Part 6 : Bulan Purnama

150 11 0
                                    

Malam itu langit tampak terang. Bintang-bintang bersinar ditemani sang rembulan. Seorang pemuda sedang nongkrong bersama teman-temannya di pinggiran pantai. Canda tawa terdengar mengisi obrolan tongkrongan para remaja itu. Jangan lupakan kepulan asap yang mengepul di antara mereka. Barang haram itu membuat udara sejuk jadi ternodai.

Netra hitam milik pemuda itu tiba-tiba berubah menjadi biru bersinar. Tak hanya itu, ia pun mulai merasakan sensasi aneh pada dirinya. Ini pertanda ... bahwa sebentar lagi dia akan berubah.

Bibirnya yang semula tak henti mengukir senyum, berganti menjadi raut datar. Pemuda itu langsung bangkit dari duduknya. Kursi kayu yang didudukinya mengeluarkan decitan membuat perhatian teman-temannya teralih.

Kini, semua pasang mata tertuju padanya. Menatapnya dengan heran saat mendapati sepercik rasa risau di raut wajahnya.

"Woi, mau kemana lo, An?!"

"Mau kemana tuh bocah?"

"Udah, biarin aja."

Pemuda itu langsung berlari menjauhi warung tempat tongkrongan mereka, berjalan menyurusi bibir pantai. Teriakan teman-temannya yang memanggil namanya ia abaikan. Dia harus cepat-cepat menjauh dari radiasi mereka sebelum ia berubah sepenuhnya. Jangan sampai teman-teman mengetahui wujud aslinya.

Tepat ketika kakinya menyentuh air laut yang dingin, maka saat itu perubahan pada dirinya terjadi. Kaki yang dipenuhi bulu-bulu itu perlahan ditumbuhi sisik. Terus merambat ke atas lutut hingga sampai pinggang. Dua ujung kaki pun sudah membentuk ekor.

Pemuda itu langsung menceburkan dirinya ke dalam air tepat saat berubah menjadi duyung sepenuhnya. Mulai menyelami lautan yang kian masuk kian dalam. Sinar rembulan memantul ke dalam air membuat air laut yang biru bersinar terang.

Ekor berwarna biru itu mengibas-ibas menampilkan aura indahnya. Pemuda itu lalu naik ke permukaan dan menyembulkan kepalanya.

Kenapa gue tiba-tiba berubah jadi duyung?

Satu pertanyaan itu terus berputar dalam kepalanya sedari tadi. Dia sendiri pun masih bingung dengan perubahannya yang tiba-tiba. Tidak biasanya dia seperti ini. Dia akan berubah jika sudah menyentuh air meski sepercik saja.

Tepat saat dia mendongakkan kepalanya ke atas langit karena lolongan serigala mengisi kesunyian malam, barulah pemuda itu sadar akan satu hal. Bulan purnama.

Ah, dia baru ingat. Setiap bulan purnama kan, bangsa duyung akan berubah secara otomatis menjadi duyung guna menambah kekuatan mereka.

"Bisa-bisanya gue lupa." Pemuda itu mencebik. Menghela napas gusar, lalu kembali menceburkan kepalanya ke dalam lautan. Ia menikmati malam itu dengan berenang di lautan.

Sempat terbersit dalam hati hendak balik ke kerajaan bawah laut. Namun ketika mengingat tujuannya ke daratan belum selesai bahkan tak kunjung jua menemukan titik terang, niat itu terasa hanya sia-sia.

Huh, dia jadi rindu istana dan seisinya. Kapan dia bisa pulang?

Dia sudah tidak sabar menanti hari itu.

***

"Semalam, pergi kemana lo? Gak balik-balik."

Esok paginya, pemuda itu langsung dipojokkan dengan pertanyaan seperti itu oleh teman-temannya.

"Iya, lu kemana aja, An. Sampai jam satu subuh loh, kita nungguin gak nongol-nongol," kata yang lain ikut menimpali.

Namun, dengan raut datar dan tak minat, pemuda itu menjawab. "Gue ada hal penting, gak bisa ditinggal," elaknya memberi alasan.

"Mendadak, gitu?" tanya seorang temannya yang lain.

Hanya dibalas anggukan acuh dan deheman olehnya. Pikirnya, tidak perlu repot-repot meladeni pertanyaan teman-temannya itu supaya mereka tidak lanjut bertanya. Bisa bahaya kalau tiba-tiba dia keceplosan nanti.

"Gue ke kelas dulu," pamitnya, lebih tepatnya menghindar dari pertanyaan teman-temannya yang ia yakini tidak akan sampai di sini saja.

Lalu, dia berlalu begitu saja mengabaikan protesan teman-temannya.

Di tengah perjalanan menuju kelas, pemuda itu tak sengaja berpapasan dengan seorang pemuda lain bersama tatapan datarnya. Langkah keduanya secara refleks terhenti. Tak ada sapaan atau obrolan lain. Hanya tatapan datar yang terjadi.

Hingga pemuda itu memalingkan wajahnya ke samping. Mendengus sinis dan hendak berlalu dari sana, sebelum suara menghentikan langkahnya.

“Tunggu!”

Dia berbalik dengan raut sebal. “Apa?!” tanyanya menyentak.

Pemuda di depannya tampak mengatup bibir. Dia tampak berpikir sejenak sebelum berbicara. “Semalam, kau baik-baik saja, kan?” katanya balik bertanya.

“Ah, maksudku saat bulan purnama kau langsung berendam dalam air, kan? Sisik-mu tak sampai melepuh karena tak menyentuh air, kan?” ujarnya melarat.

“Hm,” gumam pemuda itu, lalu melangkah pergi.

Namun, baru beberapa langkah. Dia berhenti kembali. Tanpa berbalik. Semua karena seruan pemuda yang tampak lebih tua dua tahun darinya itu.

“Ibunda Ratu kangen padamu. Beliau tidak sabar menunggu kepulangan-mu,” tutur pemuda yang satu itu. Sedikit berseru.

Setelah berkata demikian, dia dapat mendengar suara derap kaki yang kian menjauh. Pemuda satu itu sudah berlalu pergi. Menyisakan pemuda itu yang termenung di tempat. Bibirnya seketika terkatup rapat. Merasakan detak jantungnya yang tiba-tiba terpompa begitu cepat.

Aku juga kangen Bunda, katanya dalam hati.

Satu hal yang harus kalian tahu, dua pemuda itu adalah saudara kandung.

***

Dua Dunia (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang