(17) Gitaris

35 9 0
                                    

(。♡‿♡。)

Hari ini Jakarta tengah tengah terik-teriknya, padahal tadi pagi langit terlihat begitu mendung. Siapa sangka di pertengahan hari seperti sekarang ini, matahari malah terasa begitu panas membakar kulit siapapun yang lewat tanpa penutup di bawahnya.

Bervan kembali ke kelas saat jam istirahat dimulai, itu berarti dia menghabiskan waktunya selama satu jam bersama Pak Karja dan satu jam menyendiri di ruang bimbingan. Mungkin ia masih di sana jika saja Pak Karja tak kemudian datang dan menyuruhnya kembali.

"Ga ada yang menahan kamu dan ga ada yang harus kamu tunggu disini. Ayah kamu sudah membereskan semuanya, bahkan sebelum saya tahu harus bagaimana," Kata Pak Karja tadi.

Bervan melenggang, melewati deretan kelas sebelas yang sepi lalu sampai di deretan kelas sepuluh yang lumayan ramai. Cukup wajar mengingat pasti banyak siswa yang belum tahu harus pergi kemana selain mendekam di areanya sendiri.

Dari sekian siswa yang berhambur keluar kelas, Bervan tidak menemukan sosok Naraya. Cewek itu mungkin saja di kelas, menikmati jam istirahat dengan Hanung atau setidaknya menunggunya kembali. Namun ternyata itu juga tidak, keberadaan Naraya tidak teraba pandangan Bervan setelah ia sampai di kelas, cewek itu tidak berada di sana.

Bervan merogoh ponselnya kasar, berselancar di layar sejenak sebelum akhirnya menempelkannya di telinga. Dering sambungan terdengar beberapa kali, sampai suara berat menyahut.

"Khawatir banget sampai nelfon?"

Bervan tersenyum miring. Ia hafal dengan suara yang selalu terdengar penuh ejekan itu.

"Kalian dimana?" Tanyanya menyenderkan tubuh pada meja.

"Ruangan musik, kan ini jam seni."

"Ah iya ya?"

Bervan menatap dinding tajam ketika suara alunan piano terdengar lirih di speaker sekolah. Membisik merdu lalu bergema megah, indah sekali. Bervan memejamkan mata, merasakan perasaannya yang menghangat.

"Yakin ga mau dengerin langsung dari ruang musik? Mau dengerin dari kelas aja?" Hanung masih berada di sambungan rupanya, mengusik telinga Bervan yang tadi terasa kehilangan segala noda kotorannya.

"Ini dari ruang musik?"

"Keburu habis lagunya loh..."

"Ck! Sialan," Decaknya sembari tersenyum, mengerti arti kalimat Hanung yang diseret-seret mengejek. Dengan tergesa ia berlari menuju ruang musik yang jaraknya tak jauh dari ruangan kelas.

Alunan piano terdengar semakin menggema, mengisi ruang dengar koridor, aula hingga halaman Sekolah. Semuanya nampak tercengang, sementara Bervan terpana.

Bervan sampai di ruangan musik pada akhirnya, satu gerakan menekan tuas dan pintu berwarna hijau itu terbuka. Di sana Hanung tampak berdiri di depan komputer, meneliti ke arah sekat kaca yang memisahkan ruangannya dengan ruangan studio di dalamnya.

Bervan terkesiap, matanya sayu memandang jemari lentik yang bergerak lihai di atas tuts piano, hatinya berdetak tidak menentu. Ia suka bagaimana tubuh yang kini duduk di depan piano itu meliuk mengikuti gerakan tangan, rambut panjangnya yang terkuncir ke belakang menyibak aura peri untuk menyambut Bervan yang bertandang dari kegelapan.

Tuhan, apakah aku serakah jika menginginkan gadis itu tanpa terkecuali?

Bisiknya lirih, menahan erat regangan jerit yang tertahan dalam kerongkongan.

"Great!" Penyiar radio Sekolah melepas headphone dari kepalanya, sementara cewek yang ada di dalam studio nampak bertepuk tangan kecil, senyumnya mengembang anggun. Bervan masih asyik dengan kagumnya saat Hanung menyadari kehadiran dirinya, senyum Bervan tumbuh bersama tatap lekat kepada sosok yang kemudian berdiri dan keluar dari sekat bening yang memisahkan keduanya.

Judes but love 「COMPLETED」Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang