Part 7 : Badai Pasti Berlalu

136 9 1
                                    

“Gleid.”

Gleid menoleh saat namanya terpanggil. Bola matanya secara refleks memutar saat mendapati siapa orang yang barusan menyebut namanya.

“Apa lagi?” tanya Gleid sewot.

“Ngapain pake acara balik segala, sih,”  lanjutnya menggerutu dengan nada pelan supaya cowok itu tak mendengarnya.

“Ada yang ketinggalan,” jawab cowok itu.

Gleid hanya ber-o ria saja. Gadis itu memalingkan wajahnya ke samping. Enggan, lebih tepatnya enek jika menatap wajah ngeselin itu lama-lama.

Melvano melangkah masuk. Derap langkahnya terdengar kian dekat di telinga Gleid. Diam-diam, gadis itu mendengus dalam hati. Ngapain pale acara deketin gue segala, sih!

“Gleid,” panggil cowok itu dengan nada berbisik tepat di telinga kiri Gleid.

“Astagfirullah!” Gleid terlonjak kaget karena tidak menyangka akan hal itu. Gadis itu langsung berbalik badan dan menatap nyalang si pelaku.

“Vano! Usil banget, ya, lo!” pekik Gleid kesal.

Gadis itu bangun dari tidurnya dan langsung menghadiahi cowok itu pukulan bertubi-tubi.

“Pergi lo!” usirnya lagi.

Melvano hanya memasang cengir jahil---yang hanya membuat Gleid tambah naik darah---sembari menghindar.

“Oke, gue pergi,” ujar Melvano kemudian. Cowok itu kemudian berlalu masih dengan kikik geli di wajah.

Gleid mengerutkan kening, gagal paham. Dia menatap cengoh kepergian cowok itu. “Hah, gitu doang? Katanya ada yang ketinggalan, gimana, sih!” ucapnya pada diri sendiri.

Tanpa Gleid ketahui, ‘ada yang ketinggalan’ yang dimaksud Melvano itu adalah lupa menyapa sekaligus menjahilinya.

***

Saat jam istirahat hendak selesai, barulah Gleid beranjak dari ruang UKS. Lagi pula, dia merasa sudah jauh lebih baik dari sebelumnya.

Ah, ngomong-ngomong soal bajunya yang basah. Gleid sudah menggantinya dengan baju cadangan yang sengaja ia simpan di lokernya. Buat jaga-jaga, pikirnya waktu itu.

Sampai di kelas, dia langsung menghempaskan badannya di bangku sebelah Rintan. Gadis itu menyambutnya dengan senyum ceria.

“Udah baikan, Gleid?” tanya Rintan, dibalas anggukan singkat oleh Gleid.

Gleid menyandarkan punggungnya ke sandaran bangku. Menegakkan badan kembali ketika Rintan menyodorkan sebuah buku ke arahnya.

“Oh ya, ini ada sedikit rangkuman yang gue tulis pas Pak Arfan menjelaskan,” kata Rintan.

Gleid melirik buku itu sekilas, lalu Rintan. Perlahan, senyum tipis tersungging di bibirnya. Tak henti menatap sang sahabat dengan tatapan penuh terima kasih.

“Makasih, ya,” katanya tulus.

Rintan ikut mengulum senyum mengendikkan bahu. “Santai aja,” balasnya, lalu menaik-turunkan kedua alisnya.

Gleid terkekeh dibuatnya. Gadis itu geleng-geleng menanggapi sang sahabat, lalu mengambil buku dari dalam tas dan mencatat materi hasil rangkuman dari buku catatan Rintan.

Setelahnya, terjadi keheningan di antara dua gadis itu. Bel masuk untuk mata pelajaran berikutnya tak kunjung berbunyi. Keduanya sibuk dengan aktivitas masing-masing. Gleid yang mencatat materi dan Rintan yang asyik berselancar dengan hp android-nya di dunia maya. Aktif di aplikasi media sosial, tepatnya.

Brakkk

Seseorang datang menggebrak meja, membuat dua orang itu terlonjak kaget. Gleid dan Rintan sontak mendongakkan wajah.

Dua Dunia (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang