(20) Apa itu cinta?

42 10 0
                                    


(⁠๑⁠♡⁠⌓⁠♡⁠๑⁠)

Dua ratus lima puluh sembilan panggilan tak terjawab dari Sekala yang sengaja Naraya abaikan mulai mereda saat waktu menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Naraya masih terpaku oleh riuhnya jalanan kota bogor yang ia lihat dari balik jendela kamar masih ramai oleh pengunjung saat Aretha datang menyambang.

"Ra," Suaranya selalu melengking. Naraya tak menoleh, ia hanya bergerak menunduk.

"Gue ... Salah ya Ret?" Naraya tak memindahkan tatapnya saat Aretha turut duduk di meja, menghadap menyerong meneliti wajah Naraya yang masih fokus dengan ribuan lampu dari bukit seberang.

"Apa nih? Gue baru datang ditodong pertanyaan begini."

Naraya mendengus lelah. Rasanya semua isi kepalanya sudah penuh dan hampir meledak.

"Gue salah ya kabur begini?"

"Engga! Kalau gue jadi lo, mungkin gue bakal omel-omelin dulu Kak Sekala baru minggat seminggu," Ujar Aretha marah.

Naraya diam, bibirnya sedikit mengulas senyum tak habis pikir.

"Jangan dipikirin, ya! Nanti gue bantu belain lo kalau sampai Kak Sekala marah," Tambah Aretha mengusap lembut punggung Naraya.

"Gue ga hutang makasih, ya." Naraya memperingati.

Mendengarnya Aretha mencebik kesal, hanya akan seperti itu tanpa protes lebih.

"Oiya, Ret. Lo pamit apa sama Papa Mama lo pas kesini?"

Aretha mengerjap pelan, badannya mundur berlahan sembari menepuk telapak tangannya kasar.

"Lo pasti ga bakal percaya kalau gue ceritain," Bersama dengan dimulainya cerita, Aretha meringsut mendekati sahabatnya.

"Gue melewatkan banyak hal nih kayanya," Naraya menggeser kursi putarnya agar lebih dekat dengan posisi Aretha.

"Lo tahu ga sih, perusahaan tempat Papa gue kerja ..." Aretha berhenti sejenak, memberi waktu Naraya untuk mengingat.

"N-A-N Central?" Naraya menebak, diikuti jentikan jari Aretha tepat di depan wajahnya.

"Itu perusahaan punya Kandi Adnan," Mata Aretha melotot, seakan kaget dengan ceritanya sendiri.

"Sebentar! Adnan? Keluarganya Tanu?"

"Lebih parah, ini bokapnya, Ra. Bapak kandungnya tuh manusia kulkas," Tentu frustasi sekali menjadi Aretha, tolong kali ini beri dia banyak dukungan.

"Pantesan sombong, ternyata tajir."

"Jadi pas Tanu datang ke rumah gue minta ijin ajak jalan-jalan gue ke puncak ..." Lanjut Aretha.
"Tanpa ba-bi-bu, gue langsung diizinin. Dan lebih parahnya Tanu segala nunjukin dompet dan bilang ...

Seratus juta cukup? Anak Om ga akan laper sama saya."

Aretha menirukan ucapan Tanu tadi sore yang sebenarnya cukup menganggu pikirannya.
"Hih sombong," Aretha bergidik merinding.

Naraya terbahak-bahak, terlalu murah sekali kesannya Aretha ini. Naraya jadi tahu sifat absurd cewek itu menurun dari siapa.

"Berasa dijual gue sama Bapak sendiri, Ra."

"Terus lo dijajanin ga sama Tanu?" Dan Naraya tenggelam bersama cerita Aretha penuh rasa penasaran.

"Dibeliin teh panas tadi."

Pernyataan yang akhirnya membuat Naraya menutup mulutnya, menahan tawa yang pasti akan meledak jika ia tidak menahannya.

"Tragis banget seratus juta lo, Ret."

Judes but love 「COMPLETED」Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang