4.2. Pernyataan

1.3K 173 2
                                    

Ah, lagipula mereka kan hanya teman selama beberapa bulan. Jaemin pasti tidak ingat dengannya. Dia yang sekarang jadi bintang, wara-wiri di TV, dan tampak bolak-balik luar negeri punya dunia yang seratus persen berbeda dari Jeno. Jeno hanyalah mahasiswa kedokteran dengan kacamata tebal dan buku cetak berat. Hidupnya tidak menarik.

"No life," kalau kata Jisung, adiknya.

Jeno juga tidak akan mengelak. Buktinya sepulang kuliah, ia hanya akan kembali ke apartemennya untuk tidur sebentar, lalu belajar lagi, makan malam, lalu belajar lagi.

Besoknya? Sama lagi.

"Jeno!" panggil Renjun, teman sekelasnya dulu semasa sekolah, dari sambungan telefon saat Jeno pergi ke mini market di lantai satu. Lemari dapurnya sudah kosong, ia perlu membeli persediaan mi instan. "Mau pergi minum, tidak? Anak-anak kelas 10-A mau janjian."

"Ada siapa aja?" tanya Jeno. Malas juga kalau tidak ada yang ia kenal dekat.

"Ada aku, Ryujin, Haknyeon, Jihoon, Karina, ummm... baru itu saja yang sudah pasti ikut. Sisanya masih aku tanyakan," aku Renjun. "Ikut, ya?"

Medengarannya menarik.

"Baiklah. Kabari saja tempat dan waktunya," kata Jeno.

"Oke! See you there, Jeno!" pamit Renjun.

.
.
.

Tempatnya di sebuah restoran ayam goreng di dekat Universitas Seoul jam sembilan malam, di hari Jumat. Waktu yang tepat untuk minum sampai puas karena besok tidak ada jadwal kuliah. Artinya, mau Jeno tidur seharian pun ia tidak harus merasa bersalah.

"Oi! Lee Jeno! Lihat siapa yang datang!" seru Haknyeon antusias begitu Jeno menginjakkan kaki di restoran.

"Siapa?" tanya Jeno masih tidak sadar. Ia meletakkan ransel hitamnya di ujung sofa.

"Ini! Tebak, dong!" kata Ryujin sambil menunjuk seorang perempuan berambut hitam legam yang dari tadi mengenakan masker.

"Ah, payah! Kau lupa padaku!" seru perempuan itu dengan suara yang familiar di telinga Jeno.

Diam Jeno mengamati perempuan itu. Matanya penuh dengan riasan. Bulu matanya yang lentik melengkung naik, ditopang oleh maskara. Jeno nyaris tersedak liurnya sendiri ketika perempuan itu melepas maskernya. "Ini aku!"

"Na Jaemin?!" seru Jeno kaget. Untung restoran itu agak sepi.

"Kaget, kan?" celetuk Renjun dengan senyum lebar. "Sayang sekali, hanya kita bertujuh yang bisa datang hari ini."

Oh well, Jeno tidak berharap akan bertemu Jaemin malam ini. Perempuan itu ada dalam urutan terakhir orang yang mungkin datang.

Tapi Na Jaemin masih tidak berubah. Selain dia yang semakin kurus dan juga semakin cantik, selebihnya dia sama saja. Masih jadi Jaemin yang lucu dan baik pada semua orang dengan omongan anehnya yang membuat orang-orang tertawa.

Meja langsung penuh dengan ayam goreng berbagai rasa, kaleng bir, dan botol soju. Obrolan tentang ini dan itu langsung mengisi udara.

Saat malam semakin larut, permainan tidak kunjung berhenti. Yang paling asik pastinya main truth or dare. Apalagi ada Jaemin yang bisa mereka kuliti kehidupannya.

Omongan semakin liar saat kepala sudah tidak memegang kontrol penuh pada tubuh. Jihoon dengan bodohnya berusaha mencium Haknyeon dan langsung mendapatkan gamparan yang membuatnya kembali sadar. Jeno menikmati birnya sedikit demi sedikit. Ia lebih terhibur dengan menonton tingkah konyol teman-temannya.

Putaran botol hijau bekas soju berhenti dengan corong tepat menghadap Jaemin.

"Jaemin, truth or dare!" todong Renjun.

In SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang