17 : Maaf

244 38 3
                                    

Tatapan Haura terpaku pada layar camera DSLR yang menampakkan potret seorang anak yang sedang bermain skateboard dilintasan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tatapan Haura terpaku pada layar camera DSLR yang menampakkan potret seorang anak yang sedang bermain skateboard dilintasan. Mata Haura memejam erat, pegangannya di kamera DSLR sedikit mengerat. Mendadak perasaan bersalah hadir. Apakah yang Haura lakukan pada Raka benar? Apakah tindakannya tidak keterlaluan?

Haura beranjak dari kasur, mengambil memori di kamera DSLR. Malam itu Haura memindahkan semua foto-foto yang diambilnya tak lupa menghapusnya juga usai benar-benar dipindahkan. Rasa bersalahnya membuat Haura tak enak hati. Seakan ia tak tahu diri, sudah meminjam kamera milik Raka tapi malah memperlakukan Raka seburuk itu. Argh! Haura lelah!

Haura sudah memasukkan kamera DSLR milik Raka ke dalam tas sekolahnya agar besok ia bisa mengembalikan. Sekaligus Haura ingin meminta maaf juga atas ucapannya. Dan mungkin Haura akan membayar juga karena sudah meminjam kamera milik Raka.

Suara pintu kamar Haura membuat sang pemilik kamar menoleh. Didapatinya Lia yang masuk ke kamar Haura dengan sebuah paper bag mini di tangannya, di depan paper bag itu terdapat tulisan Bakery Sweety. Haura segera menyambar paper bag tersebut begitu jarak Lia dekat.

Lia tertawa. "Kangen banget, yah?" tanyanya begitu melihat Haura yang kini sudah memakan isi dari paper bag.

Haura mengangguk-angguk dengan mulut penuh. Usai menelannya Haura menatap sang bunda yang duduk di tepi kasur tepat di sampingnya. "Bun, aku gak mau jadi model lagi," terang Haura.

"Kenapa? Ada masalah?" tanya Lia khawatir. Firasat seorang ibu memang tak pernah salah. Ketika masuk ke kamar putrinya, Lia sudah merasa Haura memang sedang tidak baik-baik saja.

Haura menghela napas setelah menghabiskan kuenya. Bukankah lebih baik ia jujur saja daripada berbohong. "Haura lagi ngehindarin Raka. Aku gak suka sama kelakuan dia, Bun. Dia terang-terangan deketin aku. Dan aku benci Bun dideketin disaat aku lagi berusaha buat istiqomah."

Lia mengusap bahu putrinya. "Oke, bunda bakal segera cari model penggantinya."

Lia menatap dinding kamar Haura yang tertangkap oleh matanya. Mendadak Lia teringat akan masa lalunya dengan Fahrian. Sebanyak apa drama yang terjadi dihidupnya saat muda dulu. "Bunda gak bisa maksa kamu buat gak benci Raka. Bunda juga gak tahu kalian ada masalah apa. Tapi, bunda harap jangan sampai kebencian kamu justru memutus tali silaturahmi."

Lia menghela napas. "Bunda gak bakal bandingin masalah kamu dan bunda dulu. Tapi, poin pentingnya pernah gak kamu berpikir kalau yang terjadi hari ini dan kedepannya emang udah ditentuin? Segimana kita percaya sama takdir dan segimana kita bisa bertindak terhadap situasi yang gak terduga. Yang Maha kuasa mungkin hadirin luka tapi setelahnya pasti ada bahagia, Ra." Tangan Lia terulur mengusap kepala Haura. "Keputusan ada ditangan kamu. Jangan gegabah dalam mengambil keputusan. Dan lakuin yang terbaik buat selesain masalah kamu. Apapun itu, selagi baik bunda dukung."

Haura mempersempit jaraknya dengan sang bunda. Ia menghambur, memeluk Lia dari samping. Mendengar nasihat dari Lia tak pernah membuatnya merasa terpojok, tapi justru ia merasa nasihat Lia sangat membantu.

Kendali Rasa [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang