14 : Dugaan

249 40 0
                                    

Sekitar pukul 10

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sekitar pukul 10.00 pagi Haura sudah berada di depan gerbang rumah Fatimah. Rencananya ia dan Fatimah akan jalan-jalan ke tempat wisata. Haura bahkan sudah mengetikkan pesan kepada Fatimah agar perempuan itu segera keluar.

Pintu rumah Fatimah terbuka sedikit. Kepala perempuan itu menyembul dari sela pintu. Rambut Fatimah yang panjang sepinggang sedikit berantakan dan yang paling membuat Haura terkejut adalah mata sembabnya itu. Tangan Haura membuka gerbang cepat, ia melangkah mendekati Fatimah yang kali ini sudah membuka pintu lebar. Kepala Fatimah tertunduk.

"Maaf, Ra. Aku lagi gak enak badan. Jadi, kayaknya rencana kita buat jalan-jalan dicancel dulu, ya," kata Fatimah tak lupa dengan senyuman lebar. Sayangnya Haura merasa senyuman Fatimah terlihat palsu. Ia merasa Fatimah sedang tidak baik-baik saja.

Meski belum mendengar jawaban dari bibir Haura, Fatimah sudah lebih dulu akan menutup pintu. Tangan Haura menahan lengan Fatimah. Sorot mata Haura menandakan binar khawatir. "Kamu lagi gak baik-baik aja 'kan, Fa? Kenapa?"

Kepala Fatimah menggeleng. "Aku lagi sakit, Ra. Makanya kayak gini," jawab Fatimah lagi dengan senyuman yang benar-benar terlihat lelah.

Haura melepaskan pegangannya. Perempuan itu mengangguk paham. Walau Haura yakin Fatimah sedang ada masalah, bukan sakit. Ia tahu Fatimah hanya membuat alibi, meski begitu Haura tak ingin memaksa Fatimah untuk jujur padanya. Kata 'peduli' yang dijadikan label dalam pemaksaan hanya akan semakin menyakiti orang tersebut dan Haura tak ingin itu.

"Jangan ragu buat percaya sama orang, Fa. Orang yang memang benar-benar kamu percayai. Aku harap kamu baik-baik aja."

Tak ada jawaban. Fatimah langsung menutup pintu rumahnya. Haura termenung sebentar menatap pintu di depannya. Kemudian berbalik dengan langkah pelan meninggalkan Fatimah.

Haura tidak langsung pulang ke rumahnya. Perempuan itu memilih untuk berjalan-jalan sepanjang trotoar, sesekali melirik ke arah jalan raya yang macet parah. Suara klakson saling bersahut-sahutan di tengah cuaca Jakarta yang panas.

Haura merasakan kakinya mulai lelah. Ia menepi sebentar duduk di kursi tepat di bawah pohon yang menutupinya dari sinar matahari. Sesaat Haura memikirkan bagaimana keadaan Fatimah. Mereka berdua memang terlihat selalu bersama. Terlihat dekat. Namun, keduanya sama-sama jarang bercerita mengenai masalah-masalah tertentu. Sepertinya ia dan Fatimah tidak sedekat itu. Tak ada yang bisa Haura lakukan selain diam saja. Membiarkan Fatimah menyelesaikan masalahnya sendiri. Jika ia masuk sembarangan tanpa persetujuan dari Fatimah, ia takut Fatimah tidak menyukainya.

"Haura!" Suara cempreng milik perempuan bersurai sepundak itu membuat Haura mendongak.

Perempuan itu tak lain adalah Hana. Dia berlari kecil dari mulai zebra cross saat lampu lalu lintas sedang merah. Ditangan kanannya perempuan itu menjinjing sebuah plastik ukuran sedang. Begitu sampai di depan Haura, Hana mengeluarkan sekaleng minuman. Menyodorkan ke depan Haura. "Minum, Ra."

Kendali Rasa [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang