat. Sudah seberapa jauh ia dengan Tuhan. Ia bahkan tak mengingat kapan kali terakhir mengerjakan kewajiban itu.

Lagi-lagi Regina hanya menggangguk kecil menjawab ajakan Aina. Lantas keduanya berjalan menuju Musholla. 

Kini keduanya duduk di pelataran Musholla yang tak terlalu ramai. Hanya segelintir orang berada di sekitarnya. Regina merasa tempat ini berbeda. Sejuk, tenang, dan lingkungannya asri. Ada sesal mengapa tidak dari dulu ia menjadikan tempat ini sebagai tempat yang pertama kali ia tuju ketika membutuhkan ketenangan.

Tak lama setelah Regina dan Aina memulai mencari referensi mengenai artikel yang mereka buat, seseorang mengumandangkan adzan. Hati Regina bergetar, seperti ada sesuatu yang mengetuk kuat. Selama ini ia abai mendengar lantunan panggilan ibadah yang merdu ini.

“Udah asar. Kita solat dulu, yuk. Kamu nggak lagi halangan, ‘kan?”

“Ng … e-nggak,” jawab Regina terbata. Ia malu kepada gadis di depannya ini. Malu mengatakan lama tak beribadah. Padahal setiap orang bertanya agamanya, jawabnya selalu Islam. Orang Islam macam apa dirinya yang tak pernah mau beribadah ini.

INSTA STORY; After Breaking, I Found You [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang