Langit Semarang malam ini cukup bersahabat. Bulan bulat hampir sempurna ditambah kerlip bintang bertaburan di angkasa. Regina menyaksikannya dari kafe outdoor lantai dua. Di hadapannya laptop miliknya terbuka menampilkan layar berisi rangkaian kata yang belum ia rampungkan, juga tote bag yang sedikit terbuka di samping laptopnya.
Lamunanya terinterupsi kala seseorang berdiri di samping kursi yang ia duduki, berdiri dengan menatap langit seperti yang Regina lakukan.
“Eh.”
Orang tersebut menunduk karena suara Regina. “Boleh gabung?” tanyanya.
Regina mengangguk, kemudian menyamankan posisi duduknya.
“Suka sama bintang?”
“Emm … enggak begitu suka sih, tapi juga suka menatapnya.”
Jawaban dari Regina membuat sosok yang kini telah duduk di hadapannya tak bisa menahan tawanya. Dan entah mengapa, sepertinya mulai detik ini Regina menyukai tawa renyah itu. Indah.
Regina terkesiap saat sebuah tangan melamba di depannya. Ah, dia sampai melamun menikmati tawa itu.
“Sekarang suka gue, ya? Ngeliatinnya sampe begitu banget.”
“Astaga! PD banget, deh. Ini Rega yang gue kenal bukan, sih?” kesalnya.
Lelaki di hadapannya itu tampak seolah memikir sebelum akhirnya menjawab. “Bukan kayanya, tapi Rega yang lo suka ini,” ujarnya lantas terkekeh.
“Apaan sih, lo!” Jawaban Regina menjadi pengantar tawa keduanya.
“Sekarang gimana perasaan lo setelah klarifikasi itu? Udah tenang?” tanya Rega setelah sebelumnya berdehem pelan menghentikan tawanya.
“Udah, sih. Tapi … belum sepenuhnya.” Ia mengambil jeda. Menghela napas sebelum melanjutkan. “Akar permasalahannya ternyata dari sahabat gue sendiri. Sahabat satu-satunya bahkan. Asal lo tau, gue enggak banyak temen loh, di kampus. Sekarang malah sahabat gue sendiri yang berkhianat,” terangnya panjang lebar tanpa beban, seolah-olah ia dan Rega sudah sedekat itu untuk saling curhat.
“Eh, sorry. Jadi curhat gini,” ucap Regina setelah sadar, lagi-lagi sedikit terkekeh.
“’Kan gue udah pernah bilang, santai aja sama gue. Bahkan kalo lo mau, lo boleh kok, anggap gue temen lo.”
“Oh, ya? Sayangnya gue udah duluan anggep lo temen, sih.”
“Ya udah, temen deket aja kalo gitu,” sahut Rega dengan nada bercanda.
“Boleh emang?” tanggal Regina serius.
Rega kembali mengeluarkan tawanya. “Boleh lah. Apa sih, yang enggak buat temen gue ini,” ujarnya masih dengan tertawa. “Rasanya udah lama ya, enggak ketemu sama lo. Padahal baru dua hari,” lanjutnya
“Gue seperti mendengar buaya mulai melancarkan aksinya, deh.”
Kalimat yang terucap dari mulut Regina itu berhasil memicu tawa lagi di antara keduanya.
“Btw, lo enggak ada niatan buat menyelesaikan ini sama sahabat lo itu? Jangan bilang lo malah menghindar, nih,” ujar Rega setelah tawanya reda.
“Nanti lah, gue masih kebawa emosi. Yang ada malah emosi terus gue tiap liat dia. Jadi, bener lo. Gue sengaja malah menghindar dari dia, nanti kalo gue udah siap, gue pasti selesaiin.”
Rega mengangguk singkat sebagai respon yang diberikan. Netranya menangkap Regina yang kini tengah mengetikkan sesuatu di laptopnya. “Lagi ngerjain tugas?”
“Iya, nih. Essai, dari kemarin enggak selesai-selesai. Tapi ini hampir, kok,” jawab Regina sebelum kembali menyibukkan jari-jarinya di laptop.
Sedangkan Rega kini terdiam membiarkan Regina fokus pada kerjaannya. Ia menyeruput espresso yang tadi dibawanya dari lantai satu. Netranya menatap sekeliling kafe lantai dua yang tak seramai ruang indoor di lantai satu. Kemudian, terhenti pada benda di samping laptop Regina. Tas yang sedikit terbuka, menampakkan sebagian isinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
INSTA STORY; After Breaking, I Found You [HIATUS]
TienerfictieMenunggu update insta story dari akun yang baru saja ia follow ternyata membuat Regina perlahan melupakan galaunya yang disebabkan gebetannya menjalin hubungan dengan perempuan lain. Regina selalu menyukai apapun yang akun tersebut bagikan di insta...